DPRD Akan Hapus Dana 'Amplop'
Sejumlah anggota DPRD DKI Jakarta berniat menghapus anggaran khusus untuk wartawan senilai Rp 3,15 miliar yang diajukan pemerintah provinsi. Dewan menilai, mata anggaran pada Rancangan Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah (RAPBD) 2005 itu bisa mengganggu independensi wartawan.
Dana itu akan kami pangkas. Yang harus menggaji wartawan itu perusahaannya, bukan narasumber, kata Wakil Ketua DPRD DKI Ahmad Heryawan kemarin.
Ahmad menanggapi usulan Biro Humas dan Protokoler Pemerintah DKI Jakarta yang menganggarkan kegiatan liputan media massa Rp 1,5 miliar. Biro ini juga mengusulkan jumlah yang sama untuk kegiatan wawancara dan dialog media massa. Di samping itu, masih ada dana untuk kegiatan forum kemitraan dengan pers Balai Kota Rp 150 juta. Ini di luar dana untuk iklan layanan masyarakat dan kerja sama dengan sejumlah stasiun televisi yang dananya lebih besar (Koran Tempo, 21/12).
Menurut Ahmad, pihaknya memiliki rencana untuk memotong alokasi anggaran yang dianggap tidak perlu. Dana khusus untuk wartawan, menurut anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera ini, termasuk yang akan dihapus. Dana khusus itu, katanya, Memperburuk citra wartawan.
Anggota Komisi A DPRD DKI yang mengurusi bidang hukum dan pemerintahan, Rois Hadayana Syaugie, mengatakan, tradisi memberikan amplop kepada wartawan saat peliputan bisa mempengaruhi obyektivitas wartawan. Wartawan yang menerima amplop, Rois melanjutkan, bisa saja hanya menyuarakan kepentingan tertentu. Adanya anggaran itu merupakan (upaya) pembungkaman wartawan, ujar Rois.
Menurut Rois, jika seorang wartawan dalam menjalankan tugasnya (peliputan) mendapat anggaran dari narasumber, independensi wartawan jadi tidak terjaga. Karena itu, kata dia, hari ini Komisi A akan memanggil Kepala Biro Humas dan Protokoler DKI.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Edi Suprapto mengaku prihatin dengan adanya alokasi anggaran itu. Ini bentuk penyuapan kepada wartawan, kata Edi. Sebab, menurut dia, Dengan adanya jatah anggaran seperti itu, pemberitaan wartawan bisa terdistorsi.
Anggaran daerah, Edi melanjutkan, seharusnya dipakai untuk fasilitas umum, seperti penanganan banjir. Lagi pula wartawan bukan pegawai pemerintah daerah. Wartawan memang bekerja atas mandat publik. Tapi, kata Edi, wartawan tidak berhak menerima jatah dari anggaran pemerintah.
Menurut Edi, penyediaan anggaran khusus untuk wartawan juga dilakukan beberapa pemerintah daerah, termasuk di daerah konflik seperti Aceh dan Papua. AJI akan mengadukan kasus-kasus serupa ke Komisi Pemberantasan Korupsi. AJI akan meminta pertimbangan komisi untuk memutuskan apakah praktek ini bisa dikategorikan korupsi. Menurut kami, praktek itu jelas tidak layak. multazam/suryani ika sari
Sumber: Koran Tempo, 22 Desember 2004