Eksaminasi Putusan Pidana Tempo

Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dinilai tidak melakukan analisis dan pertimbangan mendalam dalam mengadili perkara pidana pencemaran nama baik dengan terdakwa Pemimpin Redaksi Majalah Berita Mingguan Tempo Bambang Harymurti.

Majelis hakim hanya memberikan pertimbangan hukum sekadarnya, demikian isi satu dari beberapa kesimpulan eksaminasi (pengujian) yang dipaparkan tim eksaminasi di gedung Dewan Pers, Jakarta, kemarin.

Menurut tim eksaminasi yang terdiri dari A.J. Day, Johanes Djohansya, T. Nasrullah, dan Frans Hendra Winarta, majelis hakim tidak melakukan penggalian lebih mendalam terhadap semua unsur dakwaan jaksa penuntut umum.

Meski mengutip pendapat sejumlah ahli, termasuk menghadirkan dua ahli hukum pidana di persidangan--Loebby Loqman dan Rudy Satrio Mukantardjo--majelis hakim di akhir pertimbangannya tidak menentukan pilihannya. Pendapat ahli mana yang memenuhi unsur terdakwa sengaja mencemarkan nama baik (Tomy Winata), tidak ada disebutkan, papar Day.

Nasrullah juga melihat ada upaya maksimum untuk mengungkap kasus ini dengan menghadirkan begitu banyak ahli. Sepengetahuan saya belum ada kasus yang menghadirkan sekian banyak ahli untuk menganalisis perkara. Luar biasa upaya polisi untuk mengangkat kasus ini, ujar pengajar hukum pidana dari Universitas Indonesia ini.

Padahal, kata Day, seharusnya hakim mengetahui hukum, kecuali perkara itu menyangkut hukum asing. Sekarang tren hampir semua perkara pidana mendengarkan ahli. Padahal ada adagium: hakim itu tahu hukum, ujarnya.

Tim eksaminasi juga menyoroti kerja penyidik. Menurut Nasrullah, penyidik tidak memiliki filosofi hukum dalam memaknai pasal-pasal mana yang dipakai dalam perkara ini. Akibatnya penerapan pasal pencemaran nama baik, pasal penyertaan hanya didasarkan pada insting. Penyidik gagal memahami tepat atau tidaknya pasal tersebut dengan konteks perkembangan sosial, politik, dan ekonomi, sebutnya.

Bukan itu saja. Menurut Nasrullah, penyidik juga gagal mencari data, bukti, dan pemilihan saksi dan pakar. Akibatnya, kesimpulan penyidik sangat sumir. Dengan data minim penuntut umum diharuskan menggolkan dakwaan, dia menegaskan.

Khusus penerapan Undang-Undang Pers dalam perkara ini, menurut Frans Hendra, memang patut dipersoalkan. Majelis hakim, kata dia, mestinya tidak menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam mengadili perkara ini. Seharusnya Undang-Undang Pers digunakan majelis dalam mengadili perkara ini. Satu putusan politik yang seharusnya dihormati (penegak hukum), kata pengacara senior ini menyesalkan.

Pers, menurut dia, memang tidak sepenuhnya akurat. Namun, Undang-Undang Pers sudah memuat mekanisme bagi siapa saja untuk menuntut pertanggungjawaban pers atas ketidakakuratan pemberitaannya, yakni hak jawab, hak tolak, atau hak koreksi.

Hal semacam ini, kata Frans, membuat kepastian hukum dan rasa keadilan yang dituntut dari satu proses hukum tidak terwujud. Dan, rasa keadilan memang sering ditinggalkan beberapa hakim dalam perkara-perkara yang berkepentingan dengan publik, ujarnya.

Perkara pencemaran nama baik ini berawal dari pemberitaan majalah mingguan Tempo bertajuk Ada Tomy di Tenabang? yang diterbitkan awal Maret 2003. Pengusaha Tomy Winata melaporkan Bambang Harymurti ke polisi karena berita itu dianggap telah mencemarkan nama baiknya. Majelis hakim yang diketuai Suripto pada 16 September 2004 menghukum Bambang satu tahun penjara. maria rita

Sumber: Koran Tempo, 4 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan