Ekonomi Korupsi

Masalah korupsi tidak pernah habis dibicarakan di negeri ini. Tak kurang dari Ahmad Syafii Maarif dan Frans Magnis- Suseno mengingatkan kita dengan bahasa yang amat jelas dan transparan tentang bahaya korupsi.

Dua ormas Islam terbesar, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, sepakat memberantas korupsi. Menteri Keuangan menyatakan, gaji kecil jangan dijadikan alasan buat korupsi.

Banyak argumen dilontarkan, namun sebagian besar bersifat argumen moral. Tulisan ini ingin menyumbangkan argumen ekonomi guna memerangi korupsi. Selain itu, memahami perilaku pelaku korupsi akan membantu kita menciptakan lembaga dan insentif tepat untuk membasminya.

Korupsi hanya transfer?
Argumen ini mengatakan, negara tidak dirugikan praktik KKN karena KKN hanya sekadar transfer dari satu orang ke orang lain. Ibaratnya, seorang pencuri mengambil televisi orang kaya, televisi itu tidak hilang, hanya berpindah dari satu tangan ke tangan lain. Penelitian mengenai hal ini menghantar Gary Becker, seorang ekonom, mendapat hadiah Nobel tahun 1992.

Menurut Becker, I was puzzled by why theft is socially harmful since it appears merely to distribute resources from wealthiest to poorer individuals. Becker menunjukkan, kegiatan kriminal termasuk korupsi bukan hanya sekadar transfer. Ilustrasi berikut mungkin bisa membantu memahami apa yang dikemukakan Becker.

Seorang insinyur sipil menghadapi pilihan antara bekerja keras atau melakukan KKN, menjadi broker tender pemerintah yang senilai Rp 1 miliar dengan fee 10 persen. Jika dia bekerja dengan benar, dia mendapatkan penghasilan Rp 10 juta per bulan. Bila dia melakukan KKN, dia akan mendapatkan Rp 100 juta. Tentu saja insinyur sipil itu akan bersedia menghentikan kegiatan menghasilkan karya teknik sipil selama 10 bulan untuk melobi dan menyuap sana-sini guna mendapatkan Rp 100 juta itu.

Jika insinyur sipil itu memutuskan melakukan KKN, terjadi tiga hal sekaligus. Pertama, proyek bernilai Rp 1 miliar menjadi hanya Rp 900 juta. Kedua, terjadi transfer tidak adil dari pembayar pajak ke kantong insinyur sipil itu. Ketiga, ada dana yang lenyap, Rp 100 juta, karena insinyur sipil itu mengalihkan kegiatannya dari bekerja keras ke lobi, memburu rente yang tak menghasilkan barang atau jasa secuil pun, hanya menghasilkan secarik kertas yang memberikan hak transfer dari pembayar pajak ke insinyur.

Kerugian tidak berhenti di sini. Pertama, masyarakat harus mengeluarkan biaya lagi guna membayar aparat yang harus mengawasi korupsi. Kedua, jika kegiatan memburu rente menghasilkan kebijakan yang mendistorsi pasar, muncul biaya lagi, yaitu inefisiensi yang timbul karena misalokasi sumber daya. Ketiga, jika proteksi menimbulkan efek manja pada pengusaha, kegiatan KKN menimbulkan inefisiensi ekonomi. Jika semua dijumlah, kerugian yang ditanggung masyarakat amat besar. Ekonomi yang seharusnya bisa tumbuh 7 persen akhirnya hanya tumbuh 3-4 persen.

Gaji rendah sumber korupsi
Argumen ini sering dikemukakan Kwik Kian Gie beberapa tahun lalu, namun dibantah Menteri Keuangan. Sebetulnya pendapat Kwik tidak sepenuhnya salah, pendapat Menkeu tidak semuanya benar. Untuk memahami argumen ini, mari kita memasuki benak koruptor saat akan mengambil keputusan untuk melakukan korupsi.

Seseorang akan korupsi jika keuntungan yang didapat melebihi biaya yang ditanggung. Keuntungan yang diperoleh adalah besar uang yang bisa dikorupsi. Biaya yang ditanggung adalah gajinya yang hilang bila dipecat karena korupsi.

Dari model sederhana itu dapat ditarik kesimpulan. Pertama, makin besar nilai yang bisa dikorupsi, makin besar godaan untuk korupsi. Kedua, makin besar gaji pegawai negeri sipil (PNS), makin besar cost of corruption karena jika dia tertangkap, dia kehilangan penghasilan yang makin besar. Di sini Kwik benar saat mengatakan gaji tinggi dapat mencegah PNS melakukan KKN. Ketiga, makin mendekati waktu pensiun, makin kecil biaya korupsi, berarti makin besar insentif untuk korupsi. Keempat, yang paling penting adalah probabilitas tertangkap. Cost of corruption tergantung probabilitas tertangkap/dipecat. Bila probabilitas untuk tertangkap = 0, maka cost of corruption = 0, korupsi akan terjadi berapa pun gaji PNS dan pada usia berapa pun. Di sini apa yang dikemukakan Menkeu mengandung kebenaran. Mengingat probabilitas untuk ketahuan melakukan KKN di Indonesia amat kecil, pendapat Menkeu lebih mendekati kebenaran daripada Kwik.

Pakta antisuap
Kadin memprakarsai untuk tidak menyuap pejabat, dan perlu didukung. Namun, kesepakatan ini mengandung benih kegagalan amat besar.

Logikanya, jika semua pengusaha tidak menyuap, biaya siluman bisa ditekan sehingga semua pengusaha diuntungkan oleh pakta antisuap ini. Namun, tak ada jaminan semua pengusaha menaati pakta itu. Padahal, jika satu pengusaha tidak menaati pakta itu, pengusaha itu bisa memperoleh privilese, yang lain tidak. Karena semua berpikir demikian, kartel mulia ini akan kolaps.

Diperlukan kepemimpinan yang kuat dari pengusaha untuk memberi sanksi berat agar pakta antisuap berhasil. Selain itu, diperlukan kartel mulia yang sama dari pihak pemerintah yang memberi jaminan bahwa PNS tidak mau lagi disuap (it takes two to tango). Karena itu, sungguh tepat apa yang dilakukan Kadin, yang mendesak pemerintah untuk mendukung prakarsa antisuap. Sayang pemerintah agaknya tidak terlalu antusias atas gagasan ini.

Demokrasi
Melalui proses demokratis, pemimpin yang korup dapat didepak secara damai. Sebaliknya, pemimpin yang korup dapat mendapat legitimasi dari rakyat melalui proses demokrasi. Jadi, demokrasi adalah syarat perlu bagi pemerintahan yang bersih, namun bukan syarat cukup. Syarat cukup ini akan terpenuhi jika pemilih memiliki kesadaran akan perlunya pemerintah yang bersih dan mewujudkannya dalam pemilu.

Pemilu mendatang memberi peluang emas untuk memunculkan pemimpin dan partai yang bersih. Tinggal masyarakat pemilih bersedia atau tidak memanfaatkan peluang ini. Jika money politics terjadi dalam pemilu mendatang, atau masyarakat memilih pemimpin yang korup, tidak ada alasan untuk menyalahkan siapa-siapa, seperti pepatah mengatakan, A nation gets the leader it deserves. (Oleh: Haryo Aswicahyono, Researcher, Department of Economics)

Tulisan ini diambil dari website CSIS dengan alamat: http://www.csis.or.id/scholars_opinion_view.asp?op_id=4&id=15&tab=0

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan