Energi Politik KPK

Pengungkapan kasus megakorupsi KTP-el yang diduga melibatkan nama-nama besar politisi, pejabat negara, dan mantan pejabat telah dibuka oleh KPK. Lembaga anti rasuah kini berutang kepada publik ihwal penuntasannya.
 
Melihat begitu banyaknya politisi yang diduga terlibat dalam kasus KTP-el, penulis menduga, bukan perkara mudah bagi KPK untuk membongkar kasus ini hingga ke akar-akarnya dan menyeret semua pelakunya ke kursi panas pengadilan tindak pidana korupsi.
 
KPK membutuhkan suplemen energi politik dalam menuntaskan kasus korupsi yang melibatkan nama-nama kakap dari kelompok pelaku ”paus”.
 
Politik kekuasaan
KPK harus belajar dari kegagalan penuntasan kasus korupsi oleh kepolisian pada kasus mafia hukum dan korupsi pajak pada tahun 2010 dengan aktor sentral Gayus Tambunan. Pengungkapan kasus Gayus tidak betul-betul tuntas dan hingga kini menyisakan berbagai tanda tanya yang tidak dapat dijawab.
 
Mengapa Gayus hanya dijerat dengan kasus PT SAT dengan kerugian negara ”hanya” Rp 571 juta, padahal pangkal kasus ini adalah kepemilikan rekening Rp 28 miliar dan deposito Rp 75 miliar oleh Gayus yang tidak sesuai dengan profil pendapatannya sebagai PNS golongan III dan diduga berasal dari korupsi pajak? Mengapa penegak hukum tidak menjerat Gayus dengan penggelapan pajak yang melibatkan tiga perusahaan besar yang dalam kesaksian Gayus di persidangan diakui sebagai sumber dari kepemilikan rekening Rp 28 miliar tersebut? Mengapa sebagian besar nama-nama kakap penegak hukum hanya diproses melalui mekanisme administratif, padahal mereka nyata-nyata disebut Gayus menjadi bagian dari tindak pidana korupsi dan mafia hukum di mana dia menjadi salah satu simpul di dalamnya?
 
Jawaban kuncinya, sebab kasus Gayus bersilang-sengkarut dengan politik kekuasaan saat itu. Pada akhirnya, kepolisian dan kejaksaan ”tunduk” pada kekuatan-kekuatan besar politik.
 
Selain itu, pimpinan dan penyidik KPK saat ini juga harus mengambil pelajaran dari pengungkapan kasus Hambalang oleh KPK era kepemimpinan sebelumnya. Korupsi yang menurut data BPK merugikan negara Rp 706 miliar tersebut telah menyeret para politisi kunci bahkan menteri dari partai penguasa saat itu, yaitu Partai Demokrat.
 
Meski demikian, penetapan tersangka Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum sebagai katup penutup kasus Hambalang diwarnai kegaduhan politik. Bermula dari rilis hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (3/2/2013) yang menempatkan elektabilitas Partai Demokrat di angka 8,3 persen, para politisi senior Demokrat di Kabinet Indonesia Bersatu jilid II ”mengadu” kepada Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden RI sekaligus Ketua Dewan Pembina dan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat.
 
Dari Jeddah, Presiden kemudian secara khusus meminta KPK untuk segera menyelesaikan kasus Hambalang yang menyeret kader-kader Partai Demokrat, termasuk Anas (Kompas, 23/2/2013).
 
Tensi politik ”kasus Anas” menguat setelah SBY mengambil alih kewenangan Anas sebagai Ketua Umum Demokrat. Melalui tangan Majelis Tinggi, SBY mendahului ”takdir” penetapan tersangka oleh KPK. Pada konferensi pers tanggal 8 Februari 2013, SBY mengindikasikan bahwa tidak lama lagi Anas akan ditetapkan sebagai tersangka.
 
Kuatnya energi politik ”kasus Anas” kemudian terjustifikasi dengan peristiwa sangat tidak biasa di KPK, yaitu bocornya draf surat perintah penyidikan (sprindik) yang menyebut status Anas sebagai tersangka.
 
Kegaduhan pemberantasan kasus korupsi proyek Hambalang memakan ”korban” politik pada Pemilu 2014. Demokrat meluncur menjadi partai medioker dengan perolehan suara 10,19 persen, dari sebelumnya 20,85 persen suara dan memenangi Pemilu 2009.
 
Energi politik
Terdapat dua pelajaran penting dari kasus Gayus dan Hambalang. Pertama, politik kekuasaan tidak pernah secara tulus memberikan energi positif bagi pemberantasan korupsi.
 
Kedua, kegaduhan penuntasan kasus korupsi akan memberikan referensi valid bagi rakyat untuk menghukum parpol yang terlibat dalam penggarongan kekayaan negara.
 
Dalam konteks itu, KPK mestinya tidak surut selangkah pun dengan kekuasaan politik dalam penuntasan megakorupsi KTP-el. Betul, ”ancaman” untuk merevisi UU KPK mengindikasikan kuatnya energi politik kontra KPK.
 
Namun, dukungan publik akan selalu menjadi anti tesis bagi politik kekuasaan yang menghambat pemberantasan korupsi. Pada kasus Cicak versus Buaya I dan II terlihat nyata betapa energi politik rakyat kepada KPK bak samudra yang tak pernah mengering.
 
Energi politik pemberantasan korupsi bagi KPK sejatinya selalu bersumber dari rakyat, bukan dari politik kekuasaan. Jadi, KPK tidak perlu berkecil hati meskipun silaturahim politik Presiden Joko Widodo dengan presiden periode 2004-2014 SBY tidak menjadikan megakorupsi KTP sebagai isu aktual yang penting untuk dibicarakan. Begitu pula ketika tidak tampak dukungan politik nyata bagi penuntasan kasus korupsi ”berjemaah” KTP-el dari pertemuan pimpinan lembaga-lembaga negara di istana.
 
Sejarah perjalanan institusi anti korupsi sebelum KPK mengajarkan bahwa politik kekuasaan rezim memang tidak pernah memberikan dukungan sejati bagi lembaga pemberantas korupsi. Yang terjadi justru sebaliknya, berupaya melemahkan dan membubarkannya.
 
HALILI, PENGAJAR ILMU POLITIK DI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA; PENELITI DI SETARA INSTITUTE FOR DEMOCRACY AND PEACE
-------------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Maret 2017, di halaman 7 dengan judul "Energi Politik KPK".

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan