Fenomena Kegagalan Hukum

Ketika jaksa menuntut Artalyta dengan pidana penjara lima tahun di Pengadilan Tipikor, muncul berbagai kritik atas hal itu.

Harus disadari, proses hukum itu sedang berjalan. Putusan hakim boleh jadi lebih berat, lebih ringan, atau sama sekali membebaskan; putusan menjadi fakta hukum jika telah mendapat kekuatan hukum tetap.

Terlalu banyak fenomena yang terjadi dan sedang berlangsung, mengisyaratkan kita seakan telah mengalami kegagalan dalam berhukum. Apakah sesungguhnya terjadi demikian? Paling tidak fenomena ini merupakan upaya untuk memberi makna relatif kepada prinsip hukum yang sesungguhnya kita anut bersama.

Penegakan hukum

Tidak banyak disadari bahwa penegakan hukum itu sebenarnya telah dimulai ketika peraturan perundang-undang dirumuskan oleh badan legislatif. Setiap norma hukum apa pun bentuknya pasti akan memihak nilai- nilai tertentu yang dianggap mulia.

Kegagalan untuk mengakomodasi nilai-nilai hukum ini merupakan awal kegagalan tahap berikutnya. Artinya, seberapa besar pencelaan yang akan diberikan kepada sesuatu perbuatan akan bergantung pada besar kecilnya sanksi yang diancamkan. Semakin besar pencelaan perbuatan yang pantang dilakukan, semakin tinggi ancaman pidana yang diancamkan. Begitu idealnya. Kesadaran akan hal ini telah dimulai ketika suatu gagasan hukum diinisiasikan.

Tahap berikutnya adalah tahap penggarapan politik, yakni bagaimana nilai-nilai itu digarap, didiskusikan, dan diaplikasikan di tingkat legislatif. Boleh jadi nilai- nilai yang semula digagas menjadi mentah atau gagal atau mendapat bentuk yang tidak sempurna. Inilah tahap krusial yang harus dilalui ide besar yang hendak diwujudkan melalui hukum, misalnya ide keadilan, kesamaan, dan kesebandingan. Inilah wilayah pertama yang disebut penegakan hukum in abstracto.

Apabila tahap itu telah dilalui, tahap berikutnya menginjak ke wilayah penegakan hukum. Wilayah ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan wilayah pertama. Memasuki wilayah hukum in concreto ini, keadaan yang sama akan berulang kembali, bagaimana aparat penegak hukum memberi makna terhadap hukum yang dijadikan acuannya.

Penyidik, penuntut umum, dan hakim bekerja untuk menemukan kembali nilai-nilai yang telah disimpan dalam norma hukum (undang-undang). Kegagalan dalam tahap ini umumnya disebabkan kegagalan membaca kembali nilai-nilai yang ada di balik norma hukum yang hendak ditegakkan.

Sebagai contoh perkara X, tetapi yang disidik perkara Y atau Z. Bisa dipastikan akan terjadi pembebasan. Atau perkara X dibentuk sedemikian rupa sehingga tampilannya tidak utuh lagi dan akhirnya dilakukan pendekatan administratif atau pendekatan kode etik profesi tertentu.

Jelas, dalam tataran empirik gambaran hukum sesungguhnya tertampil tidak utuh lagi.

Pendekatan alternatif

Jelas, pendekatan hukum saja tidak cukup. Dengan kata lain, bukan segala-galanya, diperlukan pendekatan lain agar masalah itu menjadi tuntas. Jika disepakati pendekatan hukum merupakan salah satu sarana, maka pendekatan lain harus ditawarkan.

Pertama, alternatif dilakukan dengan pendekatan kultural. Pendekatan ini hendak menegaskan, semakin berbudaya suatu bangsa, semakin tinggi pula budaya bangsa itu dalam berhukum. Teknologi dan ilmu pengetahuan yang berkembang pesat harus memberi kontribusi positif dalam cara-cara berhukum. Pendekatan budaya ini menghendaki agar nilai-nilai kultural yang dijunjung tinggi ditegakkan kembali. Budaya malu harus dihidupkan. Apa lagi bangsa ini dikenal sebagai bangsa berbudaya; maka menghidupkan nilai budaya malu sebenarnya menemukan relevansinya dalam kultur kehidupan kita. Masalahnya kini, masihkah budaya malu ini meresap dalam kalbu masing-masing?

Kedua, pendekatan psikologis. Pendekatan ini memunculkan dampak psikologis terhadap mereka yang ditengarai melakukan pelanggaran hukum. Mereka yang melanggar hukum secara psikologis hendaknya menyadari bahwa yang bersangkutan telah melakukan perbuatan tercela. Dengan demikian masih pantaskah dirinya mencalonkan diri ke dalam jabatan-jabatan publik yang menghendaki kredibilitas yang tinggi. Sementara perilakunya telah ”cacat”.

Di lain sisi, sejatinya ancaman pidana itu merupakan psikologisce dwang, paksaan psikologis. Pelaku seharusnya merasa dirinya tidak layak lagi mencalonkan diri akibat paksaan psikologis ini.

Namun, kedua pendekatan ini dirasakan tidak efektif dalam tataran faktual. Contoh konkret hal ini adalah gerakan untuk tidak memilih politisi busuk dalam pemilu legislatif justru mendapat tantangan dari komunitas hukum karena ada asas praduga tidak bersalah dan sejenisnya.

Baik pendekatan kultural maupun psikologis, hendaknya memunculkan kesadaran dalam diri masing-masing untuk berperilaku yang pantas dengan mengindahkan fatsun-fatsun di bidang mana pun.

Bangkitnya kesadaran diri inilah yang menjadi tujuan akhir sesungguhnya dari cara-cara berhukum. Penghukuman yang dijatuhkan merupakan bentuk pencelaan atas perbuatan yang dilakukan. Di lain pihak, pencelaan ini merupakan suatu bentuk penyesalan yang ditimpakan terhadap mereka yang melakukan pelanggaran hukum.

Mungkinkah pencelaan dan penyesalan ini masih relevan di tengah arus liberalisme dan kapitalisme yang mengepung kita kini? Akan tetapi, di atas segalanya, semua harus menyadari, kedua pendekatan ini merupakan proyek besar yang tidak pernah selesai. Keterlibatan semua elemen masyarakat merupakan keniscayaan. Dan kita harus memulainya dari sekarang.

M Ali Zaidan Komisioner Komisi Kejaksaan RI; Pendapat Pribadi

Tulisan ini disalin dari Kompas, 21 Juli 2008 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan