Gaji Hakim Antikorupsi Dipotong; Bayaran Rp 10 Juta Dianggap Terlalu Tinggi

Semangat pemerintah untuk memberantas korupsi perlu diragukan. Buktinya, para hakim ad hoc tindak pidana korupsi yang menjadi ujung tombak untuk membuat jera koruptor digaji jauh daripada layak. Para hakim yang populer disebut hakim antikorupsi itu menerima bayaran tak sebanding dengan tanggung jawabnya sebagai pengadil korupsi bernilai miliaran rupiah.

Bulan ini, tiga hakim antikorupsi tingkat pengadilan pertama kembali gigit jari. Sebab, gaji talangan Rp 10 juta yang sudah mereka terima sejak dua bulan lalu akan dipotong separo. Praktis mereka akan hanya menerima Rp 5 juta. Jumlah yang sulit dibilang cukup untuk jabatan seorang hakim di Jakarta.

Gaji yang mereka terima itu juga masih dalam bentuk talangan atau utangan dari Bappenas. Sebab, gaji mereka yang sebenarnya belum bisa cair karena keppres yang mengatur masalah itu belum terbit. Padahal, mereka dilantik sejak Juni 2004.

Dalam rancangan keppres, para hakim antikorupsi tingkat pertama itu digaji Rp 12 juta an, tingkat banding Rp 15 juta, dan tingkat kasasi Rp 17,5 juta. Ternyata jumlah itu belum disepakati pemarintah. Dan, itulah yang menyebabkan pembahasan masalah ini macet.

I Made Hendra Kusuma, salah satu hakim ad hoc, mengatakan bahwa keppres mengatur penggajian hakim antikorupsi itu terhambat dalam pembahasan di Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara (Men PAN). Rancangan keppres itu masih mentah sehingga belum bisa ditandatangani. Kementerian PAN masih belum sepakat soal besaran gaji karena dinilai terlalu tinggi, jelas Hendra ketika dihubungi di apartemennya di kawasan Jakarta Pusat kemarin.

Hendra menjelaskan, persoalan jumlah gaji itu memang menjadi batu sandungan sejak dalam pembahasan di Setjen Mahkamah Agung (MA). Dari usulan awal Rp 25 juta per bulan (untuk hakim ad hoc di tingkat pertama), MA langsung memangkas hingga menjadi Rp 12 juta per bulan. Nah, jumlah itulah yang diajukan ke sekretariat negara.

Di Setneg, ceritanya, besaran gaji itu kembali diganjal. Jumlahnya kembali dipotong menjadi Rp 10 juta dan rancangan keppres itu dikirim ke Men PAN. Oleh Men PAN, nominal itu kembali dipertanyakan, jelas Hendra yang sebelumnya menjadi notaris/PPAT di Denpasar.

Dia menuturkan, pekan-pekan ini Men PAN dan MA akan kembali membahas alasan penerapan kebijakan gaji yang dianggap tinggi itu. Tapi, pekan-pekan ini waktunya juga nggak jelas, tukasnya.

Hendra mengungkapkan, pada Januari dan Februari lalu, hakim tipikor yang dipilih melalui fit and proper test memang mendapatkan pinjaman dari Bappenas Rp 10 juta per orang/bulan. Sementara itu, hakim tipikor karir mendapatkan pinjaman Rp 5 juta per orang/bulan. Maret ini pinjamannya diturunkan separo. Menjadi Rp 5 juta untuk hakim nonkarir dan Rp 2 juta untuk hakim karir, kata pria kelahiran Tabanan itu.

Namun, Bappenas, rupanya, juga tidak mau berlama-lama menanggung gaji hakim tipikor itu. Terbukti, Bappenas justru berencana menghentikan pinjaman mulai April mendatang. Meskipun belum ada kepastian gaji para hakim tipikor akan mulai dibayar secara rutin mulai awal April. Itulah, kami ini sudah melakukan sidang, masa juga harus mengurus yang begituan. Tapi, memang lebih baik mentok di sana-sini daripada kami main mata dengan pihak yang beperkara, tegasnya.

Secara terpisah, Dudu Duswara, hakim antikorupsi lainnya, juga membenarkan rencana pemotongan gaji talangan dari Bappenas tersebut. Menurut dia, dirinya dan kedua rekannya kemarin mendatangi Bappenas untuk bertemu Direktur Hukum dan HAM Budiani. Sedianya, para hakim itu mempertanyakan penerbitan keppres yang mengatur tentang penggajian. Saya mau bertanya, mengapa berbulan-bulan kok belum turun? kata Dudu yang dihubungi terpisah kemarin.

Tetapi, ketiga hakim antikorupsi tersebut harus pulang dengan sangat kecewa. Bappenas ternyata tidak tahu kapan penerbitan keppres tersebut. Dan, yang menyakitkan, para hakim yang khusus menangani kasus korupsi kelas kakap tersebut mendapatkan informasi bahwa gaji talangan Rp 10 juta yang diterima sejak dua bulan terakhir harus dipotong separo. Mereka bilang anggarannya terbatas. Gaji talangan sekarang tinggal Rp 5 juta untuk kami (hakim ad hoc). Sedangkan hakim karir menerima Rp 2 juta, jelas Dudu dengan kecewa. Gaji talangan yang dipotong tersebut akan dicairkan hari ini di Bappenas. Itulah yang membuat dirinya langsung mengelus dada.

Seperti diketahui, ada sembilan hakim ad hoc yang direkrut untuk mengoperasikan Pengadilan Tipikor. Di tingkat pertama yang sekarang mengadili terdakwa Gubernur (nonaktif) Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Abdullah Puteh, ada Made Hendra, Dudu Duswara, dan Achmad Linoch. Sedangkan enam hakim ad hoc sisanya adalah M. As

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan