Fatwa soal Aset Mengkhawatirkan; MA Jangan Cuma Berpijak pada Hukum Formal
Fatwa Mahkamah Agung tentang pemisahan aset negara dengan aset perusahaan milik negara dikhawatirkan bakal berdampak pada penanganan perkara korupsi. Korupsi yang terjadi di BUMN bisa diarahkan ke hukum perdata atau perseroan.
Kekhawatiran itu disampaikan ahli hukum Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji, dan anggota Komisi III DPR, Gayus Lumbuun (Fraksi PDI-P, Jawa Timur)
Menurut Indriyanto, fatwa MA akan berdampak pada kasus korupsi yang tersangka atau terdakwanya berasal dari BUMN. Pasalnya, menurut fatwa yang dikeluarkan MA pada Agustus 2006 itu, pemisahan kekayaan negara dalam APBN serta APBD ke dalam BUMN sebagai penyertaan modal tak dapat diartikan sebagai keuangan negara.
Karenanya, operasional atau akibatnya tunduk pada prinsip hukum perdata atau perseroan, kata Indriyanto, Sabtu (30/9).
Dengan demikian, tidak akan ada lagi kerugian keuangan negara sebagai unsur dalam perkara korupsi. Padahal, satu unsur perkara korupsi yang berkaitan dengan keuangan negara adalah adanya kerugian negara.
Menurut Gayus Lumbuun, MA mestinya memerhatikan keadilan masyarakat dan tidak terpaku pada hukum formal, terutama terhadap korupsi yang merugikan keuangan negara. Apalagi, beberapa waktu lalu muncul putusan Mahkamah Konstitusi yang juga mengarahkan putusannya pada UU formal sehingga melupakan rasa keadilan masyarakat.
Saat ini kasus Neloe (mantan direksi Bank Mandiri) masih menunggu putusan kasasi MA. Saya khawatir MA membebaskan Neloe dan kawan-kawan dengan alasan belum ada kerugian negara, kata Gayus.
Hakim, lanjutnya, memiliki kebebasan memutuskan perkara. MA diharapkan tidak hanya berpijak pada hukum formal legalistik, dan memutuskan perkara Neloe dengan memerhatikan rasa keadilan masyarakat.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung menegaskan, fatwa MA itu tidak akan mengganggu penanganan perkara korupsi yang berkaitan dengan BUMN. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Hendarman Supandji Jumat pekan lalu menegaskan, fatwa MA hanya berpengaruh pada faktor ke mana uang hasil korupsi dikembalikan. Sementara unsur-unsur korupsi sudah diatur dalam UU No 31/1999 yang diperbarui menjadi UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi. (idr)
Sumber: Kompas, 2 Oktober 2006