Faisal Basri Versus Hadi Poernomo
Perang pernyataan antara Direktur Jenderal Pajak Hadi Poernomo dan ekonom Faisal Basri soal kebocoran pajak semakin terbuka. Bahkan semakin melebar karena berbagai kalangan ikut memanaskan situasi. Banyak kalangan, dari ekonom, anggota DPR, aktivis Indonesia Corruption Watch, Masyarakat Transparansi Indonesia, hingga Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, ikut memberikan pernyataan seperti mengeroyok Direktur Jenderal Pajak.
Hampir semua pernyataan mereka--seperti menjadi berita utama Koran Tempo edisi Jumat (8/4)--berisi keprihatinan terhadap sikap Direktur Jenderal Pajak dalam menanggapi kritik masyarakat atas dugaan praktek korupsi di lembaganya. Bahkan Direktur Jenderal Pajak dianggap sebagai pejabat yang arogan. Hadi pun seolah terpojok.
Entah apakah karena serangan datang bertubi-tubi, sikap Hadi kemudian melemah. Keesokan harinya, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan kepada pers bahwa dirinya tak berniat mengajukan somasi terhadap Faisal Basri, seperti yang dilakukannya terhadap Kwik Kian Gie beberapa hari sebelumnya. Dia justru menganggap masalahnya selesai jika Faisal tak menunjukkan bukti.
Sikap Direktur Jenderal Pajak kepada Faisal ini jelas berbeda dengan sikapnya terhadap Kwik. Kepada mantan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional itu, dia menggugat dan menuntut permintaan maaf karena dalam tulisannya Kwik mengindikasikan ada kebocoran penerimaan pajak hingga 50 persen atau Rp 180 triliun. Karena tak punya bukti, Kwik pun akhirnya minta maaf melalui media.
Bila mengacu pada sistem perpajakan yang dianut oleh pemerintah Indonesia, kecurigaan atas kebocoran pajak memang bisa dimungkinkan. Indonesia menganut sistem self assessment atau wajib pajak menghitung sendiri kewajiban pajaknya, membayar sendiri ke kas negara, kemudian melaporkan kepada Direktorat Jenderal Pajak jumlah pajak yang dibayar.
Faktanya, tidak sedikit wajib pajak yang melaporkan kewajiban pajaknya secara tidak benar. Berdasarkan laporan melalui surat pemberitahuan pajak tahunan, Direktorat Jenderal Pajak meneliti laporan tersebut. Dari hasil penelitian itu atau sumber lain, Direktorat Jenderal Pajak menemukan bukti bahwa jumlah pajak yang dibayar lebih kecil dari yang seharusnya. Dari situlah muncul kompromi-kompromi yang menyebabkan potensi penerimaan pajak hilang.
Potensi kebocoran itu diperparah oleh pandangan umum masyarakat Indonesia sendiri yang berprinsip kalau bisa tidak bayar, kenapa harus bayar pajak? Bahkan pajak dianggap sebagai kewajiban yang aneh atau gila karena setelah membayar pajak, kita tidak mendapatkan apa-apa yang langsung bisa kita rasakan. Karena ada kecenderungan seperti itulah negara memaksa masyarakat membayar pajak melalui pembentukan Undang-Undang Perpajakan.
Mencermati berbagai keadaan tersebut, kritik atau tudingan soal kebocoran pajak memang mudah dilontarkan, termasuk yang mengemuka beberapa hari terakhir ini. Sebagian kritik tersebut tentu ada benarnya. Seperti pernyataan Faisal Basri soal adanya potensi pajak yang hilang.
Tapi banyak pula tudingan mereka yang perlu dipertanyakan keabsahannya, misalnya mengenai banyak dikorupsinya penerimaan pajak. Apalagi jika tudingan itu tidak disertai bukti yang mendukung. Tudingan tanpa bukti yang jelas bukannya berdampak positif, tapi justru berdampak negatif.
Perlu diingat bahwa siapa pun orangnya, tak akan bisa bekerja dengan baik jika saat bertugas selalu dicurigai. Begitu pula aparat pajak. Kinerja mereka justru bisa merosot jika terus-menerus dicurigai dan dituduh melakukan korupsi oleh masyarakat. Karena dicurigai, seorang aparat pajak bisa saja takut bertindak melihat laporan wajib pajak yang tidak benar. Jika sikap ini menghinggapi sebagian besar aparat pajak, dampaknya justru berbahaya. Target penerimaan pajak bisa tak tercapai.
Patut diduga, apa yang disampaikan Kwik ataupun Faisal sebenarnya menghendaki agar Direktur Jenderal Pajak melakukan perbaikan atau mengambil tindakan terhadap bawahannya yang menyimpang. Tindakan yang mungkin dilakukan hanya sebatas langkah-langkah yang bersifat sanksi administratif. Sanksi itu bisa berupa peringatan, teguran, pernyataan tidak puas, penurunan pangkat, atau sanksi terberat, yakni usul pemecatan.
Persoalannya, sanksi itu hanya bisa dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak jika ada bukti yang valid atas pelanggaran yang dilakukan oleh jajarannya, baik yang ringan, sedang, maupun berat. Kevalidan bukti di sini sangat dibutuhkan oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menjaga kemungkinan adanya gugatan balik dari karyawan yang dihukum seandainya yang bersangkutan terbukti tidak bersalah.
Bila disimak pernyataan Direktur Jenderal Pajak, sebenarnya langkah-langkah penertiban yang bersifat administratif secara rutin telah dilakukan. Hasil dari penertiban itu, rata-rata setiap tahun ada 300 aparat yang dikenai hukuman administratif. Dari jumlah itu, sekitar 30 orang atau 10 persennya diusulkan dipecat.
Direktur Jenderal Pajak tidak mungkin memberikan sanksi yang bersifat pidana. Sebab, hal itu adalah kewenangan polisi, kejaksaan, dan pengadilan untuk memutuskannya. Untuk sanksi tersebut, tentunya diperlukan bukti-bukti yang lebih valid lagi. Majelis hakim tentunya tidak akan seenaknya menjatuhkan vonis bersalah atau korupsi hanya atas dasar sinyalemen seorang Kwik atau Faisal.
Berangkat dari perdebatan yang hanya buang waktu dan energi itu, ada beberapa hal yang perlu dicermati agar tidak terulang di masa datang. Para teknokrat semestinya tidak sembarangan membuat pernyataan atau sinyalemen tanpa didukung bukti. Jika memiliki bukti, semestinya kita memberikannya kepada Direktur Jenderal Pajak dan meminta agar bukti tersebut ditindaklanjuti. Bila bukti itu tidak ditindaklanjuti, baru kita menuntut agar direktur itu mundur.
Direktur Jenderal Pajak sendiri semestinya tidak mudah kebakaran jenggot menanggapi kritik masyarakat. Apalagi sebagai pejabat publik yang harus mempertanggungjawabkan tugasnya kepada masyarakat. Jika kritik itu disampaikan tanpa bukti, anggap saja sebagai anjing menggonggong kafilah berlalu.
Direktorat Jenderal Pajak semestinya berkonsentrasi meningkatkan penerimaan pajak dengan berbagai cara, baik melalui ekstensifikasi maupun intensifikasi. Pembayaran pajak dengan sistem online seharusnya tidak hanya diterapkan pada wajib pajak besar seperti di Jakarta, tapi segera diperluas mencakup seluruh wilayah Indonesia. Sebab, dengan sistem ini, pertemuan antara aparat pajak dan wajib pajak bisa dihindari.
Tindakan ini tidak sekadar berdampak bagi perbaikan citra Direktorat Jenderal Pajak, tapi juga mengurangi kebocoran pajak. Jika kebocoran ini bisa ditekan, sumbangan pajak untuk anggaran negara akan semakin besar. Jangan lupa, dalam empat tahun terakhir, penerimaan pajak rata-rata naik sekitar Rp 30 triliun per tahun. Tahun ini penerimaan pajak ditargetkan mencapai Rp 319,4 triliun, termasuk penerimaan cukai dan bea masuk. Namun, jika dilihat dari rasio pajak yang hanya 12,3 persen, jumlah itu masih relatif kecil. Apalagi jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga.(Hasan Basri,Dosen Perpajakan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara)
Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, 12 April 2005