Dokumen Washington Bisa Jadi Bukti Baru
Ini peluang emas bagi Jaksa Agung.
Ketua Transparency International Indonesia Todung Mulya Lubis kemarin menyatakan dokumen Washington bisa digunakan sebagai bukti tambahan dalam pengusutan kasus dugaan korupsi bekas presiden Soeharto.
Ini peluang emas bagi Jaksa Agung dalam melengkapi penyidikan kasus korupsi di Indonesia, ujar Todung.
Dokumen rahasia dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dan Gedung Putih itu dirilis oleh National Security Archive, lembaga penelitian di Universitas George Washington, Selasa lalu. Isinya tentang bagaimana hubungan Washington dengan Soeharto selama 1966-1998.
Dokumen itu mengungkapkan antara lain soal keterlibatan istri Soeharto, Siti Hartinah, dan beberapa jenderal di berbagai perusahaan serta upaya mereka memanipulasi kebijakan publik demi keuntungan pribadi.
Soeharto disebut pernah campur tangan dalam konsesi penebangan kayu di Kalimantan. Berkat Soeharto, tiga perusahaan milik Keluarga Cendana dan kroninya mengambil alih konsesi hutan di Kalimantan, padahal perusahaan Amerika Serikat, International Paper Company, hampir menandatangani konsesi. (Memo 10 Agustus 1973 dari Carleton C. Brower kepada Duta Besar Amerika Serikat di Indonesia.)
Bogasari Flour Mills, tempat Keluarga Cendana memiliki kepentingan finansial, dikutip sebagai contoh keterlibatan bisnis keluarga Soeharto yang disebut tidak ragu membelokkan kebijakan publik untuk keuntungan sendiri. (Memo dari kedutaan di Jakarta kepada Departemen Luar Negeri Amerika di Washington, 14 Desember 1972.)
Dokumen Washington menyebutkan perusahaan Amerika, Wayerhaeuser, pemegang konsesi hutan di Kalimantan, tekor akibat banyaknya pajak untuk para pejabat militer dan sipil. Padahal Wayerhaeuser sudah memberi 35 persen saham untuk perusahaan milik militer. (Memo pejabat Gedung Putih, 5 Desember 1972, dari David H. Gunning kepada Peter M. Flanigan.)
Disebutkan pula bahwa Kedutaan Besar Amerika di Jakarta pada 14 Desember 1972 mengirim memo ke Departemen Luar Negeri yang isinya cemas akan korupsi di Indonesia dan mengusulkan agar IGGI menegur Soeharto karena seorang jenderal di Departemen Perdagangan meminta jatah US$ 10 untuk setiap ton dari 50 ribu ton impor pupuk dari Jepang. Seorang jenderal di Bulog meminta jatah US$ 50 untuk setiap ton beras yang terjual dan US$ 2,75 dari setiap ton beras yang diimpor.
Juan Felix Tampubolon, pengacara keluarga Soeharto, mengaku belum mengetahui adanya dokumen tersebut. Dari dulu hal seperti sudah ada. Semuanya sampah. Apalagi orangnya (Soeharto) sudah tidak ada, katanya.
Dokumen semacam itu, kata Juan Felix, belum pasti benar. Kalau data tidak konkret dikomentari, kita jadi badut, katanya.
Todung mengakui bahwa dokumen tersebut masih bisa dipertanyakan keabsahan dan keakuratannya. Tapi tetap saja ia bisa digunakan sebagai bahan penyidikan lebih lanjut, ujarnya.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman enggan berkomentar soal dokumen Washington tersebut. Menurut dia, terhadap setiap laporan dugaan korupsi Soeharto dan kroni-kroninya perlu dilampirkan bukti yang jelas. Kemungkinan (pengusutan) ada saja, tergantung jika memang ada bukti, katanya. IWANK | REH ATEMALEM SUSANTI | SANDY INDRA PRATAMA
Sumber: Koran Tempo, 31 Januari 2008