Efektivitas Penayangan Koruptor

Rencana Kejaksaan Agung menayangkan para koruptor dalam tajuk koruptainment sejenis infotainment agaknya hanya menunggu waktu. Dari sisi pengusaha media televisi, hal itu tentu merupakan mata acara yang menguntungkan di samping kemasannya relatif baru, bekerja sama atas otoritas lembaga penegak hukum, juga memenuhi idealisme seperti disampaikan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh bahwa televisi juga mempunyai tanggung jawab dan berperan serta untuk memberantas korupsi.

Lembaga mana yang mau berspekulasi tidak berperan serta dalam memberantas korupsi?

Secara teknis, penayangan koruptor pernah diacarakan di televisi nasional pada masa Pak Harto, tetapi dengan kemasan yang monoton dan lebih merupakan sosialisasi atas tidak ditemukannya seorang terpidana kasus korupsi dan masuk DPO. Acara itu dinilai tidak efektif sehingga perlu kemasan baru. Apakah acara itu dijamin lebih efektif dari sebelumnya? Untuk itulah, sebelum acara koruptainment itu direalisasikan, beberapa hal perlu dipertimbangkan lebih jauh sehingga tujuan untuk memberantas korupsi itu tidak mengesankan temporer, melalui cara yang tidak tersistem, bahkan mengesankan hanya sebagai alternatif dan kebingungan karena berbagai cara lain tidak mengubah, bahkan memperparah peta perkorupsian di tanah air.

Aspek Komunikasi
Penayangan koruptor, baik berstatus buron, menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan (lapas), maupun masih dalam proses hukum, tetapi ada keyakinan kuat bahwa seseorang itu berkualifikasi koruptor akan menjadi media efektif untuk menyampaikan status seseorang (sebagai koruptor). Namun, dalam perspektif komunikasi media, efektivikasi untuk menimbulkan efek jera pada subjek yang ditayangkan tentu dipertanyakan.

Korupsi adalah tindak penyimpangan sosial yang berproses dalam jangka waktu lama. Korupsi juga merupakan penyimpangan yang tidak bisa dilakukan secara individual. Artinya, dari sisi itu, efek jera yang igin dituju dari penayangan tersebut tidak efektif.

Toh seseorang yang sekali melakukan korupsi dan dijatuhi hukuman akan sangat sulit (kalau dikatakan tidak mungkin) untuk memperoleh kesempatan mengulangi penyimpangan itu kali kedua.

Proses hukum berupa penjatuhan pidana tidak akan memberikan konsesi untuk berada pada posisi yang sama ketika sebelum melakukan tindakan yang berkualifikasi korupsi.

Dari aspek komunikasi, pembelajaran kepada masyarakat kiranya juga patut dipersoalkan efektivitasnya. Masalahnya, pangsa pasar yang menjadi konsumen media televisi, khususnya yang lebih berkepentingan dengan para koruptor, dipastikan golongan menengah ke atas.

Sebutlah siapa yang kenal dan berkepentingan dengan Sudjiono Timan, Maria Pauline, Nader Taher, dan sebagainya. Masyarakat umum tidak tahu-menahu soal korupsi yang mereka lakukan, baik dari sisi modus maupun berbagai implikasi yang menyertainya. Kelas konsumen menengah ke atas sebagaimana dimaksud sudah tahu siapa tokoh yang menjadi koruptor dan seperti apa modusnya.

Dari kenyataan di atas, tayangan itu tidak memberikan efek positif bagi masyarakat pemirsa yang lebih luas, khususnya berkenaan dengan tujuan yang ingin dicapai. Tidak ada korelasi efek takut sebagai bentuk hukuman usai penayangan profil koruptor bagi pemirsa. Toh proses korupsi selalu dikaitkan dengan kesempatan, kepiawaian melakukan penyimpangan administrasi, dan kerja sama dengan pihak lain.

Dari sisi ini, komunikasi yang ingin dituju dengan memberikan stigma kepada masyarakat melalui televisi bahwa koruptor itu jelek dan bisa ditayangkan melalui televisi juga tidak efektif.

Dari dua analisis tersebut, efektivikasi penayangan koruptainment di media televisi justru dipertanyakan. Apa tidak lebih mengena jika dipertimbangkan tayangan yang berhubungan dengan korupsi itu menyangkut hal-hal lain.

Misalnya, modus korupsi, reasoning kerugian negara yang timbul, beberapa kemungkinan pencegahan, dan perspektif ke depannya. Hal itu akan lebih memberikan materi pembelajaran tentang korupsi dengan maksud untuk mencegah. Paling tidak, hal itu akan lebih baik daripada secara emosional menayangkan para koruptor yang tenyata juga belum tentu efektif untuk tujuan pemberantasan korupsi.

Aspek Hukum
Aspek hukum yang berangkat dari realitas sosial memberikan pemahaman bahwa pidana yang dijatuhkan harus didasarkan pada jenis-jenis hukuman yang telah dipatok secara baku. Ada hukuman pokok dan ada hukuman tambahan.

Jenis hukuman pokok dan hukuman tambahan pun sudah disebutkan secara limitatif di dalam peraturan perundangan (juncto pasal 10 KUHP) yang dijadikan sebagai dasar penjatuhan pidana. Bahwa dasar pidana adalah nestapa, tidak nyaman, tekanan, dan keteraniayaan dalam bentuk perlakuan oleh otoritas berwenang yang harus ditanggung dan dijalani oleh seseorang akibat perbuatannya.

Dari sini, penayangan di televisi merupakan bentuk nestapa bagi seseorang. Bahkan, nestapa yang cukup berat yang akan memberikan stigma negatif untuk jangka waktu lama.

Dari aspek itu, legitimasi untuk menayangkan koruptor bisa disoal. Padahal, dari sisi lain, seseorang yang merasa dicemarkan nama baiknya, dibuat tidak nyaman, punya hak untuk menuntut balik. Para koruptor yang track record-nya ditayangkan, termasuk penayangan wajah, apalagi jika dia sudah atau sedang menjalani pidana menanggung beban tambahan sebagai akibat hukuman tambahan tersebut. Kondisi itu bisa disoal dari sisi hak asasi manusia karena bisa dinilai melanggar HAM.

Dikecualikan dari kenyataan di atas jika hakim dalam putusannya menjatuhkan pidana tambahan berupa penyiaran di media masa, misalnya. Hal itu berarti hukuman tambahan tidak boleh dijatuhkan tanpa adanya hukuman pokok baik berupa penjara, denda, atau penjara dan denda.

Dari aspek di atas, Kejaksaan Agung perlu lebih berhati-hati menayangkan wajah buron, terpidana, atau orang-orang yang terlibat perkara korupsi. Tidakkah lebih bijak dan masih sesuai dengan koridor tujuan untuk memberikan efek jera, misalnya, dengan menyampaikan prestasi aparat penegak hukum dalam melacak harta koruptor dan mengembalikannya kepada negara.

Jadi, kesan bahwa aparat penegak hukum masih punya rasa percaya diri, masih bisa berbuat banyak untuk memberantas korupsi, akan lebih besar mendatangkan simpati masyarakat yang akan mendukung pemberantasan korpsi. Hal itu lebih baik jika dibandingkan dengan kebijakan emosional berupa penayangan koruptor yang hanya akan menimbulkan sentimen terhadap kenyataan sosial dan aparat penegak hukum. Bukankah selama ini aparat penegak hukum senantiasa menyatakan bahwa keberhasilannya memberantas tindak pidana karena laporan dan kerja sama dengan masyarakat?

Prof Dr Samsul Wahidin SH MH, guru besar Ilmu Hukum Unlam Banjarmasin

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 7 Agustus 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan