Ekstradisi Koruptor Terancam Gagal

Perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura untuk menangkap buron koruptor yang bersembunyi di Singapura terancam gagal. Selain belum diratifikasi, implementasi perjanjian pertahanan atau defence cooperation agreement (DCA) mengalami jalan buntu, yang pada akhirnya berpengaruh pula pada perjanjian ekstradisi untuk membawa koruptor kakap ke Indonesia.

Seperti diketahui, perjanjian ekstradisi terhadap koruptor diboncengi perjanjian di bidang pertahanan. Indonesia sangat berkepentingan mengembalikan koruptor dan uang negara yang diduga disimpan di bank Singapura. Kesepakatan DCA menggunakan wilayah Indonesia sebagai tempat latihan militer adalah buah dari ketergantungan Indonesia, meski akan mempengaruhi eksistensi kedaulatan Indonesia. Sebaliknya, Singapura menyadari terbatasnya wilayah mereka, baik daratan maupun lautan, untuk mengembangkan kekuatan militer mereka, sehingga perjanjian ekstradisi dijadikan senjata pamungkas untuk memaksa Indonesia menyetujui DCA.

Kesepakatan DCA yang satu paket dengan perjanjian ekstradisi telah memojokkan posisi Indonesia yang bertahun-tahun membujuk Singapura ke meja perundingan ekstradisi. Jika saja negosiasi terhadap implementasi DCA gagal, dipastikan perjanjian ekstradisi pun akan gagal. Indonesia memang dilematis, karena untuk membawa pulang buron koruptor dan aset negara yang dibawa kabur ke Singapura, tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Keniscayaan perjanjian ekstradisi menjadi momentum untuk mengembalikan para konglomerat hitam yang melarikan diri ke Singapura. Malah mereka diduga telah berganti kewarganegaraan untuk mengelak dari tanggung jawab atas kejahatan ekonomi dan korupsi yang mereka lakukan. Para konglomerat hitam dapat dipulangkan ke Indonesia beserta dana yang dikorup yang disimpan di Singapura, seperti pada penyelewengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Karena itu, perlu ada landasan hukum antara Indonesia dan Singapura berupa perjanjian ekstradisi.

Penolakan DCA

Sebagian besar Fraksi Dewan Perwakilan Rakyat menolak meratifikasi DCA. Poin penting yang dipersoalkan DPR adalah soal pengaturan wilayah latihan yang disebut area Alpha I, Alpha II, dan Bravo. Juga adanya kesepakatan dalam DCA yang memberi kebebasan Singapura mengajak negara lain dalam latihan militer di wilayah Indonesia. Kedua poin ini akan menjadi puncak gunung es dari persoalan penting berkaitan dengan penandatanganan DCA. Berbagai komponen rakyat juga menolaknya karena Singapura terkesan melecehkan kedaulatan Indonesia.

Sejak awal perjanjian Indonesia-Singapura ditandatangani, banyak pihak yang menaruh harapan sekaligus meradang. Betapa tidak, pemerintah hanya membesar-besarkan perjanjian ekstradisi, tanpa mengungkapkan secara transparan pada kesepakatan DCA. Akibatnya, anggota DPR mengancam tidak meratifikasi dua perjanjian yang telah diteken, bahkan sudah ada ancaman melakukan interpelasi untuk meminta Presiden menjelaskan maksud kesepakatan itu. Hal tersebut akan mengancam kelangsungan perjanjian ekstradisi yang sebenarnya bisa menguntungkan Indonesia.

Yang menjadi soal adalah sikap pemerintah yang tidak transparan, malah cenderung menutup-nutupi fakta. Realitas ini menunjukkan betapa posisi tawar diplomasi Indonesia lemah dibanding negara kecil, Singapura. Bagaimanapun, kedaulatan wilayah menjadi hal yang sangat penting diperhatikan pemerintah saat melakukan perjanjian dengan negara lain. Potensi geografis Indonesia seharusnya bisa menjadi faktor yang mendongkrak kekuatan diplomasi, bukan justru sebaliknya, menjadi lemah dan didikte kekuatan asing.

Dalam perundingan implementasi DCA antara Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono dan Menteri Luar Negeri Singapura George Yeo terjadi perdebatan sengit yang berujung pada deadlock. Menteri Pertahanan meminta agar pengaturan area Bravo untuk latihan militer Singapura dilakukan berdasarkan Pasal 6 DCA bahwa pengaturan teknis, operasional, dan administratif tiap-tiap area latihan ditentukan bersama. Tapi Singapura menilai, setelah DCA ditandatangani, tidak ada lagi pembicaraan soal pengaturan area Bravo sebagai tempat latihan militer.

Menteri Luar Negeri Singapura menilai penggunaan Perairan Natuna (area Bravo) sudah disepakati dalam perjanjian 23 April lalu. Menteri juga memberi sinyal, masih banyak hal yang harus dibicarakan, seperti koordinat daerah latihan, frekuensi latihan, termasuk jumlah kapal Singapura, pengaturan penembakan meriam, dan peluncuran rudal (Koran Tempo, 17 Juni). Gagalnya perundingan terhadap implementasi DCA menjadi kendala pula dalam meratifikasi perjanjian ekstradisi.

Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan setiap perjanjian internasional harus mendapat persetujuan DPR melalui ratifikasi. Parlemen Indonesia dan Singapura harus meratifikasi kedua perjanjian itu. Prinsip transformasi dan delegasi dalam setiap perjanjian menjadi penting agar perjanjian yang dibuat tidak hanya eksis di atas kertas.

Beda sistem hukum

Ancaman kegagalan mengekstradisi koruptor dari Singapura bukan hanya pada kemungkinan gagalnya kesepakatan implementasi DCA, melainkan juga pada perbedaan sistem hukum. Apalagi Singapura menggunakan pilihan hukum (choice of law) bahwa koruptor yang akan diekstradisi harus melalui mekanisme sistem hukum Singapura. Pengadilan Singapuralah yang paling menentukan koruptor layak diekstradisi ke Indonesia. Bahkan kewajiban Singapura mengembalikan koruptor ke Indonesia tidak diimbangi dengan pengembalian aset koruptor (asset recovery), karena Singapura memilih mekanisme Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Dalam sistem hukum Singapura, kewenangan ekstradisi berada pada lembaga yudikatif, bukan eksekutif, seperti praktek di Indonesia. Koruptor yang akan diekstradisi harus diuji secara yudisial, seperti telah ditetapkan tersangka/terdakwa. Ia juga diberi hak untuk meminta pengadilan Singapura menguji kembali dasar dan prosedur ekstradisi yang diminta pemerintah Indonesia.

Jika pengadilan Singapura berpendapat bahwa dasar dan prosedur ekstradisi tidak sesuai dengan hukum Singapura, ekstradisi tidak akan dikabulkan. Belajar pada kasus Hendra Raharja saat akan diekstradisi dari Australia, ternyata begitu rumit akibat perbedaan sistem hukum. Akibatnya, Hendra Raharja beserta hasil korupsinya sampai meninggal dunia tidak pernah dapat dibawa ke Indonesia.

Kelemahan pengaturan korupsi Indonesia juga bisa menjadi hambatan, karena bukan hanya suap yang digolongkan korupsi, melainkan yang amat penting adalah korupsi yang memenuhi unsur melawan hukum, memperkaya atau menguntungkan pribadi atau orang lain, serta merugikan keuangan/perekonomian negara. Sementara itu, korupsi di Singapura hanyalah perbuatan menyuap, sehingga pengadilan Singapura hanya akan mengabulkan ekstradisi bagi koruptor yang berbentuk penyuapan. Aspek ini bisa dijadikan alasan bagi pengadilan Singapura untuk membatalkan atau mengulur-ulur ekstradisi.

Ekstradisi hanya akan bermakna untuk mengembalikan buron koruptor bersama aset koruptor (asset recovery) jika perbedaan sistem hukum bergerak ke arah yang lebih substantif. Terutama pada kesamaan persepsi pemberantasan korupsi kedua negara serta pembaruan semangat pemerintah dan aparat hukumnya untuk tidak main-main dalam mengejar koruptor kakap yang bersembunyi di negara lain.

Ketergantungan kita kepada Singapura begitu nyata, terlepas apakah Singapura menyadari agar mau menghapus persepsi publik Indonesia bahwa Singapura sebagai surga bagi para koruptor dan pencucian uang. Salah satu aspek yang amat krusial diwaspadai, jangan sampai Singapura memaksakan kehendak terhadap implementasi kesepakatan DCA yang nyata-nyata merugikan kehormatan bangsa dengan mengobok-obok wilayah demi kepentingan militernya. Keinginan Singapura menggunakan wilayah Kepulauan Riau sebagai area latihan perang militer sudah pasti mengganggu ketenteraman rakyat dan menutup peluang pengembangan investasi.

Marwan Mas, PENGAMAT HUKUM DAN DIREKTUR PASCASARJANA UNIVERSITAS 45, MAKASSAR

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 28 Juli 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan