DPR Minta Tutut Klarifikasi Hari Ini

Dugaan adanya ketidakberesan dalam proses pembelian Tank Scorpion dari Inggris di era Orde Baru mulai dibahas Komisi I DPR. Hari ini dijadwalkan untuk mendengar kesaksian tokoh-tokoh kunci dalam pembelian alat tempur senilai 160 juta poundsterling (sekitar Rp 2,8 triliun).

Salah satu tokoh kunci yang akan dimintai keterangan adalah anak sulung mantan Presiden Soeharto, Mbak Tutut (Siti Hardijanti Rukmana). Tutut berperan sebagai konsultan dalam pembelian berbau KKN itu.

Selain itu, dua mantan KSAD, yakni Jenderal (pur) Wismoyo Arismunandar dan Jenderal (pur) Hartono juga akan hadir. Tak lupa, DPR mengundang Presiden Direktur PT Surya Kepanjen Widorini S. Sukardono alias Rini Suwondho, yang menjadi perantara dalam pembelian itu.

Wakil Ketua Komisi I DPR Effendy Choirie mengungkapkan, pihaknya sudah mengirim surat panggilan kepada Tutut cs pada Kamis pekan lalu. Dalam surat panggilan itu dilampirkan daftar pertanyaan sekitar sepuluh poin untuk setiap orang. Berdasarkan hasil pengecekannya Jumat, surat sudah diterima oleh sekretaris semua pihak yang dipanggil. Effendy tidak bisa memastikan apakah di antara Tutut, Hartono, Wismoyo, dan Rini bakal ada yang mangkir.

Kami berharap mereka datang. Supaya kasusnya jelas, keempatnya harus hadir lengkap dan tidak bisa diwakili. Kalau satu saja tidak datang, pertemuan akan ditunda dan dijadwalkan kembali, ujar Effendy kepada koran ini tadi malam. Pihak yang dua kali mangkir dari panggilan DPR akan langsung dilaporkan ke polisi.

Dalam pengadaan tank taktis itu, Tutut bertindak sebagai konsultan dalam dua tahap pembelian, yakni pada 1995 dan 1996. Tutut masuk dengan dua bendera perusahaan, Global Select dan Basque. Menurut data Alvis Vehicles Limited (produsen tank Scorpion) yang diekspos harian terkemuka Inggris The Guardian akhir tahun lalu, Tutut mendapat komisi senilai 16,5 juta poundsterling (senilai Rp 291 miliar sekarang) untuk memuluskan transaksi.

PT Surya Kepanjen menjadi agen lokal Alvis di Indonesia. Wismoyo merupakan KSAD yang meneken kontrak pertama pembelian Scorpion bernomor 002/LN/KASAD/KE/94-95/AD bertanggal 13 Januari 1995. Isinya tentang pembelian 50 unit Scorpion berbagai jenis dengan sistem kredit ekspor senilai 78.936.822 poundsterling (Rp 1,35 triliun dengan kurs Rp 17 ribu). Sedangkan Hartono adalah KSAD yang meneken kontrak kedua bernomor 001/LN/KASAD/KE/96-97/AD pada 19 Agustus 1996 dengan nilai mencapai 81.047.785 poundsterling (Rp 1,38 triliun, kurs 17 ribu).

Pembelian seratus Scorpion itu diduga keras diwarnai praktik markup. Antara lain, ditemukannya perbedaan harga antara dokumen milik Dephan dan pengakuan CEO Alvis, Nicholas Martin Prest, di dalam situsnya http://www.guardian.co.uk/armstrade. Menurut Martin Prest, pembelian tahap kedua nilainya sama dengan tahap satu, yakni sekitar 78 juta poundsterling, bukan 81 juta poundsterling. Artinya, ada selisih sekitar 3 juta poundsterling atau setara dengan Rp 51 miliar. Dokumen dari Alvis ini kemudian disebarluaskan oleh ICW (Indonesian Corruption Watch).

Menurut Effendy, Komisi I DPR juga ingin mengklarifikasi isu bahwa harga Scorpion yang dibeli Indonesia dua kali lipat dibanding tank Scorpion yang dibeli negara tetangga, seperti Singapura dan Thailand. Padahal, pembeliannya dalam rentang waktu yang berdekatan. Ini juga ada kemungkinan markup lagi. Kami perlu kejelasan, katanya.

Dia mengatakan, dari hasil rapat dengar pendapat umum (RDPU), Komisi I bisa merekomendasikan proses hukum terhadap pihak-pihak yang dianggap melakukan pelanggaran pidana atau tidak.

Bagaimana tanggapan Tutut? Dihubungi secara terpisah, pengacara Tutut, Amir Syamsuddin, membenarkan bahwa Tutut hari ini dipanggil oleh Komisi I DPR. Sebagai warga negara yang patuh, beliau akan memenuhi panggilan tersebut. Saya sudah diberi tahu beberapa hari setelah beliau menerima surat panggilan Komisi I DPR, kata Amir kepada koran ini kemarin.

Amir sendiri tidak akan mendampingi Tutut. Mengapa? Ya, dalam perundang-undangan, seseorang tidak perlu didampingi pengacara saat dipanggil DPR. Itu aktivitas politik. Berbeda jika dikaitkan dengan proses persidangan yang mutlak harus didampingi pengacara, jelas pengacara bertarif dolar ini.

Terkait materi yang akan diungkapkan Tutut di depan Komisi I DPR, Amir mengaku tidak tahu. Amir hanya tahu bahwa kliennya tidak pernah menerima komisi 16,5 juta poundsterling dari pihak penjual untuk memfasilitasi pembelian tank Scorpion tersebut.

Sementara itu, dalam waktu dekat Komisi I juga akan memanggil ICW sebagai pihak yang pertama mengekspos dugaan markup pembelian tank Scorpion di Indonesia dan mantan panglima TNI saat itu, Jenderal (pur) Feisal Tanjung. Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita pun masuk daftar panggil karena saat itu tercatat sebagai Menteri PPN/Kepala Bappenas.

Dugaan skandal dalam pembelian tank Scorpion terungkap dari berita harian The Guardian, Inggris, tentang gugatan seorang pengusaha Singapura bernama Chan U Seek kepada Alvis. Sebagai konsultas, Chan U Seek mengaku membantu memuluskan transaksi pembelian tank Scorpion dengan Indonesia. Namun, komisinya senilai enam juta poundsterling belum dibayar Alvis. (arm/agm)

Sumber: Jawa Pos, 21 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan