Ekonomi Politik Pengadaan

Laporan tahunan Komisi Pemberantasan Korupsi tahun 2016 mengungkap bahwa modus korupsi yang paling banyak ditangani meliputi tindak pidana korupsi terkait suap-menyuap, pengadaan barang dan jasa, serta pencucian uang.

Sudah jamak diketahui publik, pengadaan barang dan jasa masih jadi sektor paling rawan terjadinya korupsi. Bahkan, dalam banyak kasus suap-menyuap selalu beririsan dengan kepentingan untuk mendapatkan proyek-proyek yang dibiayai oleh negara.

Pada satu sisi, pengadaan barang dan jasa (PBJ) adalah bagian dari kebutuhan untuk memberikan pelayanan kepada publik. Di sisi lain, ada potensi kerugian begitu besar jika terjadi penyimpangan. Hal ini semakin mengkhawatirkan ketika sistem PBJ tidak selalu mampu memitigasi terjadinya korupsi.

Masalah ini patut jadi catatan penting bagi rezim Joko Widodo- Jusuf Kalla (Jokowi-Kalla) mengingat program pembangunan infrastruktur yang dicanangkan menggelontorkan dana tidak sedikit, bahkan ada yang dibiayai dari utang. Sementara sistem pengawasan terhadap megaproyek ini hanya disandarkan pada pengawasan konvensional yang selama ini ada.

Di tingkat regulasi, proses PBJ memang mengalami banyak perubahan. Seperti perubahan kelembagaan pengadaan melalui pembentukan unit layanan pengadaan (ULP) di setiap unit hingga penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi seperti inovasi layanan pengadaan secara elektronik (LPSE), e-catalogue, dan seterusnya. Bahkan, untuk menyokong perubahan tersebut juga didukung oleh pra-kondisi sebelum pengadaan dilakukan, seperti kewajiban memublikasikan anggaran (APBN/APBD) secara keseluruhan, khususnya publikasi terkait rencana umum pengadaan (RUP) pada setiap unit tertentu.

Pembaruan di sektor PBJ pada akhirnya hanya menyelesaikan persoalan administratif. Sistem hanya membuat pejabat pengadaan tidak bertemu dengan perusahaan tertentu karena semua sudah menggunakan instrumen teknologi informasi.

Informasi mengenai anggaran dan rencana pengadaan sudah tersedia di laman tertentu, tetapi tingkat aksesibilitas publik terhadap informasi masih dipertanyakan. Apakah informasi tersebut terjangkau bagi publik untuk mengaksesnya? Apakah informasi tersebut cukup bagi publik untuk dapat mengawasi pelaksanaan PBJ? Apakah pemerintah telah menyediakan mekanisme pengelolaan pengaduan yang efektif bagi publik?

Pertanyaan ini ditujukan untuk mengukur sejauh mana peran publik dapat digunakan dalam mengawasi pembangunan infrastruktur. Sebab, sistem pengadaan dirasa tidak cukup untuk mengurangi potensi terjadinya praktik korupsi.

Pertama, tak ada standar baku mengenai keterbukaan informasi di sektor pengadaan. Salah satunya mengenai keterbukaan kontrak antara badan publik dan pihak ketiga (perusahaan pemenang). Dalam praktiknya, badan publik masih menilai bahwa kontrak adalah bagian dari informasi yang bersifat rahasia sehingga tidak dipublikasi.Padahal, jika merujuk UU No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Peraturan Komisi Informasi No 1/2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik, perjanjian badan publik dengan pihak ketiga berikut dokumen pendukungnya adalah informasi yang wajib dibuka kepada publik.

Regulasi pengadaan tak secara eksplisit menyebutkan mengenai keterbukaan kontrak tersebut bagi publik. Padahal, dokumen kontrak menjelaskan dengan rinci siapa yang mengerjakan suatu proyek beserta detail pekerjaan yang akan dilakukan. Keterbukaan kontrak akan jadi dokumen awal untuk memetakan dimensi ekonomi politik pengadaan di seluruh badan publik. Artinya, akan muncul satu analisis baru tentang kecenderungan korporasi tertentu yang memenangkan pekerjaan tertentu. Hal yang tidak mungkin bisa diidentifikasi oleh sistem pengadaan yang selama ini digunakan.

Kedua, pengawasan publik terhadap aktivitas pengadaan yang minim. Problemnya bisa karena pemerintah tak menyediakan mekanisme pengaduan yang jelas dan efektif atau publik tidak cukup memiliki informasi untuk melakukan pengawasan. Oleh karena itu, pemerintah perlu merumuskan satu bentuk mekanisme pengawasan yang terintegrasi terhadap proyek-proyek strategis dengan melibatkan komponen masyarakat sipil.

Kedua hal ini perlu jadi perhatian serius agar tujuan pemerintah untuk menggenjot perekonomian melalui pengadaan infrastruktur tertentu tidak justru jadi bumerang di kemudian hari. Sebab, dalam banyak kasus korupsi, agenda politik untuk mengeruk keuntungan ekonomi selalu berujung pada kegagalan.

REZA SYAWAWI, PENELITI DI TRANSPARENCY INTERNATIONAL INDONESIA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Februari 2017, di halaman 6 dengan judul "Ekonomi Politik Pengadaan".

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan