Eksistensi Menuju "Zero Point" 2-014

Eksistensi anggota DPR saat ini harus dibaca dari pijakan demokrasi yang telah dilalui dan gambaran perebutan kekuasaan dalam pemilu mendatang. Dalam rentang itu, terpapar sejumlah kepentingan yang membuat pribadi anggota Dewan sulit dikendalikan dalam ikatan koalisi partai.

Tarikan antara kepentingan pribadi, kepentingan wakil rakyat, keinginan menjaga popularitas partai, dan kepentingan elite pimpinan partai membuat sosok anggota Dewan saat ini penuh dengan ambiguitas. Dalam Pemilu 2009, setiap anggota DPR rata-rata mengeluarkan dana Rp 700 juta hingga Rp 5 miliar untuk pencalonan sampai terpilih menjadi anggota legislatif. Selain dana pribadi dan keluarga, sebagian anggota Dewan juga menerima dana dari teman, partai politik, pengusaha, dan simpatisan. Jejaring kepentingan pun sudah melekat dari awal pada diri seorang anggota Dewan.

”Utang politik” kepada elite partai membuat mereka tak bisa mengelak dari kewajiban tetapnya. Sekitar 70 persen anggota Dewan bisa masuk ke Senayan karena diajak atau ditawari oleh elite partai politik. Wajar saja jika rata-rata anggota partai menyisihkan Rp 10 juta (bervariasi antara Rp 2,5 juta dan Rp 24 juta) setiap bulan untuk partai walau sekitar 10 persen dari anggota Dewan tak suka dengan pemimpin partai mereka.

Di sisi lain, keterikatan mereka dengan konstituen juga bisa dibaca dari keberanian mereka menanamkan sikap pribadi yang sering kali mendekati arus sikap publik daripada mengamini sikap partainya atau koalisi partai. Keterikatan itu juga tergambar dari anggaran rutin yang mereka keluarkan untuk kepentingan konstituen. Rata-rata setiap anggota DPR mengeluarkan sekitar Rp 13 juta setiap bulan untuk membina keterikatan dengan konstituen. Di luar itu, masih ada dana-dana lain yang kadang dikeluarkan untuk lembaga swadaya masyarakat atau organisasi sosial lainnya.

Imajinasi kekuasaan
Namun, di balik keterikatan yang sifatnya harfiah itu, sosok anggota DPR harus dibaca dalam kerangka yang lebih luas, yaitu proses demokrasi yang melahirkan sistem pemilu langsung pada 2009 dan imajinasi kekuasaan yang mereka baca pada peta pertarungan Pemilu 2014. Apa yang paling membedakan anggota DPR periode 2009-2014 dengan periode sebelumnya adalah akuntabilitas yang lebih besar yang seharusnya dimiliki oleh mereka karena dipilih langsung oleh rakyat. Berbeda dengan pemilihan umum sebelumnya, Pemilu 2009 meningkatkan peran masyarakat dalam memilih calon-calon anggota legislatif.

Dipergunakannya sistem pemilu daftar terbuka membuat calon yang mendapatkan dukungan pemilih terbesarlah yang diperhitungkan untuk ditempatkan di parlemen. Konsekuensinya, partai politik harus rela berbagi dengan konstituen dalam menentukan siapa yang mewakili partai di parlemen.

Selain itu, penggunaan sistem pemilu daftar terbuka juga membuat persaingan di internal partai menjadi tajam. Setiap calon harus berjuang mengungguli suara yang diraih koleganya di partai. Peran partai nyaris berhenti setelah susunan daftar calon terbentuk. Lebih banyak usaha dilakukan oleh calon itu sendiri untuk memenangi suara.

Eksistensi anggota DPR yang ”sepertiga” milik partai, ”sepertiga” milik konstituen, dan sisanya milik diri sendiri seolah-olah menjelaskan mengapa pembentukan koalisi dalam periode ini menjadi demikian sulit. Mulai dari penyikapan pada kasus Century hingga kontroversi menyangkut Sekretariat Gabungan Koalisi Partai Politik Pendukung Pemerintah kecenderungan anggota DPR untuk tidak patuh pada kebijakan partai semakin kentara. Upaya kartelisasi partai politik tidak akan berhasil, setidaknya dalam periode ini. Usaha ini hanya akan menghasilkan ”pemilik” partai yang seakan bermain bola di atas angin, sementara anggota DPR bermain di lapangan rumput, berusaha mendapatkan sepatu emas popularitas.

Koalisi yang terbentuk sulit menjadi sebuah koalisi yang permanen. Hal ini tecermin dalam perjalanan koalisi pemerintah. Belum setahun terbentuk, koalisi besar pendukung pemerintah telah berantakan dalam menyikapi kasus Century. Koalisi pemerintahan Presiden Yudhoyono-Boediono yang terdiri dari Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tak sepenuhnya mendukung pilihan Partai Demokrat, yaitu opsi A, yang meyakini bahwa pemberian dana talangan (bail out) kepada Bank Century dan penyalurannya tak ada masalah.

Sikap Partai Demokrat hanya didukung penuh PAN. PKB yang semula sejalan dengan Demokrat ternyata seorang anggotanya, Lily Wahid, memilih opsi C yang meyakini bahwa kebijakan bail out dan aliran dana diduga terdapat penyimpangan sehingga diserahkan kepada proses hukum. Bahkan, semua peserta voting dari Partai Golkar, PPP, dan PKS memilih opsi C.

Pasca-voting kasus Century, upaya untuk membentuk sebuah koalisi yang permanen kemudian coba dilakukan dengan pembentukan Sekretariat Gabungan Koalisi Partai Politik pendukung Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Namun, belum sebulan terbentuk sudah ada tanda-tanda lumernya kembali koalisi.

Mencuatnya dana aspirasi bagi anggota DPR yang dilontarkan salah satu partai pendukung koalisi justru menjadi bumerang yang memperlihatkan friksi tajam antaranggota koalisi. Meski menggiurkan, menyepakati dana aspirasi atau pork-barrel tersebut di tengah sorotan tajam masyarakat berpotensi mengurangi popularitas individu anggota Dewan.

Hasil survei Litbang Kompas menunjukkan bahwa hampir sepertiga dari anggota Dewan yang partainya berkoalisi dengan pemerintah memiliki kendala atau masalah terkait keterikatan partai dengan kelompok koalisi.

Sulitnya terbentuk koalisi permanen saat ini bisa dimaklumi karena beberapa hal. Selain eksistensi kekuasaan setiap anggota DPR yang meningkat akibat pemilu langsung, juga karena kepentingan menjaga citra partai di mata publik sebagai persiapan menuju Pemilu 2014. Pemilu yang akan datang bisa dipastikan akan menjadi return to zero point, kembali ke titik nol, ketika masa Yudhoyono telah lewat dan siapa pemimpin selanjutnya sulit diprediksi.

Kabut gelap kepemimpinan mendatang menjadi peluang yang terlalu menggiurkan bagi setiap partai politik untuk menancapkan sinarnya kepada publik jauh-jauh hari. Bahkan, bukan hanya bagi pimpinan partai, kecenderungan untuk meraih kekuasaan yang lebih besar juga tampak pada anggota Dewan. Hampir separuh (45,9 persen) dari mereka mencalonkan diri menjadi calon anggota legislatif dengan pertimbangan ingin menjadi pemimpin politik.

Kendala menggiring anggota partai di parlemen untuk melakukan koalisi permanen dengan pemerintah juga dilandasi pandangan anggota Dewan tentang pemerintah dan kepemimpinan SBY. Sebagian besar anggota koalisi merasa tidak puas terhadap kinerja pemerintah dalam memperbaiki perekonomian, kesejahteraan sosial, dan penegakan hukum, sebagaimana tecermin dari survei Litbang Kompas terhadap anggota DPR (lihat Grafis). Lebih dari sepertiga (36,9 persen) anggota koalisi juga tidak puas dengan langkah Presiden Yudhoyono. Ketidakpuasan anggota Dewan dari Partai Golkar dan PKS bahkan jauh lebih tinggi, sampai di atas 60 persen.

Dengan kondisi ini, tampaknya upaya membentuk koalisi permanen akan selalu bertabrakan dengan eksistensi yang sedang dibangun setiap anggota Dewan menuju kekuasaan pada 2014. (Litbang Kompas - BAMBANG SETIAWAN)
Sumber: Kompas, 16 Juni 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan