Eksekusi Tertunda; Keputusan Majelis Salah Kaprah
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Padang menolak gugatan masyarakat terhadap Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat. Majelis menilai gugatan belum memenuhi syarat sehingga tidak dapat diterima. Akibatnya, eksekusi terhadap mantan anggota DPRD Sumbar tidak dapat segera dilaksanakan.
Kelima warga Sumbar, yaitu Abel Tasman, Werry Darta Taifur, Mestika Zed, Saldi Isra, dan Rumazar Ruzuar, menggugat Kejaksaan Tinggi Sumbar karena tidak segera melaksanakan keputusan Mahkamah Agung yang menghukum 33 anggota DPRD Sumbar 1999-2004 dalam kasus korupsi APBD sebesar Rp 5,9 miliar. Awal tahun 2006, mereka gagal dieksekusi dengan alasan satu dari lima berkas kasasi yang diajukan Kejati Sumbar masih belum diputus oleh MA.
Ketua Majelis Hakim Moh Hanafi Kusuma yang membacakan putusan majelis, Rabu (4/4), menyatakan, kelima penggugat tidak punya kapasitas menggugat Kejati Sumbar. Laporan adanya tindak pidana korupsi di DPRD Sumbar tidak dilakukan para tergugat, melainkan Forum Peduli Sumatera Barat (FPSB).
Hanafi melanjutkan, majelis menilai, para penggugat tidak berhak karena dalam gugatan sama sekali tidak menyebut FPSB, yang pertama kali melansir terjadinya kasus itu. Penggugat melakukan gugatan atas nama pribadi, dan bukan atas nama FPSB, ujar Hanafi.
Majelis, dalam pertimbangan hukumnya menilai, isi gugatan yang diajukan oleh kelima penggugat kabur dan tidak jelas karena tidak mencantumkan orang-orang yang seharusnya dieksekusi berdasarkan putusan Mahkamah Agung. Ditambah lagi, dalam gugatan juga tidak tercantum nomor surat gugatan.
Sebagai syarat sebuah legal-standing, menurut majelis, harus diwakili oleh sebuah organisasi yang berbadan hukum. Bila tidak berbadan hukum, menurut majelis, tidak bisa melakukan gugatan hukum berbentuk legal-standing. Syarat formal gugatan legal-standing adalah ada badan hukum. Sedangkan FPSB bukan badan hukum, lanjut Hanafi.
Majelis hakim juga menilai, gugatan ini bukan merupakan gugatan class-action karena syarat formal gugatan ini adalah adanya perundingan awal untuk menyelesaikan permasalahan antarpihak yang bersengketa. Dalam gugatan itu, menurut majelis hakim, tidak ditemukan adanya hasil perundingan awal sebagai syarat formal gugatan class-action.
Berdasarkan pertimbangan tadi, majelis memutuskan dan menilai bahwa gugatan tidak sah, kata Hanafi.
Menanggapi keputusan tersebut, salah seorang pengacara penggugat, Miko Kamal, mengatakan, pertimbangan majelis hakim salah kaprah. Pertimbangan yang dinyatakan majelis hakim, menurut Miko, hanya diperuntukkan bagi lembaga swadaya masyarakat atau gugatan kelas yang didasarkan pada undang-undang lingkungan hidup atau undang-undang perlindungan konsumen.
Kami menilai gugatan ini adalah gugatan biasa, bukan termasuk dua hal tadi. Hakim salah kaprah dalam menggunakan aturan hukum dalam kasus ini, ujarnya. Miko dan kawan-kawan menyatakan pikir-pikir atas putusan tersebut. (mhd)
Sumber: Kompas, 5 April 2007