DPRD Didesak Panggil Wali Kota

Sejumlah LSM yang tergabung dalam Forum Peduli Anggaran Kota Surakarta (FPAKS) menyesalkan tidak adanya respons dan ketegasan sikap DPRD, terkait penetapan Wali Kota H Slamet Suryanto sebagai tersangka kasus dugaan penyimpangan dana Anggaran Biaya Tambahan (ABT) 2003 senilai Rp 6,9 miliar.

''Sebagai lembaga penyalur aspirasi rakyat dan mengontrol kebijakan eksekutif, seharusnya DPRD segera memanggil Wali Kota untuk dimintai penjelasannya terkait statusnya tersebut,'' kata Koordinator FPAKS Alif Basuki saat melakukan dengar pendapat dengan pimpinan dan sejumlah anggota DPRD, Senin (20/12) kemarin.

Kedatangan belasan aktivis LSM tersebut ditemui Ketua DPRD H Farid Badres, Wakil Ketua DPRD HM Yusuf Hidayat dan Alqah Hudaya, Ketua Fraksi Partai Golkar Heru S Notonegoro, Ketua Fraksi Persatuan Demokrat Keadilan Herry Setyo Nugroho, dan Ketua Fraksi PAN Abdullah AA.

FPAKS juga mempertanyakan sikap Komisi D (Bidang Pembangunan) periode lalu yang menyatakan ketiga proyek yang dikerjakan dengan dana ABT sudah sesuai dengan prosedur. Tak hanya itu, akibat tidak konsistennya DPRD memperjuangkan hak-hak rakyat, hak penyelidikan yang diusulkan sejumlah anggota akhirnya gagal. Ironisnya, dua dari belasan anggota pengusul hak penyelidikan kasus ABT waktu itu justru berbalik menolak saat voting -yang menentukan pentingnya dibentuk panitia khusus- dilakukan.

''Kenyataan saat ini kasus tersebut sudah masuk Kejaksaan Negeri dan Wali Kota dinyatakan sebagai tersangka. Kenapa waktu itu Komisi D menyatakan sudah sesuai dengan prosedur? Apa pula artinya pengaduan yang disampaikan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPMK) Joyontakan, kalau kemudian akhirnya Pansus dimentahkan?''

Beri Support
FPAKS mengingatkan DPRD agar memberikan support kepada kejaksaan, sebagai bentuk dukungan politis atas kasus yang ditengarai melibatkan sejumlah pejabat Pemkot tersebut. ''Jangan sampai dihambat kembali, sama halnya saat ada usulan hak penyelidikan lalu,'' ungkap Rahmad Djazuri.

Sementara itu, Jhoni Simanjuntak dari ATMA menuturkan, tidak menutup kemungkinan bila DPRD selaku elite politik tidak bersikap tegas atas kasus ABT bakal menimbulkan iklim tak kondusif di Solo. Sebab bila tidak, dikhawatirkan bakal memicu konflik horisontal ataupun vertikal. Dia mencontohkan, kerusuhan yang terjadi di Poso diakibatkan ketidaktegasan elite politik setempat.

''Kami tahu Poso sebelumnya merupakan daerah yang aman dan tenteram. Tapi karena elite politiknya tidak bisa bersikap tegas, akhirnya pecah kerusuhan di sana. Tentu kami tidak ingin kasus serupa menimpa Solo.''

Ketua DPRD H Farid Badres mengatakan, DPRD tidak memiliki kewenangan untuk memanggil Wali Kota karena dana ABT sebelumnya tidak melalui APBD 2003. ''Dana dari Pusat langsung turun ke Pemkot melalui KPKN (Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara). Jadi DPRD sejak awal tidak bisa mengawasi proyek tersebut karena memang tidak dilewatkan APBD. Karena itu, ke depan seharusnya dana dari Pusat tetap dilewatkan DPRD.''

Mengenai pemanggilan Wali Kota, selain waktu yang terbatas mengingat masa jabatan Wali Kota habis pada April 2005, langkah tersebut justru kontraproduktif bagi proses penegakan hukum.

''Proses itu kan sudah ditangani yudikatif, jadi DPRD seharusnya tidak mengintervensinya. Nanti malah bersinggungan dan tidak menguntungkan seluruh pihak.''

Alqah Hudaya menambahkan, kasus tersebut paling tidak akan memengaruhi penilaian DPRD atas LPj akhir Wali Kota mendatang.

''Kalau kami memanggil Wali Kota, justru itu akan memperlemah proses penegakan hukum yang sedang berjalan. Biar prosesnya seperti apa adanya. Untuk efisiensi dan efektivitas, serahkan semua pada yudikatif.'' (G13-17s)

Sumber: Suara Merdeka, 21 Desember 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan