FKDPM Tuding Pertamina Lakukan Mark Up [27/07/2004]

Para kepala daerah penghasil minyak bumi dan gas (migas) yang tergabung dalam Forum Konsultasi Daerah Penghasil Migas (FKDPM) mempertanyakan mark-up Pertamina dalam melakukan perhitungan ongkos produksi hasil minyak

Di Indramayu, harga per barel ongkos produksi US$2, digelembungkan menjadi US$7,1. Jika dihitung, selisihnya kan US$5,1 dikalikan kurs Rp8 ribu (asumsi APBN), dengan produksi 10 juta barel per tahun, nilainya menjadi Rp4 triliun. Ke mana uang itu? urai Ketua Umum FKDPM Irianto MS Syafiuddin kepada pers, usai membuka Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Kepala Dinas Pertambangan Daerah Penghasil Migas Seluruh Indonesia di Hotel Inna Kuta Beach, Bali, belum lama ini.

Perhitungan ongkos produksi inilah yang diharapkan Irianto dapat dijelaskan secara transparan kepada daerah penghasil, karena daerah mempunyai potensi, hak eksistensi, dan hak policy atas sumber daya alamnya.

Mewakili rekan-rekannya, Irianto juga meragukan hasil penerimaan daerah dari minyak bumi sebesar 6% untuk bagian kabupaten/kota sesuai UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Menurut perhitungan dewan pakar yang kami terima paling tidak hanya 1,2%, bukan 6%.

Persoalan jaminan kesehatan bagi masyarakat di daerah-daerah tambang juga menjadi hal penting yang harus diperhatikan pemerintah dan investor. Sejumlah daerah seperti Indramayu dan Tarakan, kata Irianto, masyarakatnya kini mengalami gejala penurunan kesehatan yang dikhawatirkan berkaitan dengan aktivitas pertambangan di daerahnya.

Dari rakernas ini, FKDPM mengharapkan adanya sinergi antara pemerintah pusat dan daerah untuk memadukan dua sudut pandang berbeda mengenai pengelolaan sumber daya alam ini. Untuk itu, dalam forum yang difasilitasi FKDPM ini, sejumlah hasil yang akan menjadi rekomendasi di antaranya perhitungan bagi hasil yang adil termasuk pengolahan, eksplorasi, serta transparansi.

Hal yang sama juga dipaparkan Wali Kota Tarakan Jusuf SK. Beberapa hal yang masih perlu perbaikan dalam pengelolaan migas antara pusat dan daerah penghasil adalah formula bagi hasil yang adil. Lainnya, soal dana jaminan pengelolaan lingkungan, serta transparansi tentang lifting dan biaya operasional migas.

Daerah penghasil migas mengharapkan pemerintah merevisi formula perhitungan bagi hasil yang dirasakan belum memenuhi asas transparan dan berkeadilan. Pemerintah pusat belum menerapkan asas transparansi mengenai perhitungan bagi hasil kepada daerah-daerah penghasil migas.

Baik Jusuf maupun Irianto menyebutkan, prinsip-prinsip good governance yaitu transparansi, akuntabilitas dan fairness harus terus-menerus diperjuangkan dengan melibatkan berbagai pihak, di antaranya Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Departemen Keuangan, BP Migas, Departemen Dalam Negeri, dan DPR khususnya Komisi VIII.

Beberapa permasalahan lainnya yang mengganggu sinergi dan komunikasi antara daerah penghasil migas dan pemerintah pusat adalah kurangnya transparansi menyangkut bagi hasil, dan pelaksanaan community development yang tidak melibatkan daerah penghasil. Padahal, tambah Irianto, daerah diwajibkan memelihara kelestarian lingkungan dalam kewenangannya mengolah sumber daya nasional di wilayah masing-masing.

Mewakili rekan-rekannya, Irianto menyebutkan bagi hasil yang diterapkan tidak memberi kontribusi signifikan bagi daerah penghasil. Di Indramayu saja, sebagai daerah penghasil minyak bumi dan gas besar, angka kemiskinannya masih di atas 51%, kata Irianto yang juga Bupati Indramayu ini. (LU/E-1)

Sumber; Media Indonesia, 27 Juli 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan