Disertasi Artidjo: Sistem Penegakan Hukum Masih Terkesan Feodalis
Sistem penegakan hukum Indonesia perlu ditinjau ulang karena belum banyak berarti mengatasi dan menjerat pelaku korupsi. Hal ini disebabkan sistem penegakan itu masih berasas oportunistis dan terkesan feodalis.
Asas oportunistis ini salah satunya terjabarkan dalam diri seorang jaksa agung yang notabene adalah penegak hukum. Ia bisa mendeponir atau boleh tidak menuntut satu perkara atas pertimbangan tertentu, kata Artidjo Alkostar, Hakim Agung RI, dalam jumpa pers berkaitan dengan disertasinya yang berjudul Korelasi Korupsi Politik dengan Hukum dan Pemerintahan di Negara Modern, Selasa (10/4).
Konsekuensi atas penerapan asas itu adalah munculnya fenomena tebang pilih. Seorang jaksa bisa memilih siapa yang akan dituntut atau yang tidak akan dituntut. Tidak heran jika banyak warga masyarakat menilai pemberantasan korupsi di Indonesia masih kurang adil dan merata, satu dituntut dan diadili, tetapi yang satu lagi dibiarkan saja seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Artidjo mengemukakan halangan lain tidak atau sulit terjeratnya para koruptor adalah masih dipraktikkannya feodalisasi hukum, yaitu menindak seorang pejabat tinggi harus izin presiden terlebih dahulu. Praktik ini sudah dilakukan sejak zaman Hindia Belanda berkuasa di Indonesia, menghukum seseorang harus izin gubernur jenderal. Praktik seperti ini membuat proses hukum semakin berlarut-larut. Penindakan terhadap para koruptor juga terkesan setengah hati, ujarnya.
Hakim agung yang pernah menangani perkara mantan Presiden Soeharto ini menegaskan, seharusnya penindakan para koruptor di kalangan pejabat tinggi tidak perlu meminta izin presiden. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27, yaitu segala warga negara berkedudukan sama di dalam hukum dan pemerintahan.
Untuk itu, Artidjo mengusulkan agar sistem penegakan hukum yang berasas oportunistis dan terkesan feodalis itu ditinjau ulang. Ia mengusulkan agar asas oportunistis diganti dengan asas legalis dengan belajar dari Jerman. (AB4)
Sumber: Kompas, 11 April 2007