GAGAL PIMPIN MAHKAMAH KONSTITUSI, ARIEF HIDAYAT HARUS MUNDUR

Kasus korupsi kembali menerpa Mahkamah Konstitusi. Pada kamis kemarin (26/1), Patrialis Akbar salah satu hakim konstitusi terjaring operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi. Belum ada pernyataan resmi dari KPK terkait status dan kasus apa yang melatarbelakangi penangkapan tersebut, namun peristiwa ini memperkuat kesan bahwa MK tidak pro terhadap agenda pemberantasan korupsi.

Buntut penyelesaian kasus korupsi yang dilakukan Akil Mocthar belum selesai, MK sudah dijerat kasus yang baru. Perkembangan terakhir, KPK harus menangkap paksa Bupati Buton lantara 3 kali mangkir dari panggilan penyidik. Bupati Buton diduga memberi suap kepada Akil Mochtar sewaktu masih menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa Pilkada Kabupaten Buton‎ tahun 2011-2012.

Situasi ini menunjukan bahwa upaya perbaikan di internal Mahkamah Konstitusi paska vonis Akil Mochtar seolah jalan di tempat. Seharusnya, kasus korupsi Akil Mochtar dijadikan momentum perbaikan di Mahkamah Konstitusi. Apalagi vonis yang dijatuhkan terhadap Akil adalah hukuman maksimal, pidana penjara sumur hidup.

Selama beberapa tahun terakhir, Koalisi mencatat 3 persoalan mendasar yang berpotensi meruntuhkan wibawa MK sebagai penjaga konstitusi. Dari mulai pengangkatan Hakim MK, sampai sejumlah putusan yang dianggap kontroversial dan berpotensi melemahkan pemberantasan korupsi.

1. Pengangkatan sejumlah Hakim MK yang tidak transparan dan bertentangan dengan UU

Pada tahun 2013 lalu, Koalisi Selamatkan MK melayangkan gugatan terhadap Keppres No 87/P Tahun 2013. Salah satunya bunyi Keppres berisikan pengangkatan Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi. Koalisi menuntut agar Keppres yang diterbitkan oleh Presiden SBY segera dicabut. Alasannya karena bertentangan dengan Pasal 15, 19 dan 20 Undang-Undang No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 sebagai berikut :

Peraturan Perundang-Undangan

Pelanggaran Yang Terjadi

Pasal 15 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tentang Integritas, Kepribadian adil, tidak tercela, dan mampu berlaku adil serta negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan

Karena tidak dipublikasikan, terhadap calon Hakim Konstitusi, sehingga mengakibatkan persyaratan di Pasal 15 tidak terpenuhi dengan baik.

Pasal 19 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tentang transparansi dan partisipatif

Tidak dilaksanakannya transparansi dalam pemilihan calon hakim konstitusi oleh tergugat dan tidak terpenuhinya partisipasi masyrakat dalam melakukan pemantauan dan pengawasan serta memberikan masukan kepada calon-calon hakim konstitusi yang akan diusulkan.

Pasal 20 Ayat 2 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, tentang pemilihan hakim konstitusi wajib diselenggarakan secara objektif dan akuntabel.

Tidak terbukanya partisipasi publik dan transparansi menegasikan objektivitas dan akuntabilitas pencalonan hakim.

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaran Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.

Pelanggaran terhadap azas tertib penyelenggaraan negara dan azas keterbukaan

Pasal 9 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaran Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.

Melanggar hak amasyarakat untuk berperan serta mencari, memperoleh, dan memberikan informasi mengenai penyelenggaraan negara.

Meskipun gugatan sempat dimenangkan pada PTUN tingkat pertama, namun upaya Koalisi akhirnya kandas pada tingkat kasasi.

2. Rekam Jejak Hakim MK : Korupsi dan pelanggaran etik

Selain 2 hakim MK yang berurusan dengan KPK, Ketua MK pun pernah dijatuhi sanksi etik. Ketua MK Arief Hidayat dinyatakan melakukan pelanggaran ringan terhadap kode etik butir ke-8 soal kepantasan dan kesopanan sebagai hakim konstitusi. Sayangnya, sanksi yang diberikan hanya teguran lisan.

Arif terbukti memberikan katebelece, atau selembar kertas yang ditulis Arief pada 16 April 2015. Nota itu ditujukan kepada Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) Widyo Pramono. Dia meminta Widyo seolah memberikan perlakuan khusus kepada Jaksa Negeri Trenggalek Muhammad Zainur Rochman. Arief menulis Zainur adalah salah satu kerabatnya.

3. Putusan MK yang mulai tidak berpihak pada pemberantasan korupsi

Sejak Arief Hidayat menjabat sebagai Ketua, koalisi sekurangnya mencatat 5 (lima) putusan MK yang berpotensi mengancam pemberantasan korupsi. 

Pertama, perluasan objek praperadilan. Pada 28 April 2015, MK mengabulkan permohonan terkait uji materi pasal 77 huruf (a) KUHAP yang memperluas objek praperadilan. Permohonan diajukan oleh Bachtiar Abdul Fatah, Karyawan PT Chevron Pacific Indonesia yang telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Kejaksaan Agung. Melalui Putusan Nomor 21/PUU-XII/2015, MK memutuskan untuk memperluas objek permohonan praperadilantidak saja tentang keabsahan penghentian penyidikan dan penuntutan namun menambah tiga hal baru yang termasuk dalam objek praperadilan yaitu, penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.

Kedua, mantan narapidana dapat mengikuti Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Pada 9 Juli 2015 MK mengabulkan permohonan agar Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah dibatalkan (Putusan MK Nomor 42/PUU-XII/2015).

Ketiga, larangan jaksa mengajukan Peninjauan Kembali terhadap putusan berkekuatan hukum tetap. Pada akhir Desember 2015, MK mengabulkan permohonan dari Anna Boentaran, istri Djoko D Tjandra, buronan dalam perkara skandal korupsi cessie (hak tagih) Bank Bali. Dalam putusannya, majelis hakim MK menyatakan bahwa jaksa penuntut umum tidak bisa mengajukan peninjauan kembali atas putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Keempat, mantan terpidana (korupsi) dapat mengikuti Pilkada di Aceh. Pada 23 Agustus 2016, MK mengambulkan gugatan Abdullah Puteh terhadap Pasal 67 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Pasal 67 ayat (2) huruf g berbunyi “tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara minimal 5 tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali tindak pidana makar atau politik yang telah mendapat amnesti/rehabilitas”.

Kelima, penghapusan pidana permufakatan jahat dalam perkara korupsi. Pada 7 September 2016, MK mengabulkan seluruh gugatan terkait penafsiran "pemufakatan jahat" yang diajukan Setya Novanto, mantan Ketua DPR RI yang sedang dalam proses penyelidikan di Kejaksaan Agung . Pemohon mengajukan uji materi Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Pasal itu menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.Kata "pemufakatan jahat" dalam pasal ini mengacu pada Pasal 88 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam putusan Nomor 21/PUU-XIV/2016, MK menyatakan khusus istilah "pemufakatan jahat" dalam Pasal 88 KUHP tidak dapat dipakai dalam perundang-undangan pidana lainnya.

Dan keenam, memutuskan pasal 2 dan 3 UU Tipikor harus memenuhi adanya kerugian negara atau perekonomian negara yang nyata (Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016). Putusan akan mengerogoti upaya penyidikan perkara korupsi yang dilakukan penegak hukum. Syarat untuk menggunakan pasal tersebut menjadi sangat ketat da sulit. Ada banyak perkara yang tertunda karena belum menunggu proses perhitungan potensi kerugian Negara. Diantaranya adalah kasus dugaan korupsi dalam proyek e-KTP.

Lemahnya pengawasan juga merupakan akibat dari hasil pengujian kewenangan Komisi Yudisial di tahun 2006. Mahkamah Konstitusi justru menghilangkan kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. 

Atas sejumlah catatan tersebut, koalisi menuntut agar :

  1. Ketua MK segara mengundurkan diri karena gagal menjaga kewibawaan MK.
  2. KPK mengusut tuntas kasus dugaan korupsi yang dilakukan oleh Patrialis Akbar, dan KPK jangan ragu untuk pihak – pihak lainnya yang berpotensi terlibat.
  3. Memperkuat fungsi pengawasan internal dan eksternal.
  4. Presiden segara mencari pengganti Patrialis Akbar untuk menutup kekurangan hakim konstitusi.


Jakarta, 27 Januari 2017

KOALISI MASYARAKAT SIPIL SELAMATKAN MAHKAMAH KONSTITUSI


Veri Junaidi /  Direktur Kode Inisiatif (085263006929)

Fritz Edward Siregar / Pengajar HTN STIH Jentera (0811902413)

Tama S. Langkun / Kordinator Div. Hukum dan Monitoring Peradilan ICW (08119937669)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan