Diproses, 140 Laporan Jaksa Nakal; Kejagung Hanya Akui Terima 55 Pengaduan
Pengaduan mengenai perilaku jaksa terus membanjiri Komisi Kejaksaan (KK). Hingga kemarin, sudah tercatat sekitar 300 laporan dari masyarakat. Di antara jumlah itu, sekitar 140 pengaduan layak diproses karena disertai sejumlah alat bukti akurat.
Hampir seluruh pengaduan yang layak diproses tersebut mengenai pejabat di lingkungan kejaksaan, mulai pejabat sekelas Kasi (kepala seksi), Kajari, Kajati, hingga direktur di lingkungan Kejagung. Semuanya hampir merata, jelas Ketua Komisi Kejaksaan A.H. Ketaren.
Lantas, apakah ada pengaduan terkait perilaku pejabat eselon I sekelas JAM (jaksa agung muda) atau bahkan jaksa agung? Ketaren menolak menjawab. Kalau itu, saya nggak komentar, katanya.
Semua pengaduan masuk, baik dari ibu kota maupun daerah, dengan persentase merata. Di antaranya, terkait kinerja jaksa yang dinilai lamban dan punya kepentingan dalam menyidik kasus korupsi. Ada penanganan perkara yang berjalan satu tahun lebih sehingga malah memunculkan ketidakpastian hukum.
Selain itu, ada jaksa yang dinilai menyalahi sumpah jabatan dan profesi jaksa, yakni minta uang kepada pihak yang beperkara. Bentuknya macam-macam, mulai minta (agar) disuap hingga praktik pemerasan, beber Ketaren. Malah, ada yang disertai ancaman.
Modus yang bersifat teknis, antara lain, perilaku jaksa yang mengembalikan barang bukti (BB) tidak sesuai dengan isi berkas perkara dan surat perintah penyitaan. Selain itu, ada perilaku jaksa yang tak segera mengeksekusi, meski telah keluar putusan berkekuatan hukum tetap, jelas Ketaren.
Semua pengaduan tersebut akan diserahkan ke JAM Pengawasan untuk dikaji selama tiga bulan. Hasil pengkajian itu nanti diserahkan ke Komisi Kejaksaan untuk dievaluasi. Komisi Kejaksaan juga dilapori pendistribusian penanganan pengaduan tersebut ke kejati dan kejari.
Sesuai Perpres No 18/2005, Komisi Kejaksaan bisa mengambil alih penanganan pengaduan masyarakat itu dengan tiga syarat. Pertama, hasil pemeriksaan JAM Pengawasan ternyata tidak sungguh-sungguh setelah membiarkan masa pengkajian selama tiga bulan. Kedua, Komisi Kejaksaan menilai, penjatuhan sanksi atas jaksa nakal tak setara dengan perilaku yang diadukan masyarakat. Ketiga, ditemukan kolusi antara tim pemeriksa dengan teperiksa sehingga memengaruhi hasil pemeriksaan.
Plt JAM Pengawasan Togar Hutabarat mengaku baru mendapat 55 pengaduan dari Komisi Kejaksaan. Umumnya, itu berisi dugaan penyimpangan perilaku dan kinerja jaksa dalam melaksanakan tugas.
Setelah kita cermati, sebagian ternyata pernah kami terima dari masyarakat. Nanti kita memberi tahu Komisi Kejaksaan bahwa laporan tersebut telah ditindaklanjuti, kata Togar di Kejagung Jakarta kemarin.
JAM Pengawasan punya waktu tiga bulan untuk memproses pengaduan tersebut. Namun, Komisi Kejaksaan belum tentu bisa mengetahui hasilnya setelah melewati tiga bulan. JAM Pengawasan hanya bisa menjelaskan tingkat kesulitan di lapangan.
Kasus-kasus di Jakarta bisa langsung ditangani JAM Pengawasan. Bila objeknya di daerah, itu bakal ditindaklanjuti kejati.
Secara terpisah, JAM Pidsus Hendarman Supandji mengatakan, sebagian pengaduan yang masuk ke KK terkait dengan dugaan penyimpangan dalam penyidikan kasus korupsi. Pengaduan tersebut ditindaklanjuti pimpinan kejati yang bersangkutan.
Namun, pengaduan bukan menyangkut kasus yang sedang dieksaminasi di JAM Pidsus. Kita hanya menindaklanjuti berdasar laporan masyarakat, beber Hendarman.
Terkait dengan pemeriksaan Kajati DKI Rusdi Taher atas keterlibatannya dalam tuntutan ringan kepemilikan kasus sabu-sabu 20 kilogram, Togar menyatakan, tim pemeriksa dari JAM Pengawasan terus menyusun laporan. Rekomendasi pemeriksaan diharapkan tuntas sebelum 17 Agustus 2006.
Tim pemeriksa baru memberi tahu bahwa telah dilakukan pemeriksaan terhadap tiga pejabat terkait (Rusdi, Aspidum Kejati DKI Nurrohmat, dan Kajari Jakbar Dimas Sukadis). Sementara itu, hasil pemeriksaannya belum diberitahukan.
Sebelumnya, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menyatakan, berdasar hasil pemeriksaan Majelis Kehormatan Jaksa (MKJ), empat jaksa penuntut umum (JPU) dinyatakan bersalah. Kejagung pun menghukum Danu Sebayang, Ferry Panjaitan, Jefri Huwae, dan A. Mangotan.
Danu dan Ferry diberhentikan secara tidak hormat sebagai PNS. Dua jaksa lainnya dibebastugaskan dari jabatan fungsional. Mereka terbukti melakukan perbuatan yang dianggap tercela sekaligus melanggar ketentuan PP No 30/1980 tentang Disiplin PNS.
Putusan Jaksa Agung itu memuat dugaan keterlibatan Kajati DKI Rusdi Taher, Aspidum Kejati DKI Nurrohmat, dan Kajari Jakbar Dimas Sukadis.
Indikasi keterlibatan mereka adalah munculnya dua rencana tuntutan (rentut) terhadap terdakwa pengedar sabu-sabu Hariono Agus Tjahjono. Yaitu, hukuman 6 tahun dan 15 tahun penjara. Padahal, wajarnya, rentut itu hanya satu. (agm)
Sumber: Jawa Pos, 8 Agustus 2006