Era Reformasi, Publik Masih Belum Aktif Sebagai Warga Negara
18 tahun sudah Reformasi berjalan di negeri ini. Kelahirannya kala itu diharapkan menjadi angin perbaikan bagi segala jenis kecacatan yang telah bercokol begitu lama. Tak heran, mengingat kelahiran reformasi berhasil menumbangkan rezim otoriter yang kokoh berdiri selama 32 tahun.
Bersama dengan ratusan ribu mahasiswa lainnya, Koordinator Indonesia Corruption Watch Adnan Topan Husodo boleh disebut sebagai pelaku sejarah dalam melahirkan era reformasi. Aktif di lembaga pers mahasiswa di kampusnya dahulu, Adnan turut berperan dalam menyebarkan gagasan-gagasan mengapa reformasi mesti dilakukan.
Meski demikian, Adnan kini menyoroti berbagai kekurangan yang terjadi di era reformasi. Dijumpai di Kantor ICW, Kamis, 19 Mei 2016, Adnan memaparkan panjang lebar soal hal yang jadi kegelisahannya. Salah satu yang ia soroti ialah proses demokrasi yang susah payah direbut, kini justru dibajak oleh segelintir orang yang tidak berorientasi pada kepentingan publik. Simak wawancara Antikorupsi.org dengannya.
Mengapa Mahasiswa ketika itu mendorong Reformasi?
Saat itu kondisi pemerintahan buruk, konsentrasi kekuasaan semakin besar, dengan puncaknya adalah krisis ekonomi. Mahasiswa melihat bahwa salah satu penyebab utamanya karena pemerintahannya korup. Soeharto tidak bisa memberantas korupsi karena ia juga bagian dari masalah itu sendiri. Inilah yang kemudian memunculkan gagasan untuk menjatuhkan Soeharto.
Bagaimana anda memandang korupsi di era orde baru?
Korupsi di era orde baru modelnya secara umum terjadi di negara-negara yang menganut sistem otoriter. Sumber daya ekonomi negara hanya dikuasai segelintir orang. Dalam konteks indonesia, ini dikuasai oleh Soeharto, keluarga, dan kroni-kroninya. Sifatnya sangat kompleks dan masuk kategori high level corruption.
Dalam berbagai macam aspek penguasaan sumber daya alam misalnya, konsesi-konsesi berbau suap amat sangat kental. Kolusi yang terjadi membuat negara rugi dalam jangka panjang. Keadaan itu sulit diperangi karena pelakunya adalah elit yang sedang berkuasa. Sehingga mustahil bicara tentang pemberantasan korupsi pada era itu.
Memang ada beberapa inisiatif yang muncul di masa itu. Tapi itu hanya sekedar upaya menunjukkan komitmen pemerintah terhadap pemberantasan korupsi, tidak ada yang berhasil menjadikan pemerintahan orde baru sebagai pemerintahan yang bersih.
Setelah 18 tahun Reformasi berjalan, secara umum perubahan apa yang dirasakan?
Banyak sisi-sisi positif yang bisa dipetik. Secara formal, demokrasi telah diterapkan. Ini bisa terlihat dari masyarakat yang bisa menentukan pemimpinnya lewat mekanisme pemilihan umum. Dalam hal kebebasan pers, pers bisa mencicipi suasana bebas untuk mengkritik. Begitu juga reformasi militer yang telah berjalan.
Namun sisi positif itu juga mengandung sisi lain. Sistem dan mekanisme demokrasi mengalami pembajakan dari kelompok yang sebenarnya bertentangan dengan demokrasi itu sendiri. Misalnya, kelompok-kelompok yang ingin menguasai sumber daya ekonomi negara secara monopolistik. Caranya bisa dengan menguasai kekuasaan politik, baik lewat partai politik, dan pemilihan umum. Atau mereka juga menyokong pejabat publik, sehingga pejabat publik itu tidak mengabdi kepada publik, tapi kepada kepentingan kelompok mereka.
Untuk pers, ada ekses-ekses yang dihadapi, seperti kontrol penuh dari pemilik pers itu sendiri. Salah satunya terlihat dengan dijadikannya media sebagai alat politik dan kampanye. Hal yang mengganggu independensi pers itu jelas tidak sehat bagi demokrasi.
Dalam konteks korupsi, apa perbedaan dengan masa sekarang?
Pada era orde baru semuanya dikendalikan teratur oleh Soeharto. Di situ distribusi jadi lebih “adil”, sehingga tidak ada konflik yang begitu signifikan. Sekarang pemainnya terdiri dari berbagai macam kelompok dan tidak dalam satu kendali. Mereka terpecah-pecah, ada kompetisi.
Itu yang membuat eksploitasi sumber daya dan ekonomi negara jadi jauh lebih masif. Pertarungan ini terus terjadi meskipun tak tertutup kemungkinan mereka melakukan negoisasi, misalnya dalam konteks pemilihan partai politik dan pejabat-pejabat publik.
Apakah itu berarti korupsi saat ini lebih parah dari era orde baru?
Yang jelas masih tetap sulit dalam konteks pemberantasan korupsi. Gangguan terhadap upaya pemberantasan korupsi dilakukan oleh berbagai macam pihak yang tidak ingin pemberantasan korupsi itu berhasil.
Kelompok-kelompok ini punya akses ke institusi-insitusi negara, dan itu dibangun secara rapih. Mereka memiliki pion-pion di dalam institusi negara agar bisa menjembatani kepentingan mereka dalam berbagai macam hal. Ini semua tersebar di tubuh penegak hukum, peradilan, birokrasi dan lainnya.
Banyak yang bilang pemberantasan korupsi saat ini sudah lebih baik, menurut anda?
Tentu jika dibandingkan dengan era orde baru, ada perubahan yang signifikan. Sekarang kita bisa menyaksikan seorang menteri, seorang kepala daerah, bahkan elit di kepolisian diseret ke meja hijau karena kasus korupsi. Akan tetapi dalam hal pemberantasan korupsi kita tidak hanya bisa melihat aspek penegakan hukum saja.
Ini juga harus disertai dengan berbagai macam perubahan dalam wilayah etik. Dalam hal ini, kita masih memiliki kekurangan. Di lingkungan masyarakat saja masih banyak yang diam, abai, bahkan mewarisi perilaku koruptif. Sulit jika kita bicara soal pemberantasan korupsi tapi tidak ditopang oleh standar etik yang lebih tinggi.
Apa problem pemberantasan korupsi yang anda soroti?
Strategi pemberantasan korupsi hanya berfokus pada sektor publik. Yang disasar hanyalah pejabat publik, sementara aktor di lingkungan swasta tidak diusik sama sekali. Padahal aktivitas mereka juga mempengaruhi sektor yang lain.
Di Hongkong, salah satu negara yang berhasil memberantas korupsi, pemberantasan korupsi bisa menyentuh pebisnis yang melakukan transaksi ekonomi secara ilegal. Sayangnya kita tidak masuk ke wilayah itu, UU Tindak Pidana Korupsi tidak berbicara mengenai korupsi di sektor lain selain sektor publik.
Tantangan Pemberantasan korupsi di sisi lain?
Negara ini harus ditempatkan dalam sistem Rule of Law yang sehat. Reformasi tidak menyentuh aspek yang mendasar di institusi penegak hukum. Problem korupsi di tubuh mereka masih sangat akut. Misalnya, di lembaga peradilan. Dari sejak era orde baru hingga saat ini, tidak ada spirit reform di insitusi seperti Mahkamah Agung, bahkan Kepolisian. Kalau ini tidak dijadikan isu krusial, maka demokrasi tidak akan mungkin terbangun. Demokrasi hanya bisa terjamin dengan tegaknya Rule of Law.
Lalu yang tidak kalah penting adalah mereformasi birokrasi. Kita tidak melihat ada perubahan yang signifikan dalam konteks reformasi birokrasi. Birokrasi masih mewarisi mental patrimonial yang berdampak pada pelayanan publik yang tidak berkualitas. Meskipun memang di beberapa institusi hal itu mulai ditemukan, seperti misalnya di Kementerian Keuangan, terbukti dengan meningkatnya indeks persepsi korupsi pada tahun ini.
Birokrasi bagaimanapun adalah penopang utama kinerja pemerintah. Paling sederhana menilai birokrasi bisa dilihat bagaimana akses publik terhadap pelayanan publik masih sangat terbatas. Ada pengabaian terhadap hak dasar yang harusnya publik terima, seperti kesehatan dan pendidikan.
Menurut anda, kekurangan apa yang masih ditemukan di era Reformasi?
Hingga kini, publik masih belum aktif sebagai warga negara. Belum ada kemajuan dalam hal itu. Sebagian besar masyarakat masih pasif, padahal ruang sudah dibuka lebih luas.
Contohnya bisa terlihat ketika kita bicara isu antikorupsi, masih banyak yang enggan bergerak dalam hal itu. Banyak juga isu-isu yang berkaitan dengan reformasi, tapi dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu diperjuangkan.
Padahal perubahan baru bisa dilakukan ketika publik berperan aktif. Karena tidak ada keterlibatan publik yang cukup, maka proses-proses politik dibajak oleh kelompok kepentingan yang justru tidak berpihak pada kepentingan publik.
Efek dari situasi itu adalah konsentrasi kekuasaan dan sumber daya ekonomi pada kelompok tertentu. Hal itu merupakan permasalahan di era orde baru. Ironisnya, hal demikian saat ini berulang pada latar yang lebih demokratis.
Apa yang bisa dilakukan dalam momentum 18 tahun Reformasi?
Harus ada upaya mempercepat konsolidasi di tingkat masyarakat sipil. Belajar dari sejarah pergerakan di manapun, yang bisa memecah kebuntuan agenda reformasi dan melawan kolusi antara negara dan swasta adalah kelompok masyarakat sipil.
Selain itu, negara semestinya tidak hanya fokus pada membangun infrastruktur. Apa gunanya infrastruktur fisik kalau kemudian tata kelola di level suprastruktur tidak diperhatikan sama sekali. Melihat keadaan ini, maka kita bisa menyimpulkan, infrastruktur fisik hanyalah melayani kepentingan segelintir orang saja.
(Egi)