DPR Harus Kawal Penuntasan Kasus Korupsi di Kemenlu

Pernyataan Pers
-  Waspadai Potensi Pemberian SP3 –

Indonesia Corruption Watch  pada 11 Februari 2010 lalu telah melaporkan dugaan korupsi pembayaran tiket perjalanan dinas (refund ticket) selama tahun 2009 di Kementrian Luar Negeri (Kemenlu) senilai Rp. 6,052 milliar Ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selanjutnya pada 16 Februari 2010, ICW kembali melaporkan ke KPK terkait adanya indikasi penerimaan gratifikasi para pejabat tinggi Kemenlu yang sumber dananya diduga dari uang hasil korupsi tagihan tiket.

Belakangan diketahui nilai kerugian negara dalam kasus korupsi ini ternyata lebih besar. Berdasarkan dokumen hasil pemeriksaan Inspektorat Jenderal Kemenlu pada 4 Februari 2010 diketahui selama tahun 2008-2009, total nilai pelanggaran dari pembayaran harga tiket dari mutasi pejabat Deplu yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan-undangan senilai US$ 2,194,336.28 atau equivalen dengan ± Rp 20 Miliar.

Hingga 11 februari 2010 pihak Kemenlu telah disetorkan ke Rekening kerugian Negara sejumlah Rp 9 miliar.

Kasus dugaan korupsi Kemenlu ini ditangani oleh Kejaksaan Agung dan telah menaikan status hukum kasus tersebut dari penyelidikan ke penyidikan. Pihak Kemenlu sendiri menyatakan telah memberikan sanksi administratif/ disiplin kepada para pejabat menengah yang diduga terlibat.

Namun ada beberapa catatan yang harus digarisbawahi terkait perkembangan kasus ini, pertama, Institusi Kemenlu hingga saat ini tidak transparan dalam menangani kasus dugaan korupsi yang terjadi di institusinya. Jumlah dan nama-nama pejabat yang terlibat hingga saat ini tidak pernah di publikasikan.

Kedua, Berdasarkan informasi yang ICW terima, Kemenlu telah memberikan sanksi disiplin berat sesuai PP 30 tahun 1980 kepada para pejabat level menengah selevel Kepala bagian (Kabag/ Kasubag), Kepala Biro (Kabiro). Pemberian sanksi disiplin ini diduga hanya sebagai formalitas semata dan lebih untuk melindungi para pejabat tinggi di Kemenlu yang diduga menerima gratifikasi.

Ketiga, Kemenlu akan mengirimkan pejabat yang diduga terlibat ke luar negeri dan menugaskannya sebagai Kepala Duta Besar (Kadubes). Penugasan keluar negeri para pejabat yang diduga terlibat dengan alasan apapun jelas tidak dibenarkan karena akan menghambat proses penegakan hukum baik penyelidikan dan penyidikan.

Jika pihak Kemenlu tidak melakukan upaya penundaan penempatan saksi kunci atau pihak-pihak yang diduga terlibat dalam kasus ini padahal sudah ada proses hukum yang berjalan maka pihak yang memberikan persetujuan penempatan tersebut dapat dijerat dengan tindak pidana korupsi menghalangi proses pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 2 Tahun 2001).

Dalam pasal 21 disebutkan “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”

Keempat, Peningkatan status hukum kasus ini dari penyelidikan ke penyidikan oleh Kejaksaan Agung tentu harus diapresiasi. Namun perkembangan proses hukum ini tetap harus diwaspadai mengingat Kejagung memiliki kewenangan untuk memberikan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

Kekhawatiran ini beralasan karena kasus korupsi di KBRI Thailand yang ditangani oleh Kejaksaan Agung sepertinya akan segera di SP3 meski audit investigatif BPKP telah menunjukan adanya kerugian negara merupakan salah satu bukti bahwa masyarakat tidak boleh puas atas penanganan hukum di Kejagung.

Kelima, data yang dimiliki oleh ICW juga menyebutkan adanya dugaan gratifikasi yang diterima oleh pejabat tinggi di Deplu yaitu NHW sebesar  Rp 1  miliar (pada tahun 2009) dan IC sebesar Rp 2,35 miliar (pada tahun 2008).

Para pejabat tersebut diduga memiliki dukungan politik yang besar. Sepertinya hanya KPK yang dapat menembus rintangan-rintangan tersebut. Oleh karena itu seharusnya KPK segera memanggil dan memeriksa para pejabat yang diduga terlibat menerima gratifikasi.

Berkaitan dengan persoalan-persoalan tersebut maka kami meminta Dewan Perwakilan Rakyat :

  1. memanggil Menteri Luar Negeri untuk menjelaskan secara terbuka dugaan korupsi yang terjadi di Kemenlu dan tindak lanjut dari hasil pemeriksaan yang dilakukan baik dalam hal pemberian sanksi, pengembalian kerugian negara maupun kerjasama dengan penegak hukum.
  2. melakukan evaluasi penggunaan anggaran dan memperketat pengajuan anggaran Kemenlu. Hal ini penting untuk menghindari terjadinya praktek korupsi anggaran Kemenlu dikemudian hari.
  3.  mengawasi proses hukum kasus dugaan korupsi di Kemenlu. Siapapun yang diduga terlibat harus diproses secara hukum. Penuntasan kasus ini diharapkan bisa memberikan efek jera dan sebagai langkah awal untuk pembenahan birokrasi di Kemenlu.

23 Februari 2010
Indonesia Corruption Watch

Agus Sunaryanto : 08128576873 (Koordinator Divisi Investigasi dan Publikasi)
Tama S Langkun : 0817889441(Peneliti  )

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan