DPR dan Pemberantasan Korupsi
Dalam lingkungan politik yang tidak mendukung agenda pemberantasan korupsi, mustahil korupsi bisa diatasi. Faktor politik bisa dikatakan sangat determinan dalam konteks mengatasi persoalan korupsi di negara mana pun.
Tanpa dukungan politik kuat, program pemberantasan korupsi akan menghadapi banyak hambatan karena mula-mula pemberantasan korupsi dimulai dari dukungan regulasi dan penguatan sistem antikorupsi yang memadai.
Sebaliknya, komitmen politik yang lemah mencerminkan tingginya tingkat korupsi pada level politik. Di sini masalah terasa berputar-putar karena faktor yang menentukan pemberantasan korupsi justru jatuh pada persoalan yang hendak diberantas.
Oleh karena itu, jebakan lingkaran setan kegagalan pemberantasan korupsi harus sedini mungkin dihindari. Ironisnya, wajah DPR yang 70 persen pendatang baru justru menunjukkan kecenderungan sikap politik DPR yang sangat konservatif, untuk tidak dibilang antipati terhadap pemberantasan korupsi.
Melemahkan agenda
Sikap antipati parlemen terhadap beberapa proposal reformasi regulasi yang tujuannya memperkuat agenda pemberantasan korupsi bukan hanya merefleksikan pasang surut komitmen politik wakil rakyat. Yang lebih mengkhawatirkan, adanya politisasi program antikorupsi oleh parlemen.
Bisa dikatakan, teriakan lantang anggota parlemen terhadap beberapa skandal besar, seperti Bank Century, tampak condong pada bobot kepentingan politiknya ketimbang spirit antikorupsi yang digelorakan oleh politisi Senayan. Tak heran jika sikap politik DPR terhadap agenda antikorupsi sering tidak konsisten.
Kelembagaan parlemen juga mudah jatuh pada pemanfaatan kepentingan pribadi para anggotanya, baik untuk membangun kerajaan bisnis keluarga melalui proyek-proyek titipan maupun sebagai alat untuk mempromosikan sikap loyal pribadi terhadap kekuasaan cabang lain, misalnya eksekutif. Apa yang disampaikan Ketua DPR RI Marzuki Alie kepada pers beberapa waktu lalu bahwa Aulia Pohan, besan Presiden SBY, bukanlah koruptor mencerminkan artikulasi kepentingan individual yang kental. Dengan pernyataannya, ia hendak menegaskan dukungannya terhadap keluarga besar Cikeas.
Fatalnya, pernyataan itu telah menyeret kelembagaan DPR RI dalam situasi yang bisa disebut sebagai ”penyalahgunaan” jabatan karena posisinya sebagai Ketua DPR RI. Wacana bahwa Aulia Pohan bukanlah koruptor membawa implikasi sangat serius, terutama pada konteks otonomi kekuasaan yudikatif. Bisa disebut, Ketua DPR RI telah melakukan serangan yang frontal terhadap eksistensi kekuasaan yudikatif yang memiliki hak sepenuhnya untuk menempatkan seseorang itu koruptor atau bukan.
Jika kekuasaan politik parlemen dapat menegasikan keputusan yudikatif yang independen, dampak lanjutannya adalah kekacauan pada konsep trias-politica yang kita anut. Rehabilitasi politik ala Ketua DPR RI terhadap Aulia Pohan memang kental aroma kepentingan pribadi, tetapi fenomena semacam ini tak bisa dianggap sepele karena Ketua DPR sudah membawa kelembagaan parlemen ke jalur yang kontra dengan lembaga penegak hukum korupsi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Anti terhadap reformasi
Sinyal buruk bagi agenda pemberantasan korupsi juga ditunjukkan parlemen dalam usul penguatan wewenang kelembagaan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan KPK untuk menangani kasus pencucian uang. Serangan black campaign anggota DPR terhadap rumusan revisi draf UU Pencegahan dan Pencucian Uang milik pemerintah adalah langkah awal menempatkan gagasan positif bernuansa reformis ke ide-ide yang terkesan sesat. Wacana mengenai hak impunitas, keinginan PPATK untuk dapat menyadap dan menahan seseorang adalah isu yang diembuskan sebelum draf revisi UU itu sendiri tuntas dibaca.
Selanjutnya, melalui Tim Perumus RUU Pencegahan dan Pencucian Uang yang telah menyelesaikan rapat kerja 20-22 Agustus 2010, upaya menjegal wewenang KPK dan PPATK agar dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan kembali dilakukan dengan mengembalikan wewenang itu hanya kepada Kepolisian dan Kejaksaan. Tak ada alasan yang disampaikan, tetapi manuver politik melalui tim perumus merupakan sikap yang sulit diterjemahkan dalam logika kepentingan publik.
Sebagaimana kita tahu, institusi Kepolisian dan Kejaksaan selama ini tak mampu menunjukkan kinerja dalam menangani kejahatan pencucian uang. Berdasarkan data PPATK sampai April 2010, dari 2.442 transaksi keuangan mencurigakan yang ditemukan, sekitar 1.030 (42,18 persen) berasal dari korupsi.
Sebanyak 92 persen Laporan Hasil Analisis diserahkan ke Kepolisian dan hanya 8 persen yang diserahkan ke Kejaksaan. Namun, kasus yang diproses dan diputus menggunakan UU Nomor 15 Tahun 2002 dan UU No 25/2003 tentang Pencucian Uang sangat minim. Seperti dilaporkan PPATK, hanya 26 berkas putusan yang menggunakan UU Pencucian Uang sebagai dasar penghukuman.
Sangat mungkin resistensi parlemen terhadap usulan adanya akuntabilitas silang antara Kepolisian, Kejaksaan, KPK dan PPATK sendiri karena kentalnya konflik kepentingan. Korupsi yang menggurita di parlemen akan sangat mudah dideteksi jika wewenang penyelidikan dan penyidikan kasus pencucian uang diserahkan juga ke KPK. Demikian pula, ada indikasi kuat kasus dugaan pencucian uang yang dilaporkan PPATK ke penyidik Kepolisian dan Kejaksaan selama ini justru jadi ajang mafia hukum.
Persekongkolan politik dengan penegak hukum memang sebuah labirin yang sampai hari ini masih sulit ditembus. Tak heran jika agenda pemberantasan korupsi justru sering terganjal oleh kepentingan politik.
Adnan Topan Husodo Wakil Koordinator ICW
Tulisan ini disalin dari Kompas, 1 September 2010