DPR Pertanyakan Uang Pengganti Korupsi

Rp 5,317 triliun sebagai tanggungan Jampidsus.

Komisi Hukum DPR mempertanyakan uang pengganti perkara korupsi sebesar Rp 6,61 triliun yang diputuskan kejaksaan sejak 1984 sampai 1995 dengan UU Nomor 3 Tahun 1971 dan UU Nomor 31 Tahun 1999. Kami tanya kenapa bisa sampai sebesar itu, kata anggota Komisi Hukum DPR Panda Nababan di Jakarta kemarin.

Menurut Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Hendarman Supandji, uang pengganti itu terdiri atas beberapa bagian. Sebanyak Rp 1,3 triliun diserahkan ke Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara untuk gugatan perdata. Sedangkan Rp 5,317 triliun merupakan tanggungan Jampidsus yang tersebar di 18 kejaksaan tinggi di Indonesia, yang meliputi 227 putusan pengadilan.

Uang pengganti terbesar ada di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Rp 5,04 triliun. Saya sudah membuat surat edaran upaya eksekusi dan penagihannya, kata Hendarman. Jumlah ini terdiri atas 21 putusan perkara.

Menurut Hendarman, uang pengganti di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta sebanyak Rp 1,5 triliun diperoleh dari Bambang Sutrisno, terpidana kasus Bank Surya, dan Ricardo Gelael. Pembayaran kasus Bambang dilakukan oleh Sudwikatmono, pemegang saham Bank Surya, ke BPPN, yang mengeluarkan surat lunas pada 16 Februari 2004. Namun, Kejaksaan Tinggi DKI belum menerima surat tersebut.

Sedangkan uang pengganti perkara terlama, yakni putusan tahun 1984, sebesar Rp 5,72 juta, dengan terpidana Nyonya Arnawati M. Yasin. Kasus ini terjadi di Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat. Adapun perkara terakhir, yakni putusan korupsi pada 1995, sebesar Rp 300 juta, dengan terpidana Ari Lestario Kusuma Dewa di Kejaksaan Tinggi DKI.

Menurut Hendarman, ada sejumlah kendala dalam melakukan eksekusi uang pengganti. Di antaranya terpidana melarikan diri, terpidana jatuh miskin, dan kemungkinan dialihkan ke pihak ketiga. Kendala terakhir, kata dia, terjadi jika jaksanya nakal. Hendarman minta aset terpidana segera disita dan dilelang. Kalau tidak, ya, langsung hukuman badan, katanya. DIAN YULIASTUTI

Sumber: Koran tempo, 3 Oktober 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan