DPR Usulkan Revisi Undang-Undang Keuangan Negara
Dewan ingin bisa mengelola sendiri anggarannya.
Dewan Perwakilan Rakyat mengusulkan revisi atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Rancangan revisi itu sudah disepakati dalam sidang paripurna pada 16 Mei lalu sebagai inisiatif Dewan.
Inisiatif Dewan ini, menurut anggota Badan Legislasi DPR, Agus Purnomo, muncul untuk mewujudkan check and balance politik antarlembaga tinggi negara, yakni lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Keseimbangan itu, kata dia, pun seharusnya terlihat dalam pengelolaan anggaran.
Agus menuturkan konsep dari revisi ini adalah penguatan secara berimbang dari fungsi kekuasaan eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Kemudian pengelolaan keuangan ketiga lembaga ini dilakukan secara otonomi dan proporsional.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 menempatkan presiden, selaku kepala eksekutif, memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara. Sehingga, kata Agus, DPR dan Mahkamah Agung merasa selama ini pengelolaan anggaran negara terlalu executive heavy.
Pemerintah terlalu menentukan, kata dia kepada Tempo pekan lalu di Jakarta. Padahal perimbangan kekuatan juga dicerminkan dari anggarannya.
Agus menunjukkan betapa tidak seimbangnya pengelolaan anggaran pada tiga lembaga yang dimaksud. Pada tahun anggaran 2006, Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan kehakiman (yudikatif) hanya memperoleh Rp 1,3 triliun dari kebutuhannya sebesar Rp 6 triliun. Sedangkan DPR hanya Rp 1,1 triliun atau 0,04 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara.
Di Amerika Serikat, kata Agus, parlemen mendapat hak mengelola anggaran sendiri sekitar 1 persen dari APBN-nya. Hasilnya, parlemen Amerika memiliki posisi yang kuat dan mampu berperan optimal karena punya anggaran yang cukup. Mereka bisa mengangkat staf sendiri dan penasihat ahli, tutur dia. Sementara itu, di DPR (hal itu) jauh panggang dari api.
Selain itu, ujar dia lebih lanjut, pengelolaan anggaran di DPR dan MA dilakukan oleh sekretaris jenderal yang notabene adalah aparatur eksekutif di bawah Sekretariat Negara. Akibatnya, bermacam usul dari Dewan untuk mengelola anggaran tetap harus minta ke Sekretariat Negara, dan selanjutnya harus disetujui oleh Menteri Keuangan untuk pencairannya.
Ini sama artinya legislatif dan yudikatif tidak independen, Agus menegaskan. Tapi di bawah kendali eksekutif.
Kepala Badan Pengkajian Ekonomi Keuangan dan Kerja Sama Internasional Anggito Abimanyu mengakui adanya usul revisi Undang-Undang Keuangan Negara dari Dewan. Namun, dia enggan memberi tanggapan. Saya tidak mau berkomentar dulu, kata Anggito kepada koran ini.
Sumber Tempo mengungkapkan revisi Undang-Undang Keuangan Negara ini sensitif. Sebab, pemerintah sudah pasti tidak ingin kewenangannya dikurangi. Di sisi lain, kata dia, DPR tidak ingin inisiatif revisi ini sebagai isu besar. Dewan takut revisi ini dilihat sebagai alat untuk meningkatkan kesejahteraan anggota, ujar sumber di pemerintah ini. AGUS SUPRIYANTO
Tuntutan Dewan dalam Revisi Undang-Undang Keuangan Negara:
1. Otonomi pengelolaan anggaran lembaga yudikatif dan legislatif.
2. Komposisi anggaran untuk yudikatif dan legislatif diperbesar. Dewan meminta anggaran parlemen dinaikkan dari 0,04 persen menjadi 0,5 persen dari APBN.
3. Sekretaris Jenderal DPR tidak lagi di bawah otoritas Sekretariat Negara, tapi sebagai alat kelengkapan Dewan dan bertanggung jawab kepada pemimpin parlemen.
Sumber: Koran Tempo, 12 Juni 2006