DPR Akan Tolak RUU Intelijen

Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin menuturkan, DPR akan menolak usulan pemerintah dalam Rancangan Undang-Undang Intelijen, yaitu agar Badan Intelijen Negara berhak menangkap dan memeriksa seseorang yang dicurigai melakukan tindak pidana tertentu tanpa disertai surat perintah dan keterangan.

”Pemerintah yang mengusulkan agar BIN punya wewenang penangkapan. DPR tidak pernah mengusulkan hal itu dan kami akan menolaknya,” kata Hasanuddin, Senin (28/3) di Jakarta.

Jika BIN mau menangkap seseorang, menurut Hasanuddin, harus berdasarkan KUHAP dan dilakukan polisi. ”Lagi pula, saat ini sudah ada UU Terorisme. Jadi, jika ingin menangkap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana terorisme, gunakan saja UU Terorisme,” tuturnya.

Dalam usulan pemerintah, BIN berwenang melakukan pencegahan dan pemeriksaan intensif terhadap orang yang diduga terkait terorisme, separatisme, spionase, subversi, dan sabotase. Pemeriksaan intensif itu dibatasi berlangsung selama 7 x 24 jam.

Tjahjo Kumolo, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, menambahkan, BIN bukan lembaga yang punya pasukan. ”Mengambil orang yang dicurigai dari suatu tempat tanpa surat perintah, tanpa diberi tahu tempat dan materi interogasi, tanpa pengacara, dan tanpa diberitahukan kepada keluarganya, apa bedanya langkah itu dengan penculikan meski hanya dilakukan 7 X 24 jam?” ujar Tjahjo seraya menyebutkan PDI-P menolak usulan BIN punya wewenang menangkap seseorang.

Direktur Program Imparsial Al Araf berharap parlemen tak buru-buru mengesahkan RUU Intelijen. ”Harus dibuka ruang seluas mungkin bagi masukan masyarakat sesuai UU No 10/2004 tentang Pembentukan Tata Peraturan Perundangan. RUU Intelijen banyak bertabrakan dengan undang-undang lain, khususnya KUHAP,” tutur Al Araf.

Menurut Deputi Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Zainal Abidin, untuk memastikan tak ada lagi pelanggaran oleh aparat dan institusi intelijen seperti terjadi pada masa lalu, pembahasan RUU Intelijen seharusnya mengakomodasi upaya audit terhadap kerja-kerja intelijen pada masa lampau. RUU Intelijen masih menyimpan potensi pelanggaran hak asasi.

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform, Anggara Suwahju, menyatakan, kontroversi soal kewenangan penyadapan juga muncul karena RUU Intelijen tak mengatur mekanisme pengaduan bagi individu yang privasinya dilanggar oleh kerja-kerja lembaga intelijen. ”Mekanisme komplain ini bisa dilakukan melalui lembaga pengadilan, ombudsman atau Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,” katanya.

RUU Intelijen, kata Dosen Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia, Bambang Widodo Umar, tidak sesuai dengan prinsip-prinsip negara demokratik. Dengan definisi sebagai lembaga pemerintah, intelijen jadi alat penguasa yang bisa digunakan memata-matai rakyat atau musuh politik. Direktur Eksekutif Institute for Defense Security and Peace Studies Mufti Makarim melihat RUU Intelijen seharusnya berada dalam arus reformasi intelijen. (NWO/ONG/BIL/EDN)

Sumber: Kompas, 29 Maret 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan