Diredupkan Kegagalan Eksekusi Sudjiono Timan

Upaya pemberantasan korupsi yang baru memancarkan sinar temaram di republik ini, pada Selasa (7/12), tiba-tiba gelap kembali. Itu terjadi ketika pihak kejaksaan tidak bisa mengeksekusi Sudjiono Timan yang divonis 15 tahun penjara karena kasus korupsi Rp 369 miliar. Mantan direktur utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia itu tidak berada di alamat seperti yang tertera dalam berkas perkara alias kabur. Kaburnya Sudjiono yang merupakan salah satu tersangka/terdakwa kasus korupsi BLBI yang merugikan uang negara Rp 166 triliun merupakan bukti tidak seriusnya penegak hukum dalam memberantas korupsi.

Tidak salah jika banyak pihak yang masih gamang melihat penegakan hukum di Indonesia. Kalaupun banyak terungkap kasus-kasus korupsi di daerah, misalnya di Aceh, Banten, itu bisa dianggap sekadar memenuhi target agenda seratus hari Kabinet Indonesia Bersatu (KIB).

Gebrakan-gebrakan terhadap koruptor kecil, selama ini, dapat kita nilai bukan bagian dari shock therapy. Seharusnya, yang perlu dilakukan pemerintah adalah bagaimana membangun jalan masuk ke penanganan korupsi-korupsi besar, baik yang terjadi di masa lalu yang kini makin menggurita itu. Tegasnya, bukti keseriusan pemerintah untuk mengungkap kasus-kasus korupsi besar yang merugikan keuangan negara hingga triliunan rupiah harus diusut tuntas. Bahkan, kalau bisa, mereka harus mengembalikan uang negara yang dikorup itu agar bisa dimanfaatkan rakyat Indonesia.
***
Sebagaimana diketahui, Presiden Susilo B. Yudhoyono (SBY) mencanangkan Hari Antikorupsi pada 9 Desember 2004. Lebih dari itu, untuk mempercepat pemberantasan korupsi, SBY kemudian mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 5/2004 pada hari yang sama. Yang perlu kita kritisi, apakah dengan dikeluarkannya inpres tersebut, upaya pemberantasan korupsi dan pengungkapannya dapat dilakukan? Jawabannya bisa iya bisa tidak.

Upaya pemberantasan korupsi tidak semata-mata berkaitan dengan hukum, misalnya, dengan terbit Inpres No 5/2004. Sebab, bila kita telaah lebih dalam, produk undang-undang di Indonesia, seperti UU No 28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bebas KKN dan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sudah cukup baik untuk menyeret para pelaku korupsi ke pengadilan.

Lalu, di mana letak persoalannya? Dalam pandangan penulis, persoalan mendasar terhambatnya pemberantasan korupsi di Indonesia terletak pada individu para penegak hukum, kejaksaan, dan kepolisian, yang terkadang ragu untuk mengusut tuntas praktik korupsi tersebut.

Bahkan, para aparat penegak hukum itu tidak jarang cenderung menahan diri untuk memulai penyidikan terhadap dugaan korupsi, kecuali setelah diuber-uber masyarakat luas. Untuk itu, penegak hukum harus benar-benar menyadari fungsi dan wewenangnya dan sungguh-sungguh memberantas korupsi.

Masyarakat kini tengah menunggu bukti konkret pemberantasan korupsi yang dilakukan pemerintah. Sudah hampir separo perjalanan 100 hari pemerintah baru, namun belum terlihat gebrakan berarti dalam pemberantasan korupsi.

Penanganan kasus-kasus korupsi baru mengungkap kasus-kasus kecil, sedangkan kasus-kasus korupsi besar yang merugikan negara hingga triliunan rupiah, seperti kasus BLBI, belum satu pun yang tuntas ditangani.

Untuk itu, pemerintah jangan hanya ingin memenuhi target 100 hari pemerintahannya dengan mengungkap kasus-kasus korupsi kecil saja. Bila itu yang dikejar, pemerintahan SBY sama halnya dengan memberi sedikit hiburan kepada masyarakat, setelah itu kembali masuk dalam keterpurukan bangsa.

Bagaimanapun, korupsi yang terjadi di pemerintahan merupakan sebuah bentuk pengkhianatan pejabat negara terhadap amanat rakyat. Yang lebih ironis, para koruptor itu memupuk kekayaan di atas kemiskinan bangsa dan utang negara.

Untuk negara miskin seperti Indonesia, korupsi merupakan bentuk sabotase ekonomi yang membahayakan keuangan negara sampai ke taraf membangkrutkan. Efek korupsi secara tak langsung berdampak kepada rakyat kecil. Sebab, mereka akhirnya tak dapat keluar dari lingkaran kemiskinan. Orang miskin tak mampu menikmati hak-hak dasar untuk hidup layak, yang seharusnya difasilitasi pemerintah seandainya uang negara tidak dikorupsi.

Karena itu, diperlukan upaya sistematis dan strategis dalam upaya memberantas korupsi di Indonesia. Pertama, penegakan hukum tanpa pandang bulu. Sejauh ini, masih ada fenomena orang kuat yang terkesan tak tersentuh hukum. Lebih dari itu, kasus-kasus korupsi yang terungkap tidak ditelusuri sampai ke akarnya sehingga penegakan hukum hanya menyentuh pelaku korupsi di lapangan, tetapi tidak sampai menyentuh aktor intelektualnya.

Kedua, konsistensi aparatur negara. Dalam hal itu, kita membutuhkan sikap tegas dan kekonsistenan para penegak hukum, baik kejaksaan maupun kepolisian, untuk benar-benar menegakkan hukum di Indonesia. Bila supremasi hukum benar-benar ditegakkan, upaya menyeret para koruptor dan pengungkapan kasus-kasus yang terindikasi korupsi akan mudah dilakukan.

Ketiga, reposisi (reshuffle) pejabat pada posisi-posisi struktural dan strategis, baik di pusat maupun di daerah, jika terindikasi atau bahkan terbukti melakukan praktik korupsi. Posisi-posisi strategis, yang membuka peluang besar untuk praktik korupsi atau biasa dikenal dengan istilah lahan basah, harus diduduki orang-orang yang jujur, bersih, tegas, berintegritas, dapat menjadi teladan, kritis, berani, efisien.

Beberapa langkah dan upaya tersebut kiranya dapat meminimalisasi atau bahkan mencegah terjadinya praktik korupsi sekaligus pengungkapannya. Bagaimanapun, korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang tidak hanya dapat menghantarkan negara dan bangsa Indonesia dalam keterpurukan, namun juga telah mencoreng nama Indonesia di mata dunia. Negara yang mayoritas berpenduduk muslim itu jelas tidak mencerminkan nilai-nilai keislaman yang luhur yang seharusnya dijunjung tinggi. Jadi, sampai kapan pun, kita akan selalu berteriak, perang melawan korupsi!(Rini Pentania Arifa, mahasiswi Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta)

Tulisan ini diambil dari Jawa Pos, 22 Desember 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan