Diperlukan NGO Watch
Lembaga swadaya masyarakat atau non-government organization belakangan mulai dipertanyakan transparansi dan akuntabilitasnya.
Alasannya, dana dari lembaga donor yang dikelola satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) bisa mencapai miliaran rupiah per tahun. Sementara kinerja beberapa di antara mereka diragukan efektivitasnya.
Secara hukum, LSM tidak wajib melaporkan kegiatan dan uang yang dikelolanya kepada publik. Sebab, uang LSM berasal dari lembaga donor (funding agencies), terutama lembaga donor asing. Beda dengan perseroan terbatas-terbuka (PT-TBK) serta partai politik yang mengelola uang publik. Bahkan, pemerintah dan lembaga keagamaan pun tidak wajib melaporkan hasil kegiatan serta audit keuangannya kepada masyarakat luas, kecuali ada dugaan korupsi.
Saat itulah inspektorat, BPK, KPK, dan DPR/DPRD akan mengungkap dugaan korupsi kepada publik melalui media. Tetapi, jika semua berjalan normal, publik tak pernah tahu apa yang terjadi di satu lembaga pemerintah. Meski yang dianggap semua berjalan normal, belum tentu tidak ada penyimpangan. Bisa saja situasi normal terjadi karena semua pihak terkait telah diurus dengan baik dan menerima bagian sesuai porsi masing-masing.
Selain tidak ada kewajiban, LSM sulit melaporkan audit keuangan kepada publik sebab memasang iklan di beberapa media, misalnya, memerlukan biaya besar. Selama ini LSM di Indonesia hampir selalu berbadan hukum yayasan. Sesuai UU No 16 Tahun 2001 dan amandemen UU No 28 Tahun 2004, yayasan harus diaudit oleh akuntan publik untuk keperluan perpajakan. Maka, selain membuat laporan ke lembaga donor, LSM wajib lapor ke kantor pajak, bukan media.
Gaya sang aktivis
Gugatan terhadap transparansi dan akuntabilitas LSM agak diwarnai faktor politik. Kita tahu, selain pers, LSM-lah yang selama ini paling aktif menanggulangi kemiskinan, mengungkap korupsi, tindak kekerasan, ketidakadilan, dan kesewenang-wenangan. Banyak pihak merasa gerah, lalu melontarkan isu perlunya akuntabilitas LSM. Di sisi lain, sudah sejak lama ada keprihatinan dari para tokoh LSM yang masih di jalur yang benar. Mereka risi menyaksikan gaya beberapa aktivis LSM kita.
Di satu pihak, mereka mengklaim punya kepedulian terhadap ketimpangan sosial, politik, dan ekonomi di negeri ini. Di lain pihak, gaya hidup mereka bertolak belakang dengan klaim mereka. Misalnya, dandanan tak mau kalah dengan artis dan konglomerat. Selain itu, ada aktivis LSM ikut ambil bagian dalam bursa politik negeri ini untuk mendapat imbalan uang.
Ada pula aktivis LSM yang ke mana-mana berperan sebagai pahlawan penanggulangan kemiskinan, tetapi HUT lembaganya diselenggarakan di hotel berbintang. Tak ketinggalan diluncurkan buku berisi puja-puji terhadap lembaga sendiri.
Ada lagi aktivis LSM yang selalu berapi-api memosisikan diri sebagai pembela HAM, tetapi diam-diam menjadi pembela perusahaan multinasional pelanggar HAM dan pencemar lingkungan. Gaya semacam ini membuat kalangan intern LSM gerah.
Efektivitas kinerja
Salah satu provinsi miskin di Indonesia tahun 2005 mendapat kucuran dana dari lembaga donor melalui LSM senilai hampir Rp 200 miliar atau 25 persen dari dana APBD setempat. Alokasi terbesar untuk bidang ekonomi. Logikanya, tahun 2006 PDB akan naik paling sedikit 10 persen. Namun, PDB tidak beranjak naik, malah anak balita yang meninggal karena busung lapar meningkat sampai 150 persen.
Di tingkat nasional, sebagian besar kiprah LSM terfokus ke penanggulangan kemiskinan. Namun, laporan Bank Dunia tahun lalu menunjukkan angka kemiskinan hampir mencapai separuh dari total populasi penduduk.
Sejak era Reformasi tahun 1998, perhatian lembaga donor juga diarahkan ke penguatan civil society (supremasi sipil). Namun, di luar kebebasan pers, supremasi sipil justru menyurut.
Pelanggaran HAM makin brutal dengan tewasnya pejuang HAM, Munir. Korupsi juga makin merajalela. Ketakutan terhadap pemeriksaan inspektorat, BPK, KPK, dan DPR/DPRD bukan membuat aparat menjadi bersih, justru tidak berani menggunakan dana hingga banyak proyek pemerintah macet dan anggaran tak termanfaatkan.
Berbagai bantuan yang bersifat karitatif dari pemerintah, LSM, dan lembaga keagamaan telah membuat masyarakat makin dependen, sekaligus licik. Mereka juga sudah ikut korupsi dan menyalahgunakan dana bantuan.
Tidak efektivnya kinerja LSM ini terutama disebabkan oleh faktor integritas sebagian besar aktivisnya. LSM dan partai politik di negeri ini sudah menjadi lahan subur untuk korupsi dan memperkaya diri.
Dalam hal ini partai politik masih lebih baik karena punya mekanisme kontrol.
Perlunya kontrol
Penyelenggara negara kita, yang dikategorikan paling korup di dunia, masih punya mekanisme kontrol meski kinerjanya amat tidak efektif. Di LSM, hal itu tidak terjadi. Sesuai UU No 16 Tahun 2001, LSM yang hampir semua berbentuk yayasan punya badan pengurus, pengawas, pembina, dan eksekutif, dengan harapan terjadi kontrol intern. Yang terjadi, pengawas dan pembina hanya berfungsi sebagai pajangan atau terjun sebagai eksekutor hingga kontrol intern tidak terjadi, sementara kontrol ekstern memang tidak pernah ada.
Laporan keuangan LSM ke lembaga donor hanya bertujuan agar tahun berikutnya kucuran dana makin lancar. Kelemahan lembaga donor internasional adalah lebih terpaku pada formalitas. Sebab, target mereka bukan dampak dari kegiatan, tetapi kegiatan itu sendiri, berikut perangkat administrasinya.
Audit akuntan publik untuk keperluan pajak juga mudah direkayasa. Hampir semua LSM besar punya tiga pembukuan: untuk lembaga donor, pajak, dan intern. LSM terbesar di negeri ini bahkan sudah menerapkan tanda tangan di kuitansi kosong bagi pihak luar yang terlibat dalam proyek mereka.
Sebagai kontrol ekstern demi penyehatan diri, ada baiknya negeri ini punya NGO Watch, melengkapi Indonesia Coruption Watch, Parliament Watch, dan lain-lain. Yang perlu dikritisi NGO Watch bukan hanya transparansi dan akuntabilitas LSM dalam mengelola dana.
Yang utama justru efektivitas kinerja mereka. Apakah target yang sudah ditetapkan tercapai? Apakah target itu benar kebutuhan riil masyarakat? Sebab, bantuan pompa air LSM untuk masyarakat NTT, misalnya, telah menjadi besi tua begitu proyek selesai. Mengapa? Kami bukan haus, tetapi lapar, Oom!
F Rahardi Penyair; Wartawan
Tulisan ini disalin dari Kompas, 24 April 2007