Fakta di Balik Angka

CLIVE WJ Granger, ahli ekonometri pemenang Hadiah Nobel Ekonomi 2003, berkata, Purpose of economics is to help decision makers make better decision. Memang tugas ilmu ekonomi membantu pengambilan keputusan (kebijakan), baik di tingkat individu, kelompok (perusahaan), maupun negara.

Dampak keputusan pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM) masih mendera kita. Para ekonom yang mendorong keputusan itu berargumen dengan sederet angka. Pemerintah harus memberi subsidi BBM sekitar Rp 200 miliar per hari, setara dengan Rp 72 triliun per tahun. Logikanya, pengalihan subsidi kepada rakyat miskin otomatis akan menurunkan jumlah kemiskinan. Sesederhana itukah?

Seorang ekonom berujar, Saya membayangkan harga BBM naik, tetapi sekolah gratis... dan jumlah kemiskinan berkurang. Gaya berpikir lugas khas ekonom. Jika ditilik dari rekaman angka hasil simulasi, tidak ditemukan fakta, pengalihan subsidi akan berdampak negatif. Namun, harus diingat, fakta itu disodorkan oleh rentetan angka yang tidak berjiwa. Dia sudah mengalami penyederhanaan sehingga bisa mereduksi fakta.

Meski demikian, harus diakui angka adalah peta. Jika tidak berdasar angka, bisa jadi pengambilan keputusan kian salah arah. Hanya saja, angka harus ditempatkan sebagai data yang memberi makna atas suatu fakta.

Soal BBM
Para penganjur pencabutan subsidi, khususnya yang diorganisasi Freedom Institute, sepertinya benar. Subsidi kita salah arah, dinikmati kalangan menengah-atas. Namun, bukan berarti pencabutan subsidi tidak akan menekan kelas bawah. Tidak bisa dikatakan pencabutan subsidi akan menurunkan jumlah orang miskin. Bisa jadi keduanya menjadi realitas yang berbeda.

Benar, pemerintah berjanji mengalihkan subsidi BBM untuk bantuan beras miskin, pendidikan, dan kesehatan. Sebesar Rp 3,3 triliun dianggarkan untuk pembangunan fasilitas infrastruktur di 11.000 desa miskin yang tersebar di 419 kabupaten. Selain itu, dana kompensasi akan disalurkan melalui skema pemberian beras miskin kepada 8,6 juta. Di bidang kesehatan, pemerintah mematok target 36,1 juta jiwa akan menerima jatah dari dana kompensasi BBM. Di bidang pendidikan, 9,6 juta siswa (SD, SMP, dan SMA) akan menerima beasiswa.

Angka itu memberi fakta, banyak orang miskin yang akan diringankan hidupnya melalui pencabutan subsidi BBM. Tetapi terlalu dini mengatakan kenaikan BBM akan mengurangi jumlah orang miskin. Belum lagi dana kompensasi tiba, derita telah lebih dulu ada. Ongkos angkutan kota naik, PLN pun meminta tarif dasar listrik (TDL) juga naik.

Atas fakta ini, para ekonom akan berseru, mana buktinya kenaikan BBM mendorong kenaikan harga? Lihat angka statistik inflasi. Studi Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM-UI) menunjukkan, kenaikan rata-rata 30 persen harga BBM akan berdampak pada peningkatan laju inflasi sebesar hanya 0,7 hingga 1,2 persen. Dengan hasil sedikit beda, Bank Dunia menemukan kenaikan harga BBM 20-30 persen hanya akan meningkatkan inflasi sebesar 1-2 persen.

Secara makro, pengaruh kenaikan BBM tidak signifikan. Salah satu indikasi penting, para penanam modal portofolio (domestik dan asing) tetap membubuhkan optimisme pada masa depan perusahaan-perusahaan publik di Indonesia. Kalaupun kenaikan BBM akan mendongkrak biaya operasi, tingkat keuntungan perusahaan diperkirakan masih tetap tinggi sehingga saham-saham masih terus diminati. Pascakenaikan harga BBM, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta (BEJ) masih terus bertengger di atas 1.100 poin (angka tertinggi dalam sejarah BEJ).

Sampai di sini seluruh logika yang disusun dengan serentetan angka tidak perlu diragukan kebenarannya. Sehingga, para pendukung (khususnya Freedom Institute) kenaikan harga BBM layak optimistis dengan sikapnya.

Pelembagaan
Persoalan pelik dan problematis akan muncul pada proses pelembagaan kebijakan. Ada sebuah konteks sosial-politik serta pranata-pranata tipikal dalam sistem ekonomi kita yang menentukan berhasil tidaknya sebuah kebijakan. Apa pun alasannya, proses politik di parlemen telah menimbulkan biaya. Belum lagi serentetan demonstrasi, baik mahasiswa, sopir angkot, maupun kelompok lain dalam masyarakat. Biaya kesempatan yang hilang (opportunity cost) dengan terjadinya mogok secara nasional maupun lokal, misalnya, tidak pernah bisa disajikan dalam angka, apalagi nilai nominalnya.

Douglass C North penerima Hadiah Nobel Ekonomi 1993 mengingatkan, sebaiknya ekonom tak hanya peduli dengan bekerjanya keseimbangan (mekanisme) pasar saja, tetapi juga melihat mekanisme pasar dari waktu ke waktu (evolutionary approach). Dia penggagas ekonomi institusi versi baru (new institutionalism) yang menekankan konteks dari sebuah mekanisme pasar.

Belajar dari gagasan ini, kenaikan harga BBM juga perlu diletakkan dalam konteksnya. Di Bengkulu, misalnya, begitu ada tanda-tanda kenaikan harga BBM, harga eceran minyak tanah langsung melonjak hingga Rp 1.500 per liter. Padahal, harga eceran tertinggi (HET) sesuai dengan Surat Keputusan (SK) Gubernur Rp 900 per liter. Di tempat lain, fenomena yang sama tak sulit ditemukan. Sopir angkutan yang menaikkan tarif jauh di atas peraturan pemerintah, pedagang yang menaikkan harga kebutuhan pokok secara tidak proporsional, dan sebagainya.

Institusi ekonomi kita masih diwarnai gejala pasar gelam yang tidak terekam dalam perhitungan angka statistik (underground economy). Sehingga, sulit memercayai angka-angka sebagai satu-satunya kebenaran. Senada dengan itu, kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Choiril Maksum mengingatkan, meski kenaikan harga BBM hanya akan berdampak langsung terhadap peningkatan inflasi antara 0,37 persen hingga 1,3 persen, namun dampak psikologisnya bisa dua kali lipat.

Terkait pelembagaan dari kebijakan pencabutan subsidi, the Economist (edisi 3/3/2005) mengingatkan, di tubuh pemerintahan ada persoalan internal yang pelik: the economics team is an unconfortable mix of technocrats and politically-connected businessmen. Mungkin saja, pencabutan subsidi justru akan menunjukkan kepada publik, keputusan kabinet tidak bias pada kepentingan pengusaha. Namun, begitu adanya, kenaikan harga BBM tidak berpenaruh pada kelompok menengah-atas. Sementara dampaknya bagi masyarakat miskin, masih diperdebatkan.

Dilema terbesar ilmu ekonomi terletak pada tujuannya, membantu pengambilan keputusan (kebijakan). Dalam hal kenaikan harga BBM ini, kita belum tahu, apakah kebijakan yang diusulkan dengan berasumsi dari perhitungan angka akan bisa bekerja. Karena fakta di balik angka, cukup rumit dipahami. Salah satu agenda para pengkritik kebijakan pencabutan subsidi, tidak diselesaikannya masalah korupsi. Korupsi menjadi salah satu masalah penting dalam sistem kelembagaan kita. Meski dia bukan satu-satunya.

Kita tunggu janji para penganjur kenaikan harga BBM untuk turut mendorong perbaikan institusi ekonomi, termasuk di antaranya pemberantasan korupsi.(A Prasetyantoko Mahasiswa Doktoral Departemen Ekonomi, Ecole Normale Sup

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan