Djoko Tjandra dan Syahril Sabirin Bisa Mohon Pembatalan Putusan PK
DJOKO Tjandra dan Syahril Sabirin, dua terpidana yang menjadi korban Peninjauan Kembali (PK) jaksa dapat mengajukan permohonan pembatalan putusan PK tersebut. Mereka juga dapat mengajukan PK terhadap PK jaksa itu. Demikian disampaikan mantan hakim agung Prof Laica Marzuki saat diskusi bertemakan Kontroversi Pengajuan PK Kedua di Jakarta, Rabu (1/7).
Menurut Laica, permohonan pembatalan putusan PK menjadi satu langkah yang dapat ditempuh oleh terpidana. "Bagi saya, terbuka kemungkinan itu. Dan, Mahkamah Agung (MA) setelah menyadari ini harus berjiwa besar dan membatalkan putusan," ujarnya.
Laica mengakui, permohonan pembatalan tersebut memang tak ada dalam ranah hukum kita. "Tapi putusan PK itu harus diterobos. Ini soal moral justice, karena soal hukum formalnya sudah selesai."
Di saat bersamaan, kata dia, korban terpidana PK jaksa dapat mengajukan PK terhadap PK jaksa itu. Laica menegaskan, tak ada larangan bagi mereka untuk mengajukan PK. Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 10/2009 bukanlah bagian dari peraturan perundang-undangan.
"Tak ada larangan kecuali SEMA itu. SEMA 10/2009 itu hanya peraturan kebijakan dan tak mengikat. SEMA tak boleh memberi kekuatan hukum normatif," kata mantan wakil hakim konstitusi itu.
Menurut Laica, putusan PK jaksa dalam kasus Muchtar Pakpahan, Djoko Tjandra, dan Syahril Sabirin dapat dipandang sebagai suatu kekeliruan peradilan atau rechterlijke dwaling.
Menurut dia, PK memang diajukan atas putusan kasasi. Tapi, tanya dia, apa yang dapat diperbuat kalau sudah ada PK yang diajukan jaksa, sebuah PK yang dinilainya keliru dan melanggar ketentuan KUHAP. "Solusinya, PK terhadap PK," ujar Laica.
Senada dengan Laica, pakar hukum pidana UI DR Rudy Satriyo Mukantardjo mengatakan, kasus PK oleh jaksa adalah tindakan hukum yang keliru. "Harusnya, PK diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya," kata dia.
Menurut dia, alasan kejaksaan yang mendalihkan pengajuan PK oleh jaksa pada ketentuan UU 4/2004 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman tak dapat dibenarkan. "Penegakan hukum dalam konteks ini yang harus dijadikan pegangan adalah KUHAP," kata Rudy.[by : Abdul Razak]
Sumber Jurnal Nasional, 2 Juli 2009