Eksaminasi Publik atas Putusan Korupsi DPRD [18/06/04]

Masyarakat Antikorupsi Surabaya melakukan eksaminasi atas putusan kasus korupsi yang melibatkan anggota DPRD Surabaya. Majelis eksaminasi yang terdiri dari sembilan akademisi dan praktisi bidang hukum di Surabaya itu menyimpulkan putusan hakim tidak adil.

Salah satu anggota majelis eksaminasi, I Wayan Titib Sulaksana, yang juga dosen Fakultas Hukum, Universitas Airlangga, mengatakan, vonis Pengadilan Negeri Surabaya pada 30 Juli 2003 atas M Basuki tidak adil.

Dalam salinan putusan yang didapatnya, sejumlah saksi anggota DPRD Surabaya memberi jawaban seragam dalam kesaksian atas kasus yang merugikan negara Rp 2,3 miliar itu. Jawaban saksi persis titik komanya. Mereka berdalih tidak tahu-menahu asal-usul uang korupsi itu, katanya.

Sangat janggal kalau semua anggota Dewan tidak tahu mekanisme penyusunan sampai penetapan anggaran. Padahal, semua diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 110. Majelis eksaminasi publik mendesak polisi menyidik dan mengadili 43 anggota DPRD Surabaya yang lain, termasuk yang menikmati hasil korupsi itu.

Mohammad Ma'ruf Syah, anggota majelis eksaminasi publik, yang juga Koordinator Badan Pekerja Maraks, melihat Kejaksaan Negeri Surabaya kurang sungguh-sungguh mempertahankan dakwaan primer dengan tuntutan empat tahun penjara terhadap M. Basuki. Kejanggalan lain adalah dipisahkannya pengadilan buat mereka. Padahal, jenis perkara dan modus operandinya sama.

Baktiono, anggota DPRD Surabaya dari FPDIP, menyangkal kongkalikong itu. Saya benar-benar tidak tahu. Bahkan ketika sejumlah anggota DPRD yang lain minta bukti sejumlah surat keputusan, Basuki tidak mau memberikannya. Ia selalu bilang, semua menjadi tanggung jawab pimpinan DPRD, ujarnya.

Basuki, terbukti secara bersama-sama dengan Ali Burhan, eks Wakil Ketua DPRD Surabaya, dan mantan Sekretaris Kota Surabaya M. Jasin, pada 14 Desember 2000 sampai 7 Desember 2001 mengkorupsi uang negara Rp 2,727 miliar. Mereka menyiasati Perda Nomor 11 Tahun 2000 dan Perda Nomor 08 Tahun 2001 soal pembagian pos anggaran dalam APBD.

Mereka meminta Wali Kota Bambang D.H. dan Sekretaris Kota Surabaya M. Jasin mencairkan dana di pos anggaran milik eksekutif untuk digunakan anggota legislatif. Basuki dipidana satu tahun penjara, sedangkan Ali Burhan hanya tiga bulan 10 hari. Kini, keduanya telah menghirup udara bebas.

Sementara itu, Kejaksaan Negeri Solo mulai menyelidiki dugaan penyimpangan dana Anggaran Biaya Tambahan (ABT) sebesar Rp 6,9 miliar yang dilakukan Dinas Pekerjaan Umum Pemerintah Kota Solo. Kepala Kejaksaan Negeri Solo Sugeng Wahyono mengatakan akan mengumpulkan data.

Namun, sejumlah kalangan pesimistis kejaksaan bisa mengungkap soal itu karena dinilai tak pernah tuntas menyelidiki berbagai kasus dugaan korupsi. Misalnya, pembangunan balai kota, kunjungan kerja fiktif Komisi E DPRD Solo, dan proyek penerangan jalan umum.

Kasus penyimpangan dana ABT sudah dilaporkan ke kejaksaan tiga pekan lalu, tapi belum ada yang dimintai keterangan. Kejaksaan bisa memulai dengan memeriksa tiga asosiasi konstruksi yang melaporkan kasus ini. Saya pesimistis kejaksaan akan memprosesnya, kata Pembantu Dekan Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret, Moh. Jamin.

Tiga asosiasi konstruksi di Solo (Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional, Asosiasi Pelaksana Nasional Indonesia, dan Gabungan Pelaksana Nasional) menemukan penyimpangan penggunaan dana ABT, di antaranya pembiayaan ganda dalam rehabilitasi Balai Kota yang menelan dana Rp 3,9 miliar. Penggelembungan dana proyek rehabilitasi Stadion Sriwedari sebesar Rp 1 miliar, yang hanya membutuhkan Rp 300 juta. Juga, proyek pompanisasi Kaliwingko sebesar Rp 2 miliar, yang sebenarnya hanya membutuhkan Rp 800 juta.

Dari Samarinda dilaporkan beberapa anggota legislatif Kalimantan Timur belum tahu dan tidak pernah membaca surat keputusan soal pembagian uang operasional. Saya belum pernah membaca surat keputusan itu. Kalau tanda tangan, iya. Tapi uang belum cair karena belum masuk rekening saya, kata Dahlan Sjahranie, Sekretaris Komisi C DPRD Kalimantan Timur, kepada wartawan kemarin.

Surat keputusan tambahan operasional DPRD Kalimantan Timur itu menyebabkan terjadinya pembagian dana anggaran penunjang operasional DPRD Kalimantan Timur sebesar Rp 5,4 miliar. Setiap anggota Dewan memperoleh Rp120 juta. Dahlan menandatangani blangko penerimaan uang itu karena mengira dana purnabakti. Fauzi Achmad dari Fraksi Golongan Karya juga belum pernah membaca surat keputusan dan belum menandatangani blangko penerimaan uang. sunudyantoro/imron rosyid/rusman

Sumber: Koran Tempo, 18 Juni 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan