Dua Lagi Anggota DPRD Diperiksa; Dokumen Penting agar Disita [24/06/04]

Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jateng terus mengembangkan penyelidikan terhadap kasus dugaan penyalahgunaan APBD Jateng 2003. Setelah dua anggota DPRD dan dua pejabat Sekretariat Dewan (Setwan), kini dua orang lagi diperiksa dalam proses penyelidikan.

Menurut Kasi Penyuluhan Hukum dan Hubungan Masyarakat Kejati Jateng, Farda Nawawi SH, Rabu kemarin, total jumlah yang diperiksa ada enam orang. ''Benar, semuanya yang diperiksa sudah enam orang, termasuk empat orang sebelumnya,'' katanya.

Salah seorang yang diperiksa Senin lalu adalah anggota Dewan berinisial Sw, dan seorang lagi pejabat Setwan. ''Yang jelas, kejaksaan tetap berkomitmen untuk mengusut kasus-kasus korupsi dan tidak akan memetieskan kasus Dewan,'' tandasnya.

Ditanya soal posisi Kejati Jateng sebagai pembela pemerintah seperti dilontarkan Ketua DPRD Mardijo, dia mengemukakan istitusi tersebut adalah pembela aparatur pemerintah yang berbuat benar. Bila aparat pemerintah itu berbuat salah, lanjutnya, kejaksaan tetap akan menyusun naskah tuntutan.

''Yang bersalah tentu saja harus mendapat tuntutan melalui pembuktian-pembuktian,'' ujarnya. Dia juga menyebutkan, kemungkinan kalangan eksekutif juga bisa diperiksa, apabila dalam pemeriksaan terhadap Dewan ada petunjuk yang mengarah kepada keterlibatan eksekutif.

''Kemungkinan pemeriksaan terhadap eksekutif memang bisa saja. Tapi kita tidak bisa langsung melakukannya sekarang, dan harus melihat perkembangan hasil pemeriksaan lebih lanjut. Sebab, proses penyelidikan kasus yang ditangani tim Kejati itu sedang berjalan, dan sampai sekarang belum diketahui hasilnya. Jadi biarkan saja kasus itu berjalan terlebih dahulu,'' ungkapnya.

Rekonsiliasi
Pengamat masalah sosial dari Undip, Amirudin kembali menegaskan, sebenarnya apa yang terjadi antara KP2KKN dan DPRD Jateng bermula dari perbedaan interpretasi atas PP 110/2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD. Menurut dia, keduanya perlu bertemu, berkomunikasi, dan melakukan klarifikasi, untuk menuju ke arah rekonsiliasi.

''Yang penting klarifikasi antara kedua lembaga itu untuk mempertemukan persepsi atas objek sengketa tersebut,'' kata dia.

Dia menyatakan, jalan keluar yang bisa diambil sebenarnya dengan komunikasi antara keduanya. Dalam hal itu, bisa dilakukan dengan cara DPRD mengundang KP2KKN, atau sebaliknya. ''Atau kalau tidak, ada pihak yang memfasilitasi pertemuan tersebut,'' tandas dosen Fisip Undip itu.

Menurut dia, cara tersebut merupakan solusi terbaik dalam menyikapi beda interpretasi. ''Jadi, ya itu, komunikasi. Kalau dengan cara itu masih tidak bisa, terserah mereka.''

Sita Dokumen
Secara terpisah, Koordinator Badan Pekerja KP2KKN, Muhadjirin SH meminta Kejati menyita sejumlah dokumen yang menjadi bukti dugaan korupsi. Dia khawatir, jika itu tidak dilakukan, akan ada upaya pengaburan bukti.

Menurut dia, dokumen yang perlu disita antara lain Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK) tahun 2003 dan bukti pengeluaran uang dari bendahara yang diberikan pada anggota Dewan, baik langsung maupun transfer lewat rekening bank.

Menyangkut anggaran yang diduga penggunaannya tidak jelas dan telah dilaporkan ke Kejati karena menyalahi Kepmendagri No 29/2002 dan PP 110/2000, kata dia, ada sepuluh item. Tiga di antaranya yaitu biaya kegiatan khusus, dana sarana khusus, dan biaya rumah tangga Dewan.

Dalam RASK DPRD Jateng, lanjut Muhadjirin, pos biaya kegiatan khusus Rp 6.024.375.000 tidak ada kejelasan penggunaan, dan belum ada pertanggungjawabannya. Bahkan dana itu dibagikan kepada 100 anggota Dewan, masing-masing menerima Rp 12,9 juta selama tiga bulan, serta Rp 21.478.125 selama 1 bulan. ''Mestinya dana itu digunakan untuk kegiatan, bukan dibagikan kepada setiap anggota DPRD.''

Pada pos sarana khusus yang dikatakan pimpinan Dewan untuk bantuan kemasyarakatan sebesar Rp 7.849.800.000 -dengan rincian Rp 654.150.000 x 12 bulan-, adalah bentuk penyimpangan. Karena tanggung jawab seperti itu harusnya eksekutif. Dewan memiliki tugas legislasi, dan tidak boleh menyalurkan bantuan langsung kepada masyarakat.

Untuk pos rumah tangga Dewan sebesar Rp 4.407.275.000 dengan rincian Ketua/Wakil Ketua Rp 5 juta, Ketua Fraksi Rp 4 juta, dan anggota 63 x Rp 3.470.000 x 12 bulan, dikatakan bahwa pembagian itu merupakan dobel anggaran, karena mereka sudah mendapat gaji dan tunjangan.

Tidak Mendasar
Sementara itu, muncul suara kontra atas dugaan penyalahgunaan APBD oleh DPRD. LSM Laskar Bangsa menyatakan, dugaan kasus tersebut tidak mendasar.

Anggota LSM Laskar Bangsa, Aris Yulianto mengatakan, adanya tekanan serta tuntutan terhadap Kejati untuk mengusut secara tuntas dugaan penyalahgunaan APBD oleh Dewan, patut dicermati secara bijak.

Pengusutan harus didasarkan pada pemahaman hukum secara mendalam. Dengan demikian, lanjutnya, tidak berkesan hanya bersifat sentimen politik yang dilakukan beberapa kelompok atau komponen masyarakat lainnya. (G1,G7-33a)

Sumber: Suara Merdeka, 24 Juni 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan