Dipertanyakan, Keinginan DPR Naik Gaji di Saat Rakyat Tercekik Kenaikan Harga BBM

Rencana Badan Urusan Rumah Tangga DPR untuk memperbesar tunjangan fasilitas kerja anggota DPR tidak tepat momentumnya.

Masak, rakyat lagi tercekik BBM, wakilnya minta tambahan tunjangan. Kalau DPR menuntut, lembaga lain juga akan menuntut. DPR itu jumlahnya 550 orang. DPD 128 orang, anggota BPK tujuh, hakim agung juga banyak sekali jumlahnya. Semuanya ini kan satu perangkat, papar Baharuddin Aritonang hari Kamis (3/3) kemarin.

Seperti diwartakan sebelumnya, Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) mulai mewacanakan adanya peningkatan kesejahteraan anggota DPR. Hal itu diwujudkan dalam bentuk adanya tunjangan uang operasional yang besarnya Rp 10-15 juta per bulan.

Mantan anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar Periode 1999-2004 yang kini menjadi anggota Badan Pemeriksa Keuangan itu menganjurkan, yang seharusnya dipikirkan oleh DPR adalah mengefisienkan anggaran. DPR diharapkan tidak terus membentuk lembaga-lembaga negara maupun komisi yang tumpang tindih satu sama lain dan membutuhkan biaya tinggi.

Masak ada komisi yang dibentuk UU gajinya dua kali lipat DPR yang dibentuk dengan UUD? Ini yang harus diperhatikan, katanya menjelaskan.

Hanya seperlima
Secara terpisah anggota Panitia Anggaran DPR, Djoko Susilo, mengatakan, dalam konstitusi, legislatif ditempatkan sejajar dengan eksekutif. Namun, dari sisi kesejahteraan, eksekutif ditempatkan lebih tinggi.

Gaji dan tunjangan anggota legislatif hanya seperlima eksekutif, kata Djoko Susilo, dalam perbincangan dengan Kompas. Atas dasar itu, politikus dari Partai Amanat Nasional itu mendukung adanya rencana BURT itu.

Presiden itu take home pay-nya sekitar Rp 75 juta. Wakil presiden itu sekitar Rp 50 juta. Sedangkan menteri Rp 45 juta. Sementara itu, take home pay DPR Rp 16 juta. Itu pun masih dipotong untuk partai Rp 5 juta, paparnya.

Djoko berpandangan, kendati konstitusi sudah mengubah struktur ketatanegaraan, hal itu belum tercerminkan dalam struktur perubahan anggaran lembaga-lembaga negara lainnya, seperti Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, maupun komisi-komisi.

Dana itu diberikan untuk temu konstituan maupun menggaji staf ahli. Terkait anggaran legislasi, sebagian besar juga masih dikuasai eksekutif. Karena itu, meskipun UUD 1945 menyebutkan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang, pada kenyataannya, DPR harus mengikuti keinginan pemerintah.

Djoko mencontohkan soal rencana Komisi I DPR yang akan memprioritaskan pembahasan RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik pada awal tahun 2005. Rencana tersebut sedikit tertunda karena pemerintah lebih dulu menyiapkan dana untuk RUU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Sekretaris Jenderal DPR Faisal Djamal yang dihubungi terpisah mengakui bahwa anggaran legislasi DPR sangat kecil dibandingkan dengan anggaran yang dimiliki pemerintah. Anggaran DPR untuk satu RUU itu hanya Rp 318 juta, tandasnya. (sut)

Sumber: Kompas, 4 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan