Direktur PLN Datangi Kejagung; Serahkan Dokumen Bonus Rp 4,3 Miliar

Direktur Keuangan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Parno Isworo kemarin mendatangi Gedung Bundar Kompleks Kejagung untuk menyerahkan sejumlah dokumen terkait dugaan korupsi pembagian bonus (tantiem) pejabat PLN senilai Rp 4,3 miliar.

Parno yang tiba sekitar pukul 12.00 kemarin itu menemui sejumlah tim penyidik yang dikoordinasikan Patuan SH. Wartawan yang biasa ngepos di Gedung Bundar memergokinya kendati tak sempat mewawancarai.

Parno yang dikonfirmasi tadi malam mengakui bahwa dirinya menemui tim penyidik untuk menyerahkan sejumlah alat bukti. Saya nggak mau komentar. Biar penyidik saja yang memberikan informasi, kata Parno.

Seperti diketahui, tim penyidik Kejagung sedang menyiapkan penetapan tersangka kasus korupsi pembagian bonus Rp 4,3 miliar. Sebelumnya, penyidik telah memanggil saksi Dirut PLN Eddie Widiono dan Deputi Bidang Usaha Pertambangan Industri Strategis, Energi, dan Telekomunikasi Roes Ariawijaya.

Jajaran manajemen PT PLN dan penyidik sejauh ini berbeda pendapat terkait definisi bonus. Pejabat PLN berencana mengembalikan bonus ratusan juta rupiah di tengah proses penyidikan.

JAM Pidsus Hendarman Supandji menegaskan, pengembalian bonus itu tidak akan menghilangkan unsur pidana sesuai pasal 4 UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Penyidik menyatakan bahwa hal itu merupakan bonus dan proses pembagiannya melanggar perundang-undangan. Sebab, hal tersebut baru bisa dilakukan jika PLN sudah menangguk keuntungan. Padahal, selama tahun buku 2003, PLN merugi Rp 3,55 triliun.

Kendati diputuskan pada RUPS pada 25 Juni 2005, pembagian bonus dilaksanakan September 2004. Rinciannya, Dirut PT PLN Eddie Widiono mencapai Rp 579,45 juta, direksi lainnya masing-masing Rp 423,72 juta, pejabat direktur keuangan memperoleh Rp 521,51 juta. Komisaris Utama memperoleh Rp 213,43 juta, sedangkan anggota komisaris memperoleh Rp 208,6 juta.

Sementara itu, JAM Pidsus Hendarman Supandji membenarkan bahwa Parno kemarin menyerahkan segepok dokumen berisi alat bukti dugaan korupsi pembagian tantiem. Ya, katanya tadi ada yang menyerahkan laporan, tetapi saya belum lihat. Itu urusan penyidik dan wewenang tim penyidik, jelas Hendarman ketika dihubungi tadi malam.

Hendarman sendiri mengaku prihatin atas lambannya proses penyidikan kasus korupsi pembagian tantiem itu. Penyidik mulai menangani kasus tersebut sejak Desember 2004, tetapi hingga kemarin belum ditetapkan tersangkanya. Saya tidak tahu di mana letak (penyebab lambannya penyidikan). Saya menginstrusikan secepatnya kasus ini diselesaikan. Juga kasus-kasus lain yang sempat mengendap lama karena ada permasalahan, misalnya, penyidiknya tidak aktif lagi, tegas ketua Timtastipikor itu.

Dijelaskan, tim penyidik telah diperintahkan untuk membuat laporan pengembangan penyidik yang kemudian akan diserahkan kepada JAM Pidsus. Hendarman sendiri belum bisa menyimpulkan siapa calon tersangkanya kendati telah membaca berita acara pendapat (legal opinion) dari tim penyidik.

Kredit Macet PT Lativi
Sementara itu, Kejagung kemarin juga kedatangan tamu dari tim pengacara dan Wakil Dirut PT Lativi Media Karya (LMK) Harun Kussuwardhono. Mereka datang juga untuk menyerahkan dokumen terkait kasus kredit macet Bank Mandiri Rp 1,3 triliun. Pengacara LMK yang hadir adalah Nengah Sudjana dan Ari Yusuf Amir.

Wartawan yang ngepos di Gedung Bundar justru banyak menanyai mengapa Dirut PT LMK Hasyim Sumiana sebagai tersangka tunggal dalam kasus tersebut.

Pengacara LMK, Ari Yusuf Amir, menjelaskan, kliennya (Hasyim Sumiana) mengaku tidak tahu alasan kejaksaan menetapkannya sebagai tersangka. Pada tahun 2001, waktu akad kredit, Pak Hasyim belum sebagai dirut, tetapi hanya komisaris. Jadi, secara teknis, beliau tidak banyak mengetahui karena beliau hanya komisaris biasa, ungkap Ari Yusuf Amir seusai menemui tim penyidik yang dikoordinasikan I Ketut Murtika.

Sebagai komisaris, lanjut Ari, tugas Hasyim hanya mengawasi setiap keputusan dan kebijakan yang dilakukan manajemen. Menurut Ari, dalam UU Persero, jika perusahaan mengalami persoalan, maka yang bertanggung jawab adalah direksi.

Tetapi, lanjut Ari Yusuf, yang dihadapi PT Lativi hanya persoalan perbankan dan tidak ada unsur pidananya. Itulah kami akan menunjukkan bukti-bukti, fakta bahwa indikasi dugaan pidana tidak ada dalam kasus ini, katanya. Apalagi, katanya, penggunaan kredit senilai Rp 328 miliar itu sudah sesuai dengan akad kredit. Misalnya, untuk pembangunan gedung, penggunaan sewa satelit, transmisi, studio, dan segala macam yang berkaitan dengan akad kredit dengan Bank Mandiri.

Seperti diketahui, penyidik menetapkan Hasyim Sumiana sebagai tersangka tunggal dalam kasus kredit macet Bank Mandiri senilai Rp 328 miliar yang diajukan PT Lativi. Salah satu alasan adalah PT Lativi dinilai menyalahi prosedur dalam mengajukan permohonan kredit dengan tidak menyediakan neraca pembuka sehingga manajemen Bank Mandiri sulit menganalisis kelayakan permohonan kredit yang diminta salah satu anak perusahaan Grup A Latief itu. (agm)

Sumber: Jawa Pos, 11 Juni 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan