Dua Pejabat Kementerian BUMN Diperiksa Kejagung; Terkait Bonus Direksi dan Komisaris PLN Rp 4,3 M
Penyidikan atas dugaan penyimpangan dana negara dalam pembagian bonus (tantiem) Rp 4,3 miliar kepada direksi dan komisaris PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) berlanjut. Dua pejabat Kementerian BUMN pada era Men BUMN Laksamana Sukardi menjalani pemeriksaan sebagai saksi di Gedung Bundar, Kejagung, kemarin.
Salah seorang saksi itu adalah Deputi Men BUMN Bidang Usaha Pertambangan Industri Strategis, Energi, dan Telekomunikasi Roes Ariawijaya. Sedangkan identitas saksi yang lain tak diungkapkan.
Keduanya menjalani pemeriksaan di lantai II Gedung Bundar. Tim penyidik yang memeriksa adalah Patuan SH dan dibantu sejumlah jaksa penyidik lainnya. Pemeriksaan berlangsung pukul 10.00 hingga 13.30 WIB.
Itu kali pertama pemeriksaan atas pejabat Kementerian BUMN dalam kasus tersebut. Setelah diperiksa, Roes menolak berkomentar soal materi pemeriksaan. Padahal, para wartawan sudah menunggu sejak pagi. Dia meminta wartawan menanyakan materi pemeriksaan itu kepada tim penyidik dan Kapuspenkum Kejagung R.J. Soehandoyo. Roes langsung meninggalkan Gedung Bundar menuju kantornya di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat.
Soehandoyo menggelar jumpa pers pada petang kemarin. Dia menjelaskan tentang pemeriksaan dua pejabat Kementerian BUMN. Tapi, saat itu dia menyebut inisial, yaitu RA dan T. Menurut Soehandoyo, keduanya hingga kini menjabat di Kementerian BUMN.
RA (Roes Ariawijaya) menjabat deputi Men BUMN Bidang Usaha Pertambangan Industri Strategis, Energi, dan Telekomunikasi. Sedangkan T disebutkan sebagai asisten deputi Men BUMN Urusan Usaha Industri Strategis dan Telekomunikasi.
Status mereka adalah saksi. Jadi, keduanya diperiksa sebagai saksi, tutur Soehandoyo di ruang wartawan.
Dia mengungkapkan, tim penyidik meminta keterangan terkait tugas dan kewenangan mereka sesuai UU Nomor 19/2003 tentang BUMN dan UU Nomor 1/1995 tentang Perseroan Terbatas (PT). Terutama saat menghadiri RUPS PLN pada 25 Juni 2004 yang menyetujui pembagian bonus tahun buku 2003 sebesar Rp 4,3 miliar.
Tim penyidik juga menanyakan kewenangan mereka selaku wakil pemerintah (pemegang saham PT PLN) dalam menyetujui pembagian bonus yang menurut mereka sebagai jasa produksi, jelas Soehandoyo.
Pelaksanaan RUPS PLN pada 25 Juni 2004 menjadi dasar pembagian bonus. Rapat juga merekomendasikan bahwa jajaran direksi dan komisaris telah berprestasi dalam memperbaiki kinerja keuangan PLN pada 2003. Meskipun pemerintah membatalkan kenaikan tarif dasar listrik (TDL) IV/2003.
Saat itu, RUPS tidak hanya membagikan bonus kepada pejabat setingkat direksi dan komisaris, tetapi juga kepada karyawan senilai Rp 270 miliar. Pembagian bonus saat itu dinilai sesuai dengan UU Nomor 1 Tahun 1995 dan UU Nomor 19 Tahun 2003.
Lebih lanjut, Soehandoyo membeberkan bahwa materi pertanyaan juga seputar pelaksanaan good corporate governance (GCG) di PLN dalam pembagian bonus. Konsep GCG itu diatur dalam pasal 5 ayat 3 dan pasal 6 ayat 3 UU Nomor 19/2003 dan Keputusan Men BUMN Nomor 117/M-MBU/2002. Salah satu poin penting dalam ketentuan itu menyatakan bahwa setiap manajemen BUMN harus mengadopsi konsep GCG untuk dilaksanakan secara ketat.
Ada klausul bahwa dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan, organisasi BUMN harus dilandasi nilai moral tinggi serta kepatuhan terhadap perundang-undangan, tutur Soehandoyo.
Bagaimana soal agenda pemeriksaan dengan memanggil mantan Men BUMN Laksamana Sukardi? Soehandoyo mengaku belum tahu. Menurut dia, pemanggilan para pihak yang diperlukan dalam penyidikan kasus itu, termasuk mantan Men BUMN, merupakan urusan penyidik.
Bila dirasa cukup penting, tidak tertutup kemungkinan mantan Men BUMN dipanggil, kata jaksa yang pernah bertugas di Sumatera Barat itu. Saat RUPS PLN digelar, Laksamana menjabat Men BUMN dan menjadi wakil pemerintah selaku pemegang saham setiap BUMN.
Seperti pernah diberitakan, Kejagung mulai menyidik dugaan korupsi atas pembagian bonus Rp 4,3 miliar. Kendati diputuskan RUPS 25 Juni 2005, pembagian bonus dilaksanakan September 2004. Dirut PLN Eddie Widiono mendapat Rp 579,45 juta, direksi lain masing-masing Rp 423,72 juta, dan direktur keuangan Rp 521,51 juta. Komisaris utama memperoleh Rp 213,43 juta dan masing-masing anggota komisaris menerima Rp 208,6 juta.
Sebelumnya tim penyidik memanggil Eddie Widiono Suwondho dan sejumlah direktur yang lain. Bahkan, direksi perusahaan listrik berpelat merah itu siap mengembalikan bonus yang mereka terima kalau memang diminta.
Namun, JAM Pidsus Hendarman Supandji menegaskan bahwa pengembalian bonus tidak akan menghilangkan unsur pidana, sesuai pasal 4 UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Hingga kini, manajemen PLN dan penyidik berbeda pendapat soal definisi bonus. Penyidik menilai, bonus dan proses pembagiannya melanggar perundang-undangan. Sebab, hal itu baru bisa dilakukan jika PLN untung. Faktanya, selama tahun buku 2003 PLN masih rugi Rp 3,55 triliun. (agm)
Sumber: Jawa Pos, 2 Juni 2005