Diskon Hukuman bagi Koruptor

Polemik Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan terus bergulir. 

Kementerian Hukum dan HAM bersikeras melonggarkan syarat pemberian remisi bagi narapidana kasus korupsi. Upaya pelonggaran pemberian remisi dilakukan mengingat ada persoalan over crowded (kelebihan kapasitas)di lembaga pemasyarakatan (lapas). Jika mengacu pada data yang tersaji dalam Sistem Database Pemasyarakatan, dapat dilihat bahwa per Juli 2016 total tahanan dan narapidana di lapas berjumlah 198.815 orang. Jumlah ini melebihi kapasitas normalnya yang hanya mampu menampung 118.969 orang. 

Dengan jumlah itu, persentase over crowded lapas telah mencapai angka 167%. Pelonggaran pemberian remisi bagi narapidana kasus korupsi merupakan isu yang paling krusial dalam pembahasan RPP. RPP mencoba mengubah arah kebijakan pemerintah yang semula memperketat pemberian remisi bagi narapidana kasus kejahatan luar biasa menjadi kebijakan yang memperlonggar pemberian remisi. 

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99/2012, pemberian remisi bagi narapidana korupsi, narkoba, terorisme, dan kejahatan terhadap keamanan negara tidak dihilangkan, melainkan diperketat. Ada sejumlah syarat yang mesti dipenuhi narapidana guna mendapatkan diskon hukuman. 

Syarat tersebut di antaranya, yang bersangkutan haruslah merupakan justice collaborator atau pelaku yang bekerja sama, membayar denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan, serta telah mengikuti program deradikalisasi bagi narapidana kasus terorisme. Penting untuk diingat bahwa syarat pemberian remisi yang diatur dalam PP Nomor 99/2012 merupakan bagian kebijakan pemerintah yang berupaya memperberat hukuman bagi pelaku kejahatan luar biasa khususnya kasus korupsi. 

Hal ini senada dengan harapan publik yang menginginkan ada hukuman yang beratbagi pelakukorupsi. Namun, seiring perkembangannya, revisi PP Nomor 99/2012 mencoba mengubah arah kebijakan pemerintah yang dahulu memperberat hukuman menjadi memberikan keringanan bagi narapidana kasus korupsi. 

Hilangnya Justice Collaborator 

Keringanan bagi narapidana korupsi terlihat dari upaya menghilangkan status justice collaborator (JC) sebagai syarat pemberian remisi yang diatur dalam PP Nomor 99/2012. Dengan begitu, narapidana kasus korupsi dapat dengan mudah mendapatkan remisi dengan syarat berkelakuan baik dan telah menjalani masa hukuman. 

Penghilangan syarat JC sebagai bagian dari kebijakan pengurangan kapasitas lapas merupakan usulan yang tak memiliki basis argumentasi yang jelas. Keterkaitan antara remisi dan over crowded pada prinsipnya tidak linear. Namun, pemerintah cenderung mengaitkan penghapusan kebijakan pengetatan remisi dengan problem kepadatan lapas. 

Secara sederhana, pemberian remisi yang dipermudah akan memberikan dampak positif dengan berkurangnya jumlah narapidana di lapas. Pada prinsipnya penanganan kasus korupsi haruslah dilakukan secara paripurna. Semua aktor yang terlibat haruslah diproses secara hukum dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Namun, pada praktiknya, upaya membongkar kasus korupsi yang bersifat kompleks dan rumit dalam pembuktian seringkali terganjal banyak hambatan. 

Karena itu, keberadaan JC menjadi penting sebagai salah satu pintu masuk membongkar kasus korupsi dan menjerat seluruh aktor yang terlibat. Selain itu, dalam konteks pemidanaan, kejahatan korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa juga harus dihukum dengan hukuman yang berat. Remisi yang notabene adalah upaya mengurangi hukuman narapidana jelas tidak sejalan dengan semangat pemberatan pidana bagi pelaku korupsi. 

Karena itu, pengetatan remisi bagi narapidana korupsi menjadi sesuatu yang logis dilakukan. Pengetatan tersebut dikecualikan bagi narapidana yang mau bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar kasus korupsi lebih luas. 

Salah Sasaran 

Konstruksi kebijakan pelonggaran remisi bagi narapidana kasus korupsi yang coba dibangun dalam RPP bisa dinilai sebagai kebijakan salah sasaran. Hal ini dapat dinilai dari dua alasan utama. Pertama, Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam hasil pemantauan vonis pengadilan tipikor 2016 menunjukkan ada tren penjatuhan hukuman ringan bagi narapidana korupsi. 

Setidaknya terdapat 1.708 terdakwa yang diadili oleh pengadilan tipikor sejak Januari 2013 hingga Juli 2016. Dari total itu, ada 1.281 terdakwa yang dihukum ringan (1 tahun-4 tahun) dan 632 di antaranya hanya dihukum 12 bulan hingga 18 bulan penjara. Secara sederhana hukuman rendah bagi narapidana kasus korupsi tidak signifikan menciptakan gap yang tinggi antara masuknya narapidana korupsi dan jumlah narapidana korupsi yang keluar lapas setelah menyelesaikan masa hukuman. 

Artinya, jumlah narapidana yang masuk dan keluar masih dianggap berimbang sehingga tidak secara signifikan menyumbang angka over crowdedlapas. Kedua, jumlah narapidana korupsi hanya berkisar 2-3% dari total narapidana di seluruh Indonesia. Menurut data pemasyarakatan hingga Juli 2016, total narapidana kasus korupsi hanya berjumlah 3.632 narapidana. 

Angka ini sangat keciljika dibandingkan dengan total jumlah narapidana kasus narkoba yang mencapai angka 62.807 orang. Jumlah ini menjadi yang paling besar dibandingkan narapidana kejahatan lain. Karena itu, memberikan pelonggaran remisi pada kenyataannya tidak akan secara signifikan mengurangi persoalan kepadatan lapas. 

Pengetatan pemberian remisi dalam hal ini tidak menghapuskan hak mendapatkan pengurangan hukuman bagi narapidana korupsi. Pengetatan merupakan konsekuensi logis ada perbedaan karakter jenis kejahatan yang dilakukan narapidana, perbedaan sifat berbahayanya kejahatan yang dilakukan dan akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang dilakukan oleh masingmasing narapidana.

Karena itu, rumusan pasal dalam revisi PP Nomor 99/2012 haruslah mengecualikan pelonggaran pemberian remisi bagi narapidana kasus korupsi. Selain jumlahnya yang tak signifikan dalam mengurangi persoalan over crowded lapas, keberadaan status JC masih diperlukan untuk membongkar kasus korupsi. 

Tanpa status JC sebagai syarat pemberian remisi, dikhawatirkan tak ada lagi pelaku yang mau bekerja sama dalam membongkar kasus korupsi dan menjerat aktor-aktor lain. 
 

Aradila Caesar Ifmani Idris, Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch 
 
Artikel ini terbit di media Sindo edisi 27 Agustus 2016, dengan judul "Diskon Hukuman bagi Koruptor".

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan