DPR Larang KPK Ambil Keputusan Strategis

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai mendapat serangan serius dari DPR. Sejak kehilangan nakhoda (Antasari Azhar nonaktif), lembaga superbody tersebut dianggap tidak memiliki legitimasi.

Tudingan itu dilontarkan sejumlah anggota Komisi III DPR saat mengundang empat pimpinan KPK, yakni M. Jasin, Bibit Samad Riyanto, Chandra M. Hamzah, dan Haryono Umar, di Senayan kemarin (7/5).

Awalnya, pejabat KPK diundang untuk rapat dengar pendapat pada Rabu (13/5). Tapi, karena kasus pidana yang melibatkan Antasari mencuat, panggilan tersebut dimajukan. Agendanya, para wakil rakyat tersebut mempertanyakan status Antasari sekaligus meragukan legitimasi keputusan empat pimpinan KPK itu.

Lukman Hakim Saefudin, anggota Komisi III DPR dari Partai Persatuan Pembangunan, meminta agar KPK berusaha menahan diri dalam mengambil keputusan strategis. ''Jangan mengambil keputusan prinsipiil dulu,'' ujarnya.

Pendapat serupa diungkapkan Eva Sundari dari Fraksi PDI Perjuangan. Dia merujuk pasal 21 UU KPK yang menyatakan bahwa jumlah pimpinan KPK adalah lima orang. ''Undang-undang menetapkan jumlah pimpinan lima orang itu ada latar belakangnya. Apa bisa empat orang menghasilkan keputusan? Jika terjadi deadlock bagaimana karena empat adalah genap?'' katanya.

Protes serupa muncul dari Fraksi Partai Golkar, Viktor Laiskodat. Dia meminta penjelasan detail tentang semua keputusan yang diambil sebelum dan sesudah Antasari tak terlibat dalam pengambilan keputusan di komisi.

Maiyasak Johan dari Fraksi PPP mengutarakan kritik lebih pedas terhadap lembaga yang banyak memenjarakan anggota DPR tersebut. Dia menilai KPK tidak menghormati undang-undang yang mengatur tugas dan wewenangnya. Salah satunya, dalam undang-undang tersebut tidak diatur kepemimpinan KPK yang bersifat pelaksana harian (Plh). ''KPK tidak menghormati undang-undang sendiri,'' tegasnya.

Ada juga usul agar DPR meminta fatwa dari Mahkamah Agung (MA) untuk menilai keabsahan putusan lembaga pemberantas korupsi tersebut. Yang lebih memojokkan, empat pimpinan KPK itu juga dilarang melakukan penangkapan, penyidikan, serta sejumlah tindakan lain yang menentukan nasib seseorang.

Anggota FKB Nursyahbani Katjasungkana berpendapat bahwa KPK harus memisahkan tugas-tugasnya. Di antaranya, proses pendidikan masyarakat masih boleh dilakukan. ''Saya menilai sebagian tugas KPK seperti pendidikan masih bisa dilaksanakan,'' ujarnya. Kritik bertubi-tubi kepada KPK itu juga memicu emosi sejumlah pengunjung sidang.

Saat anggota DPR melontarkan kritik, mereka menyoraki para pengkritik keabsahan keputusan empat pimpinan KPK tersebut. Buru-buru pemimpin sidang, Trimedya Panjaitan, menenangkan para pengunjung sidang. ''Saya kira ini bukan konser musik, ini sidang resmi. Jadi, harus tenang,'' tegasnya.

Angin segar terhadap kinerja KPK tersebut baru datang dari anggota Fraksi Partai Golkar yang lain, Agun Gunanjar Sudarsa. Dia mengapresiasi tindakan para pimpinan KPK tersebut menyusul mencuatnya kasus Antasari. ''Kami menilai ini tindakan yang cepat. Selanjutnya, biarkan KPK tetap bekerja,'' ungkapnya.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua KPK Chandra M. Hamzah berpendapat, dengan tidak dilibatkannya Antasari, sebenarnya pengambilan keputusan di KPK masih melibatkan lima pimpinan. ''Pak Antasari bilang sedang menghadapi persoalan hukum yang amat berat. Jadi, dia menyerahkan kepada empat orang pimpinan,'' jelasnya.

Dia menilai tidak ada persoalan atas keabsahan keputusan yang diambil. Sebab, setiap keputusan tidak pernah buntu alias deadlock. Meski mendapat sejumlah tentangan, KPK menyatakan tetap akan bekerja. ''Sebab, kami bekerja dibiayai APBN. Tidak mungkin kami berhenti,'' tegas mantan pengacara tersebut.

Wakil ketua yang lain, Bibit Samad Riyanto, menambahkan bahwa desakan untuk tak mengambil keputusan strategis mungkin bisa dilakukan. ''Misalnya, urusan dana pembangunan gedung itu bisa dilakukan. Tapi, kalau penyidikan penuntutan, itu terkait program dan bersifat operasional. Soal pendapat ini, kami siap menanggung risikonya,'' ujarnya.

Saat rapat berlangsung, Bibit juga menjelaskan bahwa empat pimpinan saat ini bertanggung jawab atas 540 pegawai. ''Kalau KPK tidak boleh apa-apa, mending kami liburkan saja,'' ungkapnya.

Setelah rapat ditunda 2,5 jam, KPK dan DPR tak merumuskan sikap apa pun. KPK tetap kukuh pada pendiriannya bahwa keputusan empat pimpinan tidak cacat hukum, sedangkan DPR juga tetap kukuh pada pendapatnya. Akhirnya, DPR berkesimpulan bahwa KPK tetap boleh melaksanakan tugas sebagaimana biasa dengan tetap mengacu pada pasal 21 UU KPK.

Di tempat terpisah, peneliti hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Diansyah menuturkan, sikap DPR tersebut sangat mungkin melemahkan kerja KPK. ''Itu bisa mengerdilkan KPK,'' tegasnya.

Sikap tersebut, lanjut dia, dinilai sudah melampaui kewenangan DPR. ''DPR bisa mengawasi, tapi tidak menentukan legitimate atau tidak,'' ungkapnya.

Febri mengakui bahwa pimpinan KPK memang lima orang. Namun, jika ada salah seorang yang diberhentikan atau dinonaktifkan, bisa ditempuh mekanisme tertentu. ''Jadi, ada proses-proses yang harus dilewati,'' jelasnya.

Sikap DPR yang melarang empat pimpinan KPK menangkap, menyidik, dan hanya melakukan pendidikan justru dikritik. ''Kalau mau konsisten, semua itu tidak boleh. Apa bedanya? Pendapat-pendapat itu justru menyesatkan,'' tegasnya. (git/fal/iro)

Sumber: Jawa Pos, 8 Mei 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan