Diselewengkan, Pengadaan Buku Wajib

Berbagai bentuk penyimpangan dalam pengadaan buku pelajaran, baik untuk tingkat sekolah dasar maupun sekolah lanjutan tingkat atas, masih terus berlangsung di lapangan. Penyimpangan dalam pengadaan buku pelajaran wajib bahkan dilakukan sejak proses pembuatan kebijakan di tingkat kepala daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Akibatnya, kualitas buku menurun dan tidak sesuai dengan kurikulum dan kebutuhan guru di kelas. Ujung-ujungnya, orangtua murid harus menanggung beban tambahan membeli buku yang tidak seharusnya.

Penyimpangan itu ditemukan dalam pemantauan yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) di empat daerah tingkat II di Pulau Jawa, yakni Garut, Batang, Semarang, dan Sleman.

Aktivis ICW, Ade Irawan, saat memaparkan hasil pemantauannya di Jakarta, Rabu (16/2), mendesak agar peraturan pengadaan buku pelajaran yang akan dikeluarkan pemerintah dengan tegas melarang dinas ikut campur dalam penentuan judul-judul buku pelajaran dan mewajibkan transparansi dalam pengadaan buku wajib. Peraturan presiden yang mengatur pengadaan buku pelajaran juga mesti menegaskan bahwa otoritas penentuan buku pelajaran berada di tangan guru dengan mengacu buku yang telah lolos seleksi standar mutu yang dilakukan Departemen Pendidikan Nasional.

Untuk mencegah korupsi di sekolah, perlu ditegaskan pula larangan penjualan buku di sekolah.

Mengacu standardisasi
Menanggapi temuan itu, Kepala Pusat Perbukuan Sugijanto mengemukakan, Pusat Perbukuan saat ini telah selesai menyeleksi buku-buku yang lolos standar mutu sampai untuk sekolah dasar. Semestinya daerah mengacu pada standardisasi itu. Sugijanto mengemukakan kesulitan untuk menindak daerah yang melakukan penyimpangan dalam pengadaan buku wajib karena saat ini kewenangan pengadaan buku wajib ada di daerah.

Menurut temuan ICW, di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, penyimpangan dilakukan sejak proses pembuatan kebijakan. Pada tahun 2003, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Bupati Batang mengeluarkan keputusan yang melegalkan penunjukan langsung proyek pengadaan buku senilai Rp 7,3 miliar kepada PT Balai Pustaka tanpa melalui proses tender. Kasus serupa terjadi di Sleman. Balai Pustaka sebagai penerbit memberikan pinjaman dengan nama pinjaman investasi, yang memungkinkan daerah bersangkutan membayar secara angsuran.

Di Semarang, pengadaan buku diserahkan kepada daerah dengan harga yang ditawarkan penerbit meski harga tersebut di atas harga pasar.

ICW juga menemukan praktik suap dengan pemberian rabat yang tidak dikembalikan pada kas daerah. Di beberapa daerah, pemerintah daerah memesan buku yang tidak masuk dalam daftar buku dan penerbit yang lolos seleksi standar kualitas yang dilakukan Departemen Pendidikan Nasional.

Praktik mark up juga ditemukan dengan cara menaikkan harga maupun menurunkan kualitas buku dengan mengganti kertas, memadatkan materi, atau mengurangi jumlah halaman.

Ade mendesak agar pemerintah memberikan sanksi yang tegas kepada semua pihak yang terlibat dalam praktik korupsi dalam pengadaan buku pelajaran, baik kepada kepala daerah, anggota DPRD, maupun penerbit. (wis)

Sumber: Kompas, 17 Februari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan