Diskresi atau Korupsi

Presiden mewanti-wanti agar penegak hukum tidak mengkriminalisasi diskresi yang diambil oleh pejabat pemerintah, khususnya pemerintah daerah.

Ini merupakan pernyataan yang kesekian kalinya disampaikan oleh Presiden. Sebelumnya, Presiden bahkan merencanakan membuat aturan anti kriminalisasi pejabat pemerintah. Sikap Presiden tersebut merupakan respons atas curhatan para kepala daerah dan pejabat pemerintah yang takut mengambil keputusan lantaran khawatir akan diperkarakan. Hal itu mengingat hingga saat ini sudah ratusan kepala daerah terjerat korupsi dan ada ribuan aparatur yang diproses tindak pidana korupsi. Apakah benar diskresi dikriminalisasi?

Sebelumnya, mari kita cermati modus korupsi di daerah.  Ada beberapa jenis kasus yang sering terjadi di daerah. Mulai dari pengadaan barang dan jasa, pengelolaan aset, pengelolaan anggaran, perizinan, pelayanan publik, hingga perjalanan dinas. Semua itu wilayah yang rentan korupsi. Korupsi di bidang pengadaan proyek-proyek pembangunan yang dibiayai APBN atau APBD mendominasi temuan perkara di daerah. Ada bermacam-macam modus yang digunakan dalam korupsi sektor ini.

Modus paling sering adalah persekongkolan antara birokrasi dan pihak ketiga yang sudah terjadi sejak tahap perencanaan yang berujung pada suap kepada pejabat tertentu. Sering juga melibatkan politisi di legislatif. Kemudian, rekayasa dokumen pengadaan dan mark up harga. Selanjutnya, kesalahan prosedur pelaksanaan pengadaan.

Keuntungan bagi pejabat biasanya didapat dengan jalan suap, gratifikasi, kick back, mark up, dan rekayasa harga. Di sektor lain, korupsi biasanya didahului penyalahgunaan wewenang dengan melanggar aturan hukum. Atau boleh jadi tak ada pelanggaran hukum atau penyalahgunaan wewenang, tetapi karena menerima suap atau gratifikasi, maka diproses hukum.  Itulah pola korupsi yang secara umum terjadi di birokrasi, khususnya di pemerintahan daerah. Terlihat tingkat kepatuhan aparatur pada aturan hukum dan prosedur administrasi dalam menjalankan kewenangan sangat rendah. Terkadang korupsi terjadi bukan karena kebijakan yang diambil, melainkan semata karena menerima suap atau gratifikasi dalam menjalankan tugas dan kewenangan.

Penyalahgunaan diskresi

Diskresi merupakan prinsip mendasar yang dimiliki oleh aparatur pemerintah dalam mengelola pemerintahan. Asas ini memberikan legitimasi atas kebijakan yang diambil oleh pemerintah demi kepentingan umum. Berdasarkan prinsip ini, seorang pejabat tidak dapat dipidana selama mengikuti rambu-rambu penggunaan diskresi.

Sejatinya diskresi merupakan kekuasaan yang bebas dan dapat digunakan untuk mengatasi masalah tertentu. Namun, saat ini ruang diskresi sudah kian sempit. Hampir semua urusan pemerintahan telah diatur oleh regulasi dan aturan teknis yang rigid. Bahkan, penggunaan diskresi pun telah diatur secara tertulis dalam UU Administrasi Pemerintahan. Penggunaan diskresi pun ada prosedurnya, sesuatu yang sebenarnya menyalahi konsep diskresi itu sendiri.

Dalam praktik pemerintahan, penggunaan diskresi seharusnya tidak perlu dikhawatirkan oleh pejabat pemerintah. Selain sebagai asas dalam menjalankan fungsi pemerintahan, diskresi juga telah memiliki landasan hukum yang kuat berdasarkan UU Administrasi Pemerintahan. Yang menjadi persoalan adalah penyalahgunaan diskresi (discretional corruption). Penyalahgunaan itu terjadi karena pemahaman yang keliru atas diskresi atau adanya niat jahat untuk memperoleh keuntungan tertentu.

Ada banyak salah kaprah tentang diskresi. Diskresi kerap kali dijadikan alasan untuk melanggar prosedur hukum. Misalnya dalam hal pengadaan barang dan jasa. Ketika pejabat pengadaan melakukan penunjukan langsung dengan alasan diskresi pejabat yang bersangkutan, padahal mekanisme itu tidak boleh dilakukan karena tidak memenuhi syarat menurut aturan pengadaan. Ini jelas bukan diskresi, tetapi penyalahgunaan diskresi. 

Yang juga harus dipahami, dalam hal pengadaan barang dan jasa, pengelolaan anggaran dan aset, ruang diskresi sebenarnya sudah sangat terbatas. Sebab, hal tersebut telah diatur dalam regulasi tersendiri berikut dengan aturan-aturan teknisnya.

Hampir setiap tahun Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri memproduksi aturan teknis yang menjelaskan bagaimana kewenangan itu dijalankan. Walaupun terkadang aturan-aturan yang diterbitkan pemerintah pusat inilah pangkal masalahnya. Jadi, masalahnya bukan pada diskresi, melainkan pada penyalahgunaan diskresi yang berujung pada korupsi.

Pembenahan birokrasi

Melihat modus korupsi birokrasi dan penyalahgunaan diskresi yang sering terjadi, maka pemerintah harus mempercepat proses pembenahan birokrasi.  Kekuasaan diskresi yang besar tanpa tata kelola pemerintahan yang baik hanya akan melahirkan praktik korupsi yang masif.

Presiden tidak boleh menutup mata atas kebobrokan birokrasi di daerah bahwa masih banyak yang mencoba menyalahgunakan jabatan demi keuntungan tertentu. Jangan sampai diskresi digunakan untuk bersembunyi di balik rencana jahat untuk menggarong uang negara dan melakukan sesuatu yang terkesan legal-formal tetapi dilakukan karena ada motif keuntungan pribadi, kelompok, atau kroni-kroninya. Pada saat yang sama, Presiden punya PR besar untuk mempercepat reformasi di tubuh kepolisian dan kejaksaan.

OCE MADRIL

DOSEN FAKULTAS HUKUM UGM, PENELITI PUSAT KAJIAN ANTI KORUPSI UGM

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Agustus 2016, di halaman 6 dengan judul "Diskresi atau Korupsi".

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan