Enam 'Pendekar' Lawan Satu Kata

Kebangkrutan nasional dan derita yang dialami rakyat saat ini adalah buah dari kebobrokan yang dibangun oleh kekuasaan negara melalui apa yang disebut korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Pola korupsi dilakukan dengan membuat aturan yang menguntungkan keluarga dan kroni. Gejala itu sangat mengemuka ketika rezim Orde Baru berkuasa. Akibatnya, rambu-rambu pencegahan yang dibuat lima presiden berkuasa belum mampu menghapus kejahatan itu.

Pemerintahan Orde Lama di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno mengeluarkan empat peraturan perundang-undangan untuk mencegah korupsi. Mantan Presiden Soeharto lima peraturan, mantan Presiden BJ Habibie tiga undang-undang, Abdurrahman Wahid tiga, dan mantan Presiden Megawati Soekarnoputri serta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masing-masing satu peraturan perundang-undangan.

Kendati belum berhasil memberantas korupsi, keenam 'pendekar' ini sepakat melawan satu kata yakni korupsi. Perlawanan terhadap korupsi ini sangat terasa di era pemerintahan Yudhoyono. Namun, tidak semua orang senang dengan gerakan melawan korupsi ini. Berbagai upaya dilakukan untuk melakukan perlawanan terhadap pemberantasan korupsi.

Perlawanan terhadap upaya pemberantasan korupsi itu mengingatkan kita pada Chicago, Amerika Serikat, 1930. Al Capone dalam puncak kejayaan. Bisnis narkotik yang digelarnya berada dalam perlindungan pejabat dan aparat penegak hukum kota. Ia kebal hukum. Hingga seorang agen federal, Elliot Ness diterjunkan menumpas bisnis dimaksud. Capone melawan dengan teror dan uang. Ness tak bergeming. Shoot fast, shoot first (tembak cepat, tembak duluan), nasihat Malone, sobat Ness, soal trik membekuk Capone.

Film The Untouchables besutan sutradara Brian De Palma ialah kisah klasik tentang perang antara kebaikan dan kebatilan. Perseteruan itu niscaya ada di mana pun. Tak terkecuali di Indonesia.

Saat pemerintah mencanangkan perang melawan korupsi, di situlah semua bermula. Tak semua orang senang korupsi ditumpas. Ada corruption fight back, ungkap Ketua KPK Taufiqurrahman Ruki di hadapan Komisi III DPR, Rabu (6/7).

Ungkapan Ruki bukan dongeng belaka. Musuh pemberantasan korupsi ada di mana-mana. Dua kasus bisa jadi misal, korupsi di KPU dan suap

pengacara Abdullah Puteh, Tengku Syaifuddin Popon kepada panitera Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

Meski tak persis sama dengan yang dialami Ness, nyawa cerita sebangun bentuknya. Menyangkal adalah bentuk perlawanan mendasar. Hingga saat ini, misalnya, tak seorang pun mengakui sebagai pemilik uang Rp250 juta

yang dipakai Popon untuk menyuap. Dan semua anggota KPU tak ada yang mengaku menerima uang US$105 ribu seperti dicatat Kepala Biro Keuangan KPU Hamdani Amien.

Kendati demikian, modus anggota KPU, Chusnul Mariyah melakukan perlawanan layak dicatat. Pada Senin (11/7), Chusnul diperiksa KPK. Turut mendampingi, dua saudara perempuannya, berikut enam orang aktivis perempuan. Seorang di antaranya Debra Yatim. Dosen FISIP UI itu tidak membawa tangan hampa ke KPK.

KPK tidak memiliki landasan hukum untuk menyelidiki dan menyidik kasus korupsi di KPU. Tidak ada kepastian hukum, kapan pengusutan akan berakhir, demikian pernyataan tertulis Chusnul.

Dosen Pascasarjana Universitas Indonesia itu lantas menuding KPK janggal dalam bertindak. Apakah KPK mengusut berdasarkan hasil audit investigatif BPK atau tekanan politik sebagai lembaga berbiaya mahal? tulisnya.

Dua hari kemudian, petang, Chusnul datang ke kantor Mahkamah Konstitusi (MK). Pengacaranya, Made Rahman Marassabesy bilang, kedatangan kliennya atas undangan Ketua MK Jimly Ashiddiqie. Bu Chusnul ingin mengajukan judicial review UU Nomor 30/2002 tentang KPK, katanya.

Namun Jimly menampik dirinya mengundang Chusnul. Hakim tidak boleh bertemu dengan pihak berperkara, kilahnya. 'Ulah' Chusnul wajib dikhawatirkan. Pasalnya Chusnul menggugat bangunan yuridis sebuah lembaga yang sedang gencar mengobrak-abrik permainan busuk di KPU. Bisa dibayangkan, jika terkabul apa yang diinginkan Chusnul, maka semua yang telah dilakukan KPK bisa padam seketika.

Peristiwa yang mirip pernah ada juga. Bulan November 2004, (ketika itu) terdakwa kasus korupsi pembelian helikopter MI-2 Rostov Rusia, Abdullah Puteh tepergok sedang bertemu hakim MK Muktie Fadjar. Puteh beralasan datang ke MK untuk menyerahkan oleh-oleh dendeng Aceh. Namun, dia juga membeberkan rencana uji materiil UU Nomor 30/2002 tentang KPK.

Belakangan, rekanan Puteh dalam pengadaan helikopter itu, Bram Manoppo, mengajukan uji materiil Pasal 68 UU KPK itu. Putusan MK lumayan 'memikat', MK menolak permohonan Bram. Tapi dalam butir pertimbangan disebutkan, kewenangan KPK dalam mengusut kasus korupsi tidak retroaktif alias surut ke belakang. Kasus Puteh adalah penyelewengan dana APBD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 2001-2002. UU KPK lahir 27 Desember 2002 dan KPK berdiri setahun kemudian.

Penyidikan kasus suap Popon juga menemui perlawanan. Utamanya, dari pengacara para tersangka. Tercatat ada beberapa modus. Firman Wijaya, pengacara panitera muda PT DKI Jakarta M Soleh, meminta Mahkamah Agung (MA) juga memeriksa Soleh. Wajar, Soleh kan bagian dari sistem peradilan juga, kata Firman.

Kendati begitu, tak urung kecurigaan muncul. Untuk apa pengacara mendesak MA untuk memeriksa kliennya? Dan, bukankah kasus itu sudah di tangan KPK?

Menurut Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Munarman, upaya-upaya seperti disebut di atas justru makin menegaskan bahwa yang bersangkutan adalah koruptor. Mereka takut, katanya.

Perlawanan juga terjadi, bahkan, ketika koruptor sudah masuk bui. Dulu, bekas presiden komisaris Bank Modern, Samadikun Hartono yang tersandung kasus BLBI, lari justru ketika Kejaksaan Agung memberinya izin berobat ke Jepang. Edi Tansil, pembobol Bapindo Rp1,3 triliun, kabur entah ke mana.

Yang pakai kekerasan juga ada. Ketua Muda MA bidang Pidana Umum Syafiuddin Kartasasmita, 26 Juli 2001 tewas ditembak. Sebelumnya dalam putusan kasasi, ia menghukum Tommy Soeharto 18 bulan penjara dalam kasus tukar guling Bulog-Goro.

Satu karakteristik korupsi adalah sifat jaringannya. Seperti mafia. Sejarawan Universitas Indonesia Ong Hok Ham dalam buku Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong (2002) menulis, pegawai negeri Indonesia adalah warisan pegawai VOC. Dulu disebut bestuurs beambten. VOC ini korupnya bukan main. Pimpinan VOC di Belanda tak bisa menumpas korupsi, karena kentalnya jaringan kepentingan.

Pola itu berulang terus. Karena itu pemberantasan korupsi segudang musuhnya, karena banyaknya 'perut' yang dihidupi dari hasil korupsi.

Meski ada perlawanan, perang terhadap korupsi tak boleh kendur. Pun, para punggawa pengadilan, MA dan MK, jangan ikut skenario busuk yang memerkosa hukum. Korupsi bukan budaya. Ia bisa ditumpas asal ada kemauan politik dari penguasa, tulis Ong. (Agustinus Edy Kristianto/P-3)

Sumber: Media Indonesia, 20 Juli 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan