Efek Jera, Esensi Penanganan Kasus-kasus Korupsi

Hampir berbarengan dengan mulai disidangkannya 11 mantan anggota DPRD dalam kasus dobel anggaran APBD Kota Semarang 2004 awal pekan ini, di Purwokerto mantan Ketua DPRD Kabupaten Banyumas Tri Waluyo Basuki secara resmi ditahan oleh Polres. Kasusnya juga terkait dengan dugaan korupsi APBD. Kita tentu sepakat proses peradilan kasus korupsi di lembaga legislatif ini merupakan kemajuan dalam penegakan hukum. Tanpa bermaksud mendahului proses lanjut yang akan terus berjalan, kalau ini dinilai sebagai kemajuan, maka banyak harapan yang bisa menjadi semacam terapi kejut yang memberi pengaruh pada banyak segi penyelenggaraan pemerintahan. Baik bagi legislatif, eksekutif, aparat penegak hukum, maupun masyarakat sendiri.

Haruslah sama-sama dikawal, agar penyelesaian dugaan kasus-kasus korupsi benar-benar berjalan pada trek yang diharapkan masyarakat. Setidak-tidaknya, inilah yang akan menjadi kaca benggala mengenai kepastian hukum, serta komitmen penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Harus kita dorong agar proses peradilannya berjalan fair dan progresif, dengan berorientasi pula pada aspek-aspek kepentingan kemaslahatan publik. Harapan yang begitu besar kepada aparat penegak hukum membeban sebagai impian terselenggaranya penegakan hukum yang elegan, dengan menciptakan aparat terpercaya bagi hukum yang terpercaya di tengah ketidakpercayaan masyarakat atas bias-bias law enforcement, sejauh ini.

- Terapi kejut hukum kasus korupsi diharapkan menjadi efek jera yang mencerahkan, baik bagi eksekutif maupun legislatif. Minimal, pengaruh itu mulai dapat kita rasakan dalam periode DPRD yang sekarang, misalnya berbagai penetapan anggaran untuk pos-pos tertentu terlihat sangat berhati-hati, dengan kata lain tidak ingin terpeleset ke dalam kemungkinan kesalahan baik prosedural maupun substansial. Kita berhak menilai ini sebagai efek dari pemberitaan dan pengaruh penanganan sejumlah kasus di berbagai daerah, kendati terdapat faktor determinan lain, yakni kehadiran sejumlah tokoh baru di kalangan Dewan yang benar-benar komit dengan sikap pembaruannya. Yang berkembang sekarang juga mencari ketepatan sikap di dalam merumuskan kepatutan anggaran.

- Disidangkannya 11 mantan anggota DPRD Kota Semarang, juga proses hukum yang sedang berlangsung di Solo, Banyumas, dan daerah lain, penting untuk disikapi secara reflektif. Inilah panggung kekuasaan, dengan segala bias sikap terhadap peluang di dalam penyelenggaraannya. Ketika sikap itu telah berkembang menjadi struktural, maka yang kemudian terjadi adalah - sebagaimana istilah guru besar fikih IAIN Walisongo Semarang Ahmad Rofiq - ''korupsi berjamaah''. Di sini hukum tidak lagi melihat bagaimana niatan seseorang yang terlibat, karena dia termasuk dalam struktur ''jamaah'' tadi; bahkan terkadang gurita korupsi secara tidak terduga mampu melibatkan orang yang sebenarnya tidak dalam ''kapasitas'' masuk dalam lingkaran kultur penyelewengan.

- Dari kacamata komitmen penegakan hukum, konsistensi penanganan kasus di Kota Semarang, Solo, dan Banyumas tetap patut kita beri respeksi, kendati masih akan diuji apakah proses dan produknya benar-benar mampu menjaring akar masalah. Sementara ini, yang terpenting, gaung penanganannya telah menumbuhkan semburat kepercayaan kepada hukum, dan ada harapan menebarkan efek jera di kalangan para ''calon'' pelaku. Keterciptaan tren pemerintahan yang bersih, berwibawa, mampu mengaudit diri sendiri tanpa harus menunggu dikawal dan didesak-desak oleh berbagai elemen masyarakat, menjadi muara idealnya. Proses check and balances legislatif - eksekutif pun bisa kita harapkan berjalan sebagai bentuk pengawalan yang alamiah dan tidak berat sebelah.

- Tren membaiknya harapan penegakan hukum ini, bagaimanapun tidak boleh mengendurkan dorongan dan pengawalan seluruh elemen masyarakat. Dari berbagai pengalaman pemrosesan kasus penyelewengan uang negara, sumber informasi dan dorongan lebih banyak muncul dari sikap proaktif masyarakat. Padahal dalam kondisi normal, sikap serupa itulah yang diharapkan berkembang di kalangan aparat hukum kita. Pertama-tama tentu kita harapkan terjadi audit internal di tingkat penyelenggara pemerintahan, sehingga kasus-kasus penyelewengan secara preventif bisa dihindari. Tetapi kalau itu dinilai masih merupakan harapan kosong, bahu-membahu antara aparat hukum dengan masyarakatlah yang tampaknya masih merupakan jawaban paling praktis.

Tulisan ini merupakan tajuk rencana Suara Merdeka, 17 Februari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan