Eksekusi Kejaksaan Lambat, Peluang Kabur Koruptor

“Sebagai ujung tombak pelaksanaan eksekusi, Kejaksaan masih memiliki PR besar melaksanakan putusan pengadilan yang telah inkrah,” tutur Tama S Langkun, peneliti ICW pada konferensi pers Minggu, 20 Oktober 2013 di kantor ICW, Jakarta. Tugas Kejaksaan ini diatur dalam pasal 270 KUHAP. Erwin Natosmal Oemar dari Indonesia Legal Roundtable berpendapat, “Kinerja kejaksaan adalah cerminan kinerja rezim SBY. Jika kinerja kejaksaan tidak maksimal, ini adalah cerminan rezim SBY yang tidak serius dengan penegakan hukum kasus korupsi,” ujar Erwin.

Sebelumnya, pada 13 Mei 2013, Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi beraudiensi dengan Wakil Jaksa Agung dan jajaran Kejaksaan Agung, sambil menyerahkan daftar terpidana perkara korupsi yang belum dieksekusi. “Ini bentuk dukungan untuk mempercepat eksekusi terpidana korupsi. Koalisi juga untuk mendorong optimalisasi pemberantasan korupsi,” jelas Tama.

Dalam daftar tersebut, Koalisi mencatat 44 perkara korupsi dengan 57 terpidana yang telah diputus antara tahun 2004 hingga 2012, namun belum berhasil dieksekusi kejaksaan. Terdapat nama-nama signifikan yang belum dieksekusi, seperti: Sumita Tobing terpidana korupsi pengadaan peralatan TVRI, Samadikun Hartono terpidana korupsi BLBI Bank Modern, Adelin Lis terpidana korupsi dana reboisasi dan illegal logging di Kawasan Mandailing Natal, serta Djoko S Tjandra terpidana perkara korupsi cessie Bank Bali.

Sejak penyerahan daftar ini, ada peningkatan pelaksanaan ekesekusi. “Tercatat sejumlah narapidana korupsi seperti TeddyTengko dan beberapa nama lain berhasil ditangkap oleh Tim Kejaksaan dan dijebloskan ke penjara,” ujar Tama. Pihak Kejaksaan Agung telah mengklaim telah berhasil menangkap 100 buronan, seperti dilansir tautan www.antarasumsel.com/berita/278751/kejaksaan-agung-tangkap-100-buronan.

Namun, koalisi berpendapat bahwa pencapaian ini belum maksimal. “Per 16 Oktober 2013, kejaksaan masih belum melaksanakan eksekusi atas 36 perkara dengan 40 terpidana. Artinya, masih ada buronan koruptor yang kabur didalam dan diluar negeri yang belum ditangkap oleh kejaksaan,” tukas Tama. Beberapa alasan eksekusi belum dilakukan antara lain:

Alasan Belum Dieksekusi

Jumlah Kasus

DPO/ Buron

25

Perkembangan proses eksekusi tidak jelas

6

Sakit atau Sakit Jiwa

4

Terpidana mengajukan PK

1

Total

36 kasus

Tabel 1. Alasan kejaksaan belum dapat mengeksekusi putusan

Total 36 kasus ini tersebar di 10 wilayah hukum Kejaksaan Tinggi. “Yang kami duga paling banyak belum dieksekusi, ada di lingkungan Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, ada 18 kasus,” ungkap Tama. Bahrain, Direktur Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia mengatakan, “Peninjauan Kembali (PK) tidak menghalangi eksekusi terpidana kasus korupsi. Seharusnya ya, jalan terus,” ujarnya.

Kejaksaan Tinggi yang Belum Mengeksekusi Terpidana Korupsi

Jumlah Kasus

Jawa Tengah

18

Riau

5

DKI Jakarta

4

Sumatera Utara

2

Jawa Timur

2

Kalimantan Tengah

1

Lampung

1

Sumatera Selatan

1

NAD

1

Sulawesi Tengah

1

Tabel 2. Kejaksaan Tinggi yang Belum Mengeksekusi Terpidana Korupsi

Tama mengakui bahwa 14 terpidana korupsi yang dieksekusi kejaksaan adalah kemajuan yang harus diapresiasi. “Tapi ini tidak signifikan. Terutama karena eksekusi belum dilakukan untuk kasus-kasus korupsi dengan jumlah kerugian negara yang  besar dan inkrah sejak 2002,” tukasnya.

Lambatnya kejaksaan mengeksekusi para terpidana kasus korupsi juga memperbesar peluang koruptor melarikan diri. Putusan bebas Sudjiono Timan adalah pukulan telak bagi upaya pemberantasan korupsi. “Ini tidak lepas dari gerak lambat kejaksaan dalam mengeksekusi,” ungkap Erwin. Padahal, sebelum terpidana mengajukan PK melalui istrinya, sudah ada putusan inkrah yang dikeluarkan pada 3 Desember 2004.

“Upaya ‘setengah hati’ kejaksaan dalam memburu koruptor, bisa dilihat dari tidak ada informasi yang jelas soal perkembangan proses eksekusi terpidana korupsi. Kejaksaan Agung juga tidak membuka kepada publik secara detail koruptor yang kabur atau belum dieksekusi dan siapa yang telah dieksekusi,” kata Tama.

Dalam laman resmi website  Kejaksaan Agung, hanya ada 7 terpidana yang terpampang dalam Daftar Pencarian Orang (DPO/ buron). “Padahal, kami mencatat ada 25  buronan dari 40 terpidana yang belum dieksekusi,” kata Tama. Jumlah 25 buron ini berasal dari 10 Kejaksaan Tinggi di beberapa wilayah Indonesia. “Kalau pun koruptor tersebut sudah dieksekusi, informasinya tidak ditemukan di laman resmi Kejaksaan Agung,” tambahnya.

Selain eksekusi hukuman badan yang belum dilaksanakan, eksekusi terhadap uang pengganti hasil korupsi pun tidak berjalan maksimal. Laporan Hasil Verifikasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ke Kejati seluruh Indonesia per 31 Agustus 2007 menyebutkan, jumlah uang pengganti yang harus segera dieksekusi berjumlah Rp 8.527.204.986.602,63 dan USD 189,595,132.62. Tetapi, yang baru diselesaikan besarnya Rp 2.675.908.106.317,55. Sedangkan yang belum tertagih masih berjumlah Rp 5.851.296.862.285,08.

Sementara itu, dalam Laporan Keuangan Kejaksaan RI per 30 Juni 2012, saldo piutang khusus untuk uang pengganti adalah sebesar Rp 12.761.269.954.983,50 dan USD 290.408.669,77.  Piutang Kejaksaan dari eksekusi Uang Pengganti berdasarkan data Badan Pemeriksa Keuangan adalah sebesar Rp 12,7 Triliun dan USD 290,4 juta. “Kami menyayangkan hal ini, karena uang pengganti adalah upaya pengembalian kerugian negara,” jelas Tama.

Pengaturan eksekusi uang pengganti tercantum jelas dalam pasal 18 ayat (2) Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).  “Eksekusi pidana uang pengganti dapat segera dilaksanakan setelah putusan inkrah. Sehingga, tidak ada alasan bagi kejaksaan tidak melaksanakannya,” tegas Tama.

Koalisi mendesak Kejaksaan Agung Republik Indonesia untuk mempercepat eksekusi terpidana kasus korupsi, termasuk memburu dan membawa pulang para koruptor yang melarikan diri ke luar negeri untuk dieksekusi di Indonesia.“Kejaksaan juga harus mengeksekusi uang pengganti dan denda yang telah dijatuhkan kepada para terpidana untuk memaksimalisasi usaha asset recovery,” ujar Tama.

Selain itu, Kejaksaan juga didesak untuk mengumumkan proses eksekusi yang berjalan atas perkara korupsi beserta koruptor yang masuk DPO di laman resmi kejaksaan ataupun media massa, sehingga masyarakat bisa turut memantau perkembangan turut berpartisipasi dalam proses eksekusi terpidana korupsi. “Laman resmi Kejaksaan Agung perlu diperbaharui agar tetap up to date, agar pemantauan terhadap eksekusi atau perkembangan perkara dapat dipantau oleh masyarakat,” saran Tama.

“Komisi Kejaksaan harusnya mengawasi kinerja pekerja kejaksaan. Ini ketuanya malah justru nyaleg untuk 2014,” kritik Bahrain, “Kinerja kejaksaan harus terus dipantau,” tegasnya.

Memburu Supersemar

Eksekusi Yayasan Supersemar juga perlu diperhatikan. Pada tahun 2010, dalam gugatan perdata ini, Mahkamah Agung telah memutuskan bahwa Soeharto sebagai tergugat I dan Yayasan Beasiswa Supersemar sebagai tergugat II bersalah karena telah melakukan perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu, Yayasan Supersemar harus membayar denda senilai Rp3,17 triliun. “Namun hingga saat ini proses eksekusi terhadap putusan tersebut juga belum berhasil dilaksanakan. Bahkan Kejaksaan berniat mengajukan Peninjauan Kembali karena alasan salah ketik dalam putusan MA,” ujar Tama.

Kejaksaan Agung juga belum melakukan proses hukum perdata terhadap 6 yayasan milik Soeharto lainnya, yaitu: Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Dharmais, Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti, Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, dan Yayasan Trikora. “Padahal enam yayasan ini sudah merugikan keuangan negara hingga triliunan rupiah,” jelas Tama.

Koalisi meminta kejaksaan segera melakukan proses eksekusi terhadap Putusan Yayasan Supersemar. Salah ketik dalam putusan MA soal (tertulis Rp 3,7 juta seharusnya Rp 3,7 triliun) seharusnya tidak menyebabkan kejaksaan menunda eksekusi tersebut.

“Eksekusi terhadap Yayasan Supersemar adalah tolok ukur reformasi, sebagai wujud dari berakhirnya rezim Soeharto, sehingga harus dipercepat pelaksanaannya, karena Putusan MA sudah keluar pada 2010,” tegas Erwin. Menurut Erwin, kejaksaan perlu menggugat pula 6 yayasan lain yang dulu didirikan Soeharto. “Karena, berdasarkan catatan Stolen Asset Recovery (STAR), ada 315 triliun rupiah yang dikorupsi Soeharto sepanjang masa pemerintahannya. Pihak Kejaksaan jangan melupakan Soeharto,” harap Erwin.

Unduh Daftar Terpidana Korupsi yang Belum Dieksekusi.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan