Fabby Tumiwa:" IPO PJB memberikan peluang PLN merugi..."
Apa sebenarnya masalah mendasar yang terjadi di PLN?
Permasalahan di PLN sudah campur baur. Artinya aspek teknis dan non teknis sudah saling tumpang tindih. Jadi agak sukar untuk menjelaskan permasalahan mendasarnya.
Tapi kalo boleh kita melihat dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, memang ini dimulai dari krisis ekonomi. Akibat krisis, PLN nyaris bangkrut, karena 80 persen biaya komponen PLN pada waktu itu tergantung pada mata uang dollar. Sehingga pada saat kurs dollar beranjak naik, biaya penyediaan listrik pun menjadi naik tinggi. Kita tahu kan pada waktu itu tarif ditentukan dalam rupiah, dan tarifnya tetap. Namun disisi lain 80% pembiayaan untuk komponen PLN dalam dollar ini yang terus melonjak tinggi.
Pada waktu itu saya ingat pada tahun 1997, 1 Kwh itu Rp 160. Jika dibandingkan dengan kurs dollar sebelum krismon kira-kira 7 sen, setelah krismon itu ya kira-kira menjadi 2 – 2,5 sen. Sehingga bisa kita bayangkan biaya komponen naik tapi dari penerimaan malah lebih sedikit. Kemudian waktu itu pemerintah harus memberikan bill out kira-kira 30 billion USD agar neraca PLN kembali normal dan tidak merugi.
.
Tetapi jika kita lihat, sejak saat itu kemampuan PLN untuk melakukan ekspansi menjadi sangat terbatas. Memang untuk pulih seperti kondisi seperti saat sebelum krisis moneter itu sulit sekali. Nah ini menjadi masalah pelik karena secara finnsial keadaan belum bisa pulih sedangkan disisi lain setelah krisis harga energi juga mulai naik, khususnya setelah tahun 2002 dimana terjadi kenaikan harga energi primer yang cukup signifikan.
Berarti pada saat itu kenaikan tarif listrik adalah sebuah konskuensi?
Pada tahun 2003 tarif memang coba dinaikan, pada saat itu kita protes karena mau dinaikan dari 3 sen / kWh ke 7 sen / kWh. Padahal waktu itu biaya produksi rata-rata hanya sekitar 6-7 sen. Kami menilai ada persoalan transparansi terkait bagaimana PLN melaksanakan proyek-proyek termasuk masalah listrik swasta yang kami nilai PLN membayar terlalu mahal kira-kira 15 persen dari total produksi tenaga listrik PLN. Waktu itu kita hitung rata-rata diatas 6 sen untuk pembangkitan listrik swastanya saja.
Nah ini memang terus berlanjut, apalagi kemudian setelah tahun 2005 ada kenaikan harga minyak yang cukup drastis diikuti oleh kenaikan harga bahan bakar. Hitung-hitungan kasar memang biaya produksinya menjadi lebih jauh dibanding dengan yang sebelumnya. Permasalahnnya sekarang di tarif, tarif itu tidak mencerminkan cost recovery. Beban terbesar PLN itu justru terletak pada bahan bakar. Biaya bahan-bakar minyak itu kira-kira 75 persen dari total biaya bahan bakar PLN, atau hampir 60 persen dari seluruh total biaya PLN. Padahal BBM itu dipakai untuk membangkitkan tenaga listrik sekitar 30 persen.
Kenapa tidak menggunakan pembangkit tenaga gas?
Kita punya banyak pembangkit tenaga gas, pembangkit gas itu ada sekitar 7000 MW, yang tidak dipakai itu sebagian besar tidak ada gasnya, itulah sebabnya tadi saya bilang beban untuk biaya BBMnya menjadi sangat tinggi, yang seharusnya pakai gas tapi gasnya tidak ada. Inilah yang membuat secara finansial untuk 2-3 tahun terakhir menjadi berat.
Dimana permasalahannya?
Permasalahannya di penyedianya (supplier), PLN kan tidak punya badan usaha gas, untuk pembangkit gasnya tergantung dari supplier-supplier gasnya, nah ini tergantung pemerintah sebenarnya.
Kalau kita lihat dari sisi migas, eksplorasi dalam 7 tahun terakhir ini sangat rendah bahkan setelah UU migas itu keluar, jadi memang ada masalah. Jadi pada dasarnya gasnya tidak tersedia. Nah ini ada miss match antara investasi di sektor migas dengan pembangkit listrik. Sehingga masalahny adalah ketersediaan energi primer.
Jadi ada beberapa isu. pertama, secara finansial kita bisa dikatakan merugi, hitunga-hitungan saya dengan komposisi energi primer yang sekarang itu biaya produksinya kira-kira rata-ratanya 11 sen USD/kWh. Artinya PLN sebenarnya jual rugi.
Kedua terkait subsidi pemerintah, subsidi pemerintah kan hanya diberikan untuk harga BBM bukan untuk ekspansi. Itu pun tidak semua BBM yang dipakai PLN karena ada quota BBM yang diatur. Jumlah BBM yang dipakai PLN itu lebih besar karena banyak penyebabnya.
Inti sebenarnya adalah tidak adanya ketersediaan energi primer yang murah termasuk ketersediaan batubara yang berkualitas untuk pembangkit yang sesuai.
Kenapa pemerintah tidak mendukng penyediaan gas untuk PLN?
Gas itu tidak serta merta di produksi oleh pemerintah, kita tahu gas itu kan ada wilayah kerja kemudian ditenderkan, kalau sepakat kemudian bisa mengembangkan eksplorasi dan memproduksinya. Permasalahnnya, mereka yang mendapatkan konversi mengembangkan ladang gas itu tidak mengembangkan itu. Jadi investasi bisnis hulunya menjadi kendala karena regulasi konversi realnya adalah UU migas.
Kemudian untuk ladang-ladang gas yang sudah dikembangkan butuh jaringan transmisi. Seperti misalnya kasus gas dari Sumatera selatan (Sumsel), dari Sumsel dibawa ke Jawa Barat untuk memasok pembangkit Tanjung Priuk, Muara Tawar dan Muara Karang. Nah untuk PLN menegosiasi dengan PGN saja susahnya setengah mati.
Jadi ada beberapa isu juga terkait dengan gas. Pertama, bahwa pemerintah itu memang tidak punya kapasitas atau tidak mau mengembangkan ladang gas sendiri. Sehingga ada ketergantungan dengan investasi yang mengembangkan ladang gas, sementara investasinya itu tidak kunjung ada. Sementara untuk ladang gas yang sudah ada itu ada masalah dengan negosiasi dengan deliver gasnya. Buat beberapa pihak untuk industri yang non PLN berani menguntungkan karena mereka berani dengan harga mahal, sedangkan PLN ada pagu harganya.
Bagaimana denga PLTN?
Yang saya tahu PLTN tidak layak dan bukan pilihan yang murah, saya cuma melihat dari aspek ekonomi dan aspek keselamatan. Kalau PLTN dibangun di Indonesia pasti harganya lebih mahal dari PLTU, minimal biaya capital costnya dua kali lipat dari PLTU dengan asumsi yang normal, tidak ada masalah pada saat pembangunan.
Titik-titik potensi penyelewengan dalam tata pengelolaan PLN?
Pembangkit, Transmisi dan Distribusi. Untuk pembangkit yang berkapasitas 2x600 MW itu biayanya 1.5 miliar $US (capital cost). Sayangnya kita tidak punya badan regulator, harusnya pemerintah itu kan menjadi regulator kenyataannya kan mereka kan tidak memasukan fungsi itu dengan benar.
Isu swastanisasi dan IPO 30 persen?
Ini debat panjang yah. Kalau saya begini, Kenyataanya ketika listrik dikelola PLN menjadi tidak benar. Maksudnya, saya itu percaya sama regulasi, kalau dibuat regulasi yang benar maka hal-hal yang tidak benar bisa dihindari dengan regulasi yang baik.
Kalau pemerintah punya benchmark yang jelas dan negosiasi yang merugikan bisa dihilangkan itu menjadi sangat baik, masalahnya kan itu tidak mau dilakukan pemerintah.
Tapi saya juga melihat satu hal seperti ini, kebutuhan listrik di negeri kita ini cukup tinggi nah kalau kita mau bilang tidak butuh swasta itu juga tidak tepat, kenapa ? karena finansialnya PLN tidak mampu. Kalau kita tidak mau swasta, pemerintahnya komitmwn untuk menyediakan dana pertahun 3 billion USD untuk investasi pembangkit di seluruh Indonesia. Jika demikian maka kita tidak perlu ada swasta, lagi-lagi permasalahannya kan pemerintahnya tidak mau. Menurut saya tidak masalah kita ada swasta tetapi itu dikompetisikan dengan PLN. Dikompetisikan dengan regulasi, tidak perlu diciptakan pasar kompetisi. Dimana-mana juga seperti itu ko.
Masalah IPO itu untuk apa?
Saya memahami diskusinya di kalangan pemerintah dan sejumlah kalangan. PLN ini karena melakukan monopoli maka powernya besar. Misalnya, untuk instalasi listrik skala kecil yang dimiliki masyarakat atau koperasi. Itu sukar dijual kepada PLN, kenapa? PLN selalu menekan mereka. Jadi usaha-usaha dengan skala kecil ini berhadapan dengan perusahaan raksasa yang memiliki kekuatan monopoli. Celakanya regulasi kita tidak melindungi yang kecil tadi sehingga orang lama-lama ya sudah lah di pecah-pecah saja, awalnya kan seperti itu.
Nah yang lain adalah jika bisa menjual saham PLN di bursa saham, transparansinya lebih baik, dan katanya ga bisa macem-macem. Tapi menurut saya juga mengenai usulan menjual IPO PJB dengan Jawa Power itu ya bodoh juga. kalau dipikir-pikir kan sebenarnya ini angsa bertelur emasnya PLN. Kenapa, karena dimana-mana, pembangkit listrik itu aset yang paling strategis. Permasalahannya karena tidak dikelola dengan baik.
Pembangkit Jawa Bali (PJB) misalnya, tidak menggunakan gas oleh karena itu harus pakai BBM, maka secara otomatis bianyanya naik. Kasus Paiton 3-4, kenapa tidak diberikan ke PJB biar lebih kompetitif. Jadi aspek pengelolaannya yang membuat dia tidak kompetitif. Kalau saya bilang, transparansi itu bisa diciptakan melalui regulasi. Kalau tidak dibuat regulasi yang benar transparansi itu tidak perlu ada. Tapi orang terkesima, pasar harus memaksa membuat orang untuk jadi transparan. Padahal banyak kasus yang membuktikan tidak selalu ketika dijual di pasar saham kemudian kinerja perusahaannya baik.
Tidak tahu teman-teman yang berbicara governance. Saya sih tidak percaya yah bahwa itu bisa menjamin transparansi. Dimana-mana, orang kalau mau jual saham ketika performanya baik bukan sebaliknya. IPO PJB ini kan sama saja memberikan peluang untuk merugi karena PLN dalam performa yang kurang baik. (Norman/Agus)