Evaluasi Kebijakan Antikorupsi

Impian akan ada lompatan besar pemberantasan korupsi dalam setahun pertama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mungkin harus dijadwalkan kembali menjadi impian tahun berikut.

Citra diri bersih dan modal politik yang besar semula cukup meyakinkan publik bahwa SBY tidak gamang menabuh genderang perang terhadap koruptor meski harus berhadapan dengan kekuatan-kekuatan politik korup yang terusik. Apalagi semua perlengkapan hukum dan institusional untuk melawan koruptor relatif telah tersedia, yang telah dibangun sejak pemerintahan Habibie hingga Megawati. Belum lagi gerakan sosial antikorupsi tumbuh dan kian meluas.

Tema percepatan pemberantasan korupsi yang digulirkan SBY sejak awal pemerintahannya, diikuti pembentukan tim kerja dan agenda yang relatif konkret, sepertinya direspons secara minimal anggota kabinet. Mungkin karena itu, dan harus diakui kebijakan antikorupsi yang dijalankan masih parsial dan reguler belum merupakan gerakan yang terorganisasi masif sehingga belum menumbuhkan komitmen kolektif dan spirit semua jajaran birokrasi pemerintah, dan aparat penegak hukum untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih.

Harus diakui ada 35 pidato antikorupsi SBY dan 11 pidato Jusuf Kalla dalam berbagai kesempatan, atau rata-rata hampir tiap minggu rakyat mendengar pidato antikorupsi, suatu indikasi untuk melihat secara simbolik komitmen mereka membasmi korupsi. Namun, itu akhirnya seperti upaya mereproduksi harapan kepada masyarakat.

Kemajuan kecil
Lihat, hasilnya amat minim meski harus diakui untuk membasmi korupsi bukan perkara enteng. Bersamaan dengan itu, pemerintah juga menghadapi persoalan yang perlu tanggapan cepat, seperti bencana alam di Aceh, wabah flu burung, busung lapar, dan kenaikan bahan bakar dunia. Meski pemberantasan korupsi bisa dikapitalisasi menjadi semacam sweetener bagi rakyat yang selama setahun ini harus banyak menelan pil pahit, terutama kenaikan harga BBM.

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2005, yang dikeluarkan Transparency International, menunjukkan, dari 159 negara yang disurvei, Indonesia merupakan negara terkorup ke-6 di dunia dengan skor 2,2, naik dari urutan ke-5 tahun 2004 dengan skor 2,0. Sama dengan skor Irak yang sedang perang, tetapi masih lebih baik daripada Bangladesh (1,7) dan Myanmar (1,8), dua negara yang menempati urutan pertama dan kedua terkorup di dunia.

Kinerja pemberantasan yang bisa dicatat cuma dalam penindakan hukum, kinerja kementerian lain belum terlihat. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai menyeret kasus-kasus yang menjadi perhatian publik. Sayang, Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dipimpin SBY langsung, baru menyelesaikan satu kasus korupsi dana haji dari 16 perkara BUMN yang ditargetkan. Belum satu pun koruptor yang kabur ke luar negeri diboyong pulang Tim Pemburu Koruptor. Belum juga ada laporan berapa kasus penebangan liar dan cukong, penjahat pajak dan bea cukai yang diadili.

Dilaporkan, kejaksaan dalam setahun terakhir (hingga Oktober 2005) telah menyelesaikan 450 perkara dan 15 perkara dihentikan. Sebagian besar kasus itu di daerah, dengan nilai kerugian negara ratusan juta hingga Rp 19 miliar, dengan pelaku pejabat rendahan yang bisa dikategorikan petty corruption. Hanya satu kasus korupsi kakap yang mulai diadili, yaitu Bank Mandiri.

Kasus BNI, Jamsostek, dan PLN masih dalam proses penyidikan. Bila diukur oleh daya dukung kejaksaan, ini jelas di bawah kemampuan. Di seluruh Indonesia ada 30 kantor kejaksaan tinggi, 353 kantor kejaksaan negeri, dan 102 kantor pembantu yang didukung sedikitnya 6.000 jaksa dari sekitar 15.000 total pegawai kejaksaan. Dengan kata lain, rata-rata satu kantor kejaksaan cuma menyelesaikan satu perkara korupsi setahun.

Kemajuan penting yang perlu dicatat, kejaksaan tak lagi mengobral surat penghentian penyidikan perkara (SP3). Bandingkan dalam setahun terakhir era Jaksa Agung MA Rahman ada 43 kasus dihentikan. Apa ini bukti komitmen Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh yang sering meyakinkan saya bahwa tidak ada lagi makelar kasus yang bisa memengaruhi Jaksa Agung. Banyak yang bertanya mengapa hasil telaah Tim Ahli atas SP3 kasus technical assistance contract (TAC) yang melibatkan Ginandjar Kartasasmita belum ditindaklanjuti? Mengapa Jaksa Agung begitu patuh dengan sikap SBY, misalnya dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang tidak ingin disentuh lagi. Atau hal serupa dalam kasus Sekretariat Negara.

Kemajuan lain ada 51 izin Presiden SBY untuk pemeriksaan kepala daerah, sejauh ini izin itu selalu dipersulit. Bahkan, untuk kasus Gubernur Aceh dan Banten, Presiden SBY memberhentikan keduanya, sebuah dukungan nyata terhadap KPK. Meski hanya empat kepala daerah yang sudah dan tengah diadili, 47 kepala daerah lain masih dalam proses penyidikan.

Perlu revisi kebijakan
Tahun-tahun mendatang, bila program antikorupsi hanya bersifat simbolik untuk mempertahankan popularitas semata, tidak disemangati keinginan yang tulus untuk mewujudkan good governance dan tidak dirancang sebagai gerakan nasional yang masif untuk memobilisasi seluruh perangkat pemerintahan, masyarakat dan dunia usaha, mungkin tidak akan banyak kemajuan berarti dari sekarang.

Pendek kata, revisi kebijakan antikorupsi, pergantian kabinet, dan pembenahan aparatur pelaksana untuk percepatan pemberantasan korupsi perlu dilakukan. Komitmen tinggi tidak cukup jika tidak ditopang kepemimpinan yang kuat dan dukungan pemerintahan. Cuma masalah patronasi politik dalam bisnis yang menjadi fondasi korupsi level atas harus menjadi faktor yang diperhitungkan dalam pergantian kabinet.

Penindakan hukum dan administrasi untuk membuat efek jera yang luas tetap relevan meski jangan dilupakan civil service reform begitu vital bagi negara dengan tingkat korupsi yang meluas. Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004-2005 yang disusun Bappenas sebenarnya cukup memadai untuk dijadikan acuan meski perlu ada pendalaman dan penyesuaian dalam konten dan konteks.

Pemberantasan korupsi dianggap berhasil jika beberapa indikator dipenuhi, antara lain pelayanan umum berkualitas dan bebas pungli, setoran pajak dalam APBN meningkat, ada kepastian hukum dan risiko tinggi bagi mereka yang menyimpangkan aturan atau kekuasaan.

Teten Masduki Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW)

Tulisan ini disalin dari Kompas, 17 November 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan