Ganjar: Penghilangan Penyelidikan Rawan Picu Aparat Sewenang-wenang
Ganjar Laksmana, akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia menilai Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana belum layak diterapkan di Indonesia. Ia mengkhawatirkan penghapusan ketentuan penyelidikan dalam RUU KUHAP rawan membuka celah penyalahgunaan kewenangan oleh aparat tak berintegritas dan membenarkan tindakan-tindakan intelijen. Menurut Ganjar, hilangnya penyelidikan juga melompati logika proses hukum.
Aparat riskan menyalahgunakan wewenang
“Kita tidak menyadari bahaya apa dengan dihapuskannya penyelidikan,” ucap Ganjar dalam konferensi pers terkait RUU KUHAP di kantor ICW, awal Februari lalu. “Kalau tidak ada penyelidikan, berarti patut diduga proses hukum acara langsung dimulai dengan penyidikan,” terangnya.
Menurutnya, di mana-mana di seluruh dunia, proses pertanggungjawaban pidana dimulai dari penemuan peristiwa pidananya terlebih dulu, belum mencari pelakunya. Penemuan peristiwa pidana ini dilakukan dalam tahap penyelidikan. Setelah itu, barulah aparat naik tindak lanjut ke tahap penyidikan, yaitu tahap menemukan tersangka dan mengumpulkan bukti untuk membuat terang tindak pidana tesebut.
Ganjar memberi contoh. “Kalau ditemukan mayat, apakah (sebab kematiannya) karena sakit atau dibunuh? Untuk menentukan mati wajar atau tidak, secara hukum dilakukan lewat penyelidikan,” jelasnya.
“Kalau tindak pidana belum ditemukan, bukti belum masuk, tapi sudah masuk penyidikan yang sifatnya pro justicia, artinya tidak lagi investigasi,” katanya. Sebab, dasar penyelidikan adalah investigasi. Ia menambahkan, kewenangan penyidikan lebih luas dari penyelidikan.
“Potensi penyalahgunaan semakin besar oleh penyidik yang ujug-ujug masuk penyidikan,” ujarnya khawatir.
“Bayangkan saja, kita tidak tahu suatu hal tertentu, lalu dipanggil dalam kapasitas saksi. Saksi adalah melihat dan mendengar peristiwa pidana. Peristiwanya apa juga kita tidak tahu, tidak diumumkan. Ini sangat berbahaya,” Ganjar memperingatkan.
Jika langsung masuk ke penyidikan, kata Ganjar, penyidik bisa langsung memakai upaya paksa, yang selama ini tidak dapat dilakukan penyelidik.
Menurut Pakar Ilmu Pidana UI itu, justru atas nama hukum dan kebenaran, sesuatu yang bersifat abu-abu di mata hukum ditegaskan dulu menjadi hitam atau putih lewat instrumen hukum acara yang bernama penyelidikan.
“Siapa yang bisa jamin bahwa sebelum penyidikan tidak terjadi apa-apa? Siapa bisa menjamin semua proses langsung penyidikan berlaku dengan fairness yang dijunjung tinggi? Siapa bisa menjamin tindakan penyidik selalu lawful?” tanya Ganjar.
Ganjar juga khawatir lenyapnya penyelidikan dari RUU KUHAP memberi ruang kelam untuk mengedepankan dan membenarkan tindakan intelijen.
“Tindakan intelijen bukan tindakan hukum. Bahan intelijen bukan alat hukum atau bahan hukum. Temuan intelijen tidak dapat dijadikan bahan atau bukti hukum,” tegas Ganjar.
“Selama ini saja, tindakan intelijen tidak dapat diaudit. Apalagi kalau penyelidikan tidak lancar,” tuturnya.
Menghilangkan ketentuan penyelidikan: melompati logika proses hukum
Menurut Ganjar, penghilangan penyelidikan dari RUU KUHAP juga melompati logika proses hukum. Menentukan ada tidaknya tindak pidana, ujar Ganjar, secara logis sistematis ada di tahap penyelidikan.
“Kalau penyelidikan ini tidak ada, maka kita melakukan lompatan logika,” katanya.
Ia juga mengkhawatirkan konsekuensi laporan-laporan masyarakat ke penegak hukum ke depannya.
Kalau masyarakat melaporkan dugaan tindak pidana pada penegak hukum, yang dilaporkan masyarakat itu cuma berdasarkan pengetahuan awam,” kata Ganjar.
“Kalau nanti aparat bilang laporannya tidak lengkap, lha, justru dilaporkan supaya penegak hukum yang punya kewenangan, secara lawful, mencari bukti, memanggil orang, dan lain-lain,” jelas Ganjar.
Ketika penyelidikan dilenyapkan dan kemudian masyarakat melaporkan suatu dugaan tindak pidana, lalu dugaan ini dikaji secara internal dan tertutup, maka timbullah bahaya. “Sebab, kalau tiba-tiba penyidik bilang: “masuk penyidikan”, laporan seperti apa yang tiba-tiba bisa masuk penyidikan?”
Ia melanjutkan, “Kalau aparat ‘menemukan sendiri’ suatu tindak pidana, tindakan apa yang aparat lakukan sehingga bisa menemukan sendiri tindak pidana itu?”
“Jadi kita bisa membayangkan, belum ada penyelidikan, karena nemu sesuatu, masuk ke penyidikan… ‘Nemu sesuatu’itu lewat proses hukum apa? Itu kalau dia nemu sendiri.
“Kalau lewat laporan masyarakat, laporan seperti apa? Selengkap apa? Yang bisa membuat penegak hukum ujug-ujug masuk ke penyidikan. Lagipula kalau segitu lengkapnya, tahu saksi dan punya dua alat bukti, itu masyarakat yang mana? Apakah intelijen?” cecar Ganjar.
“Takutnya banyak hal-hal prematur. Kesaksian belum bisa divalidasi, surat belum didukung kebenaran materil. Padahal salah satu fungsi penting penyelidikan adalah memvalidasi barang-barang, tulisan-tulisan, orang-orang yang potensial jadi alat bukti,”katanya.
Ia mengemukakan contoh lain lagi. “Misalnya ada masyarakat melapor ke polisi, kejaksaan, atau KPK. Lalu laporan ditelaah. Dan karena ditelaah, perlu dilakukan investigasi untuk mengetahui ini laporan betul, fitnah, atau palsu.”
“Tindakan kepolisian, kejaksaan, dan KPK untuk verifikasi laporan, ini tindakan apa, kalau penyelidikan tidak ada? Kroscek? Instrumen hukum apa itu kroscek? Itu tidak ada,” tampiknya tegas.
“Lalu misalnya (tindak pidana) itu betul, orang dipantau, diikuti. Tindakan memanggil orang itu apa? Penyidikan? Lompat ‘kan,” tuturnya.
Walaupun akunya tindakan mendatangi orang, penggeledahan, olah TKP dapat dilakukan di penyidikan. “Tapi untuk sampai bisa menggeledah orang, kan ada langkah dahulu bahwa yang mau digeledah terkait suatu tindak pidana,” kata Ganjar.
“Besok-besok kalau ada penegak hukum tanya-tanya ke Anda, Anda tanyakan mana sprindiknya,” ia memperingatkan, setengah sarkastis.
“Kita tidak boleh berprasangka buruk. Tapi yang sejak awal bisa kita duga akan menimbulkan keburukan, tentu kita hadang. Siapa yang bisa mengaudit semangat seseorang?Justru kita mau menjaga semangatnya tidak meleset, maka sistem hukum pidana dibangun berlapis. Bukan satu lapis, apalagi lompat ke tingkat tertentu,” tandasnya.
“Semangat” DPR mencurigakan
Ganjar juga mempertanyakan mengapa DPR semangat sekali membahas RUU KUHAP yang mengatur hukum formil dibanding merampungkan dulu RUU KUHP yang mengatur hukum materiil.
“Mengapa dia (DPR) mendahulukan yang lebih mudah (RUU KUHAP)?” tanya Ganjar.
“Yang bahas RUU KUHAP ‘kan korban terbesar pemberantasan korupsi. RUU KUHAP ini dibahas di lembaga yang paling menjadi korban pemberantasan korupsi,” katanya merujuk Dewan Perwakilan Rayat.
“Kalau kita bicara adanya kepentingan politik, jadi mudah merumuskannya,” tukas Ganjar.
Ganjar juga mempertanyakan proses pembahasan RUU KUHAP yang tidak melibatkan KPK secara penuh, padahal KPK termasuk pihak yang berkepentingan.
“KPK ‘kan tidak punya kewenangan menghentikan penyidikan. Nah sekarang kalau penyelidikan ditiadakan, di bagian mana KPK bisa memverifikasi secara maksimal dugaan tindak pidana?” ungkapnya heran.
“Kalau langsung melakukan penyidikan, panggil-panggil orang, lalu bukan tindak pidana, bagaimana? SP3? Tidak boleh. Dilanjutkan ke pengadilan? Bebas dong orangnya. Bukan kita tidak mau membebaskan orang. Tapi justru di penyelidikan, dipastikan dulu tindak pidananya,” imbuhnya.
“Kalau ada undang-undang yang kita baca saja bisa berpotensi memperlemah penegakan hukum, harus kita paksa untuk bisa direvisi,” kata Ganjar.
“Pas negara ini punya semangat pemberantasan korupsi, KPK punya 100% conviction rate, tiba-tiba ada RUU KUHAP. Dengan senjata yang sudah ada sekarang, kita bisa membunuh musuh. Sekarang senjata ini diganti, padahal senjata baru (RUU KUHAP) banyak kelemahannya. Lho, sementara ini berhasil, kok malah diubah?”
“Saya percaya secara umum itikadnya untuk memperbaiki hukum acara. Tapi, secara khusus, ada poin-poin yang mempersulit penegakan hukum dan hukum acara menjadi tidak logis,” terangnya.
“Dalam situasi sekarang ini, kita harus membuat sistem yang mempersempit ruang penyalahgunaan wewenang.
100% tertutup tidak mungkin, tapi bagaimana celah yang ada bisa tertutup. Di sistem yang baik saja masih ada peluang, apalagi di sistem yang sengaja dibolongin,” tandasnya.