Drama sang Koruptor

KUMANDANG azan Magrib menyeru di kejauhan. Anggota KPU Rusadi Kantaprawira tampak gusar. Mukanya pucat. Keringat membelah pipinya. Malam ini saya menginap. Ia berbicara dengan seseorang melalui ponsel.

Senin (18/7) sore itu, iring-iringan keluarga Rusadi datang. Dua lelaki setengah baya, istrinya Etty Rusadi, dan perempuan usia 30-an menggendong balita perempuan. Semua terjadi di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lantai II. Rusadi mencium balita itu. Memeluk istri dan semua keluarga. Suasana haru menyelimuti ruangan pemeriksaan KPK Jl Veteran, Jakarta Pusat.

Begitulah fragmen terakhir kisah Rusadi. Sekitar lima jam kemudian, dia ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Proyek tinta sidik jari pemilu yang jadi tanggung jawabnya, bocor Rp8 miliar. Total proyek Rp36 miliar.

Meminjam kata Candil, vokalis grup Serieus, anggota KPU juga manusia. Dia mencoba berkelit. Suatu kali, Rusadi berpapasan dengan Media. Dia mengeluh. Pusing saya. Sudah capek-capek, kok begini jadinya, katanya sambil mengetuk-ngetuk dahi dengan telunjuk.

Sumpah, demi Allah, saya tidak begitu (korupsi), tambahnya.

Menyangkal, mengeluh, membalikkan isu adalah sikap para anggota KPU ketika terpojok. Nazaruddin Sjamsuddin, misalnya. Sesaat setelah dijadikan tersangka, ia masih menyangkal menerima bagian dana rekanan KPU sebesar US$45 ribu. Tidak, tidak ada itu, katanya sambil tersenyum.

Padahal, sumber KPK mengatakan, dalam penyidikan dia mengaku telah menerima uang US$45 ribu. Uang US$44.900 juga ada sebagai barang sitaan.

Atau cobalah menghubungi istri Nazaruddin, Nurnida. Ketika Media mengonfirmasi hal itu, Nurnida berujar, Wah, kaya dong saya kalau begitu.

Pengusutan korupsi KPU juga sebuah roman melankolis. Chusnul adalah aktrisnya. Dalam pemeriksaan Senin dua pekan lalu Chusnul didampingi pasukan perempuan. Tampak dua saudarinya dan enam orang aktivis perempuan, di antaranya Debra Yatim dan Reni Ch Soewarso, Ketua Departemen Politik Universitas Indonesia (UI),

Pagi itu, Chusnul dibalut selendang cokelat. Sebuah kacamata hitam bertengger di dahinya. Ia bungkam. Kakinya melangkah menuju lantai II kantor KPK. Rombongannya ikut serta. Namun, petugas KPK melarang mereka mengikuti Chusnul. Chusnul berhenti. Dia menatap adik perempuannya. Memeluk dan saling mencium. Berjuang, ya, kata adiknya kepada Chusnul. Sang adik jugalah yang memagarbetiskan Chusnul dari serbuan kuli tinta usai pemeriksaan. Chusnul pun aman dari bombardir pertanyaan wartawan.

Kendati begitu, Chusnul tergolong licin. Rabu (13/7), ia mengajak Valina Sinka Subekti ke kantor Mahkamah Konstitusi (MK). Dia memang berniat mengajukan uji materiil UU Nomor 30/2002 tentang KPK. KPK tak punya dasar mengusut kasus KPU, katanya secara tertulis.

Betapa pun, melangkah sebagai terperiksa di kantor KPK, adalah aib. Valina sadar betul hal itu. Perempuan kelahiran Singkawang, Kalimantan Barat, berkulit putih itu kini gusar berhadapan dengan pers.

Usai diperiksa Rabu lalu, Valina pergi lewat pintu samping. Wartawan mengejar. Sopirnya sigap memberhentikan mobil tepat ketika majikannya terdesak. Valina kabur.

Daan juga serupa Valina. Hanya, pria berkulit hitam itu tak pernah berusaha kabur lewat pintu samping seperti Valina. Dia selalu turun melalui lobi kantor KPK, tempat wartawan berkumpul. Hanya langkahnya cepat-cepat. Bicaranya terbata-bata, seolah sudah dipersiapkan. Saya diperiksa seputar tender pengadaan buku, sudah ya, saya capek, katanya tergesa-gesa.

Wartawan pun menggodanya, memelintir lagu Hampa-nya Ari Lasso. Daan di mana, dirimu berada. Hampa terasa hidupku tanpa dirimu.

Tapi tak urung darah pria itu naik. Merasa diolok-olok oleh pemberitaan media massa, dia marah. Memangnya kalian malaikat, serunya.

Itulah persilatan yang tampak. Apakah itu bentuk corrupt defend mechanism atau naluri dasar manusia ketika tertusuk tombak? Kalau mereka takut, justru makin membuktikan bahwa mereka adalah koruptor, kata Direktur YLBHI Munarman suatu kali. (Agustinus Edy Kristianto/P-5)

Sumber: Media Indonesia, 27 Juli 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan