DPRD Mataram Diduga Korupsi Rp 5,2 Miliar [17/06/04]

Lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Rakyat untuk Advokasi Publik Nusa Tenggara Barat melaporkan dugaan korupsi senilai Rp 5,2 miliar di DPRD Kota Mataram ke Kejaksaan Tinggi setempat. Temuan dugaan korupsi itu berupa kesalahan pada sedikitnya tujuh pos, di antaranya penggelembungan dana belanja, pembukuan ganda dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2001, 2002, dan 2003.

Delapan aktivis lembaga tersebut langsung mendatangi ruang Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat Soekarno Purwo, Rabu (16/6) pagi. Mereka melaporkan dugaan korupsi dan mendesak kejaksaan menurunkan tim pemeriksa kepada para anggota DPRD Kota Mataram.

Menurut Koordinator Aliansi Rakyat Hendriadi, tujuh pos belanja yang diduga menyimpang adalah pos uang kehormatan, tunjangan kegiatan, biaya pemeliharaan kesehatan, tunjangan biaya listrik, air, telepon dan gas, tunjangan pembinaan fraksi, tunjangan produk Dewan, tunjangan pemeliharaan rumah Dewan, pendidikan dan peningkatan pengetahuan Dewan, dan tunjangan kesejahteraan untuk 2002.

Pos-pos itu telah menyalahi ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000, kata Hendriadi. Satu contoh, kata dia, pos biaya pemeliharaan kesehatan sebenarnya tidak diatur dalam PP Nomor 110 Tahun 2000, ternyata dimasukkan di bagian tunjangan kesejahteraan dalam bentuk asuransi kesehatan.

Selain itu, uang kehormatan juga tidak diatur di PP Nomor 110 Tahun 2000, seperti tunjangan air, listrik, telepon, gas, dan tunjangan pembinaan. Peraturan pemerintah itu tidak digubris, sebagai akibatnya negara dirugikan sekitar Rp 2,7 miliar. Modusnya dengan melakukan double accounting, Hendriadi mengungkapkan.

Kerugian negara lain berasal dari pos tunjangan kesejahteraan DPRD 2002. Misalnya lewat belanja anggota Dewan untuk tunjangan kesehatan, uang duka, bantuan pengangkutan jenazah bagi anggota Dewan yang meninggal, rumah jabatan berikut perlengkapan, kendaraan dinas, pakaian dinas, dan lain-lain. Total penyimpangan itu sebanyak Rp 2,1 miliar.

Jumlah kerugian masih ditambah Rp 333 juta dari pos biaya tunjangan kegiatan DPRD Mataram yang diduga sarat manipulasi anggaran. Total dari kerugian negara mencapai Rp 5,2 miliar, papar Hendriadi.

Aliansi minta kejaksaan segera membentuk tim penyidik kasus dugaan korupsi miliaran rupiah itu. Jika kasus ini tidak segera ditangani, dikhawatirkan akan menguap begitu saja. Apalagi, kata Hendriadi, Sebagian dari anggota DPRD Kota Mataram sebentar lagi tidak menjabat lagi karena tidak terpilih.

Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat Soekarno Purwo mengatakan, dirinya tidak bisa memutuskan membentuk tim atau tidak, karena harus menunggu Kepala Kejaksaan Tinggi yang sedang ke Jakarta. Kejaksaan Tinggi juga perlu mempertimbangkan apakah membentuk tim sendiri atau melimpahkan kasus ini ke Kejaksaan Negeri Mataram.

Dugaan korupsi tersebut langsung dibantah oleh Abdulahim Watta, Ketua Komisi Pembangunan DPRD Kota Mataram. LSM itu hanya cari sensasi saja. Dugaan korupsi itu di beberapa tempat tak terbukti, seperti kasus Akbar Tandjung.

Ia minta para aktivis LSM itu membuktikan tuduhannya, misalnya soal pembukuan ganda dan kesehatan. Saya ini dibayar untuk uang kesehatan per hari Rp 28 ribu, Abdulahim mengungkapkan.

Bulan lalu, para aktivis LSM itu juga melaporkan dugaan korupsi di DPRD Kabupaten Sumbawa senilai Rp 6,4 miliar. Modusnya serupa dengan DPRD Mataram, seperti dari pos tunjangan kesehatan dan asuransi kesehatan. Sumber di Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat menyebutkan, sudah ada tim yang menyelidiki kasus dugaan korupsi di DPRD Kabupaten Sumbawa.

Pengadilan Negeri Mataram kemarin menjatuhkan hukuman 14 bulan penjara kepada anggota DPRD Nusa Tenggara Barat Mahdar, 60 tahun, karena korupsi dana APBD Rp 440 juta. Terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan menyelewengkan dana APBD 2001, 2002, dan 2003, kata ketua majelis hakim Fachrur Rozie saat membacakan putusannya, Rabu (16/6).

Menurut majelis, terdakwa yang juga pengurus Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar Nusa Tenggara Barat itu terbukti merugikan uang negara sekitar Rp 440 juta. Uang tersebut berasal dari APBD 2001, 2002 dan 2003 untuk bantuan ke sejumlah pondok pesantren di Pulau Lombok. Namun, dana bantuan itu ternyata digelapkan dengan kuitansi palsu. Sebagai barang bukti terdapat delapan kuitansi fiktif yang dibuat terdakwa.

Putusan tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa yang minta terdakwa dihukum lima tahun penjara. Jaksa M. Yusuf selaku penuntut dalam kasus ini belum menentukan sikap atas putusan itu. Ketika ditanya majelis hakim, Yusuf mengatakan masih pikir-pikir. sujatmiko

Sumber: Koran Tempo, 17 Juni 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan