Dimulainya Perang Melawan Korupsi?

Mulai maraknya upaya pemberantasan korupsi di KPU, di bank pemerintah, membuat kita melayang jauh ke depan. Bayangkan situasi di tahu 2014, sembilan tahun dari sekarang. Saat itu politisi, pengusaha, tokoh LSM, gerakan mahasiswa, diplomat dan para pejabat meributkan laporan terbaru Transparansi Internasional mengenai perkembangan korupsi dunia. Indonesia di tahun 2014 dibahas secara khusus sebagai contoh fenomenal yang berhasil menangani korupsi selama sepuluh tahun terakhir.

Transparansi Internasional yang setiap tahun mengukur indeks persepsi korupsi di berbagai negara meletakkan Indonesia di posisi papan atas negara yang relatif bersih. Padahal sepuluh tahun lalu, Indonesia selalu menjadi juara sebagai salah satu negara terkorup di dunia.

Berbagai disertasi akademik sudah ditulis mengenai kasus fenomenal Indonesia dalam pemberantasan korupsi di tahun 2014 itu. Aneka civil society tingkat dunia yang bergerak di bidang korupsi acapkali menjadikan Indonesia sebagai referensi betapa kultur korupsi itu dapat dibasmi. Para tokoh alternatif di negara lain yang korup menyalahkan pimpinan politik di negaranya sendiri yang tidak berlaku sebagaimana pimpinan politik di Indonesia selama sepuluh tahun terakhir yang berhasil mengganyang korupsi.

Jika kondisi di atas benar-benar terjadi, Indonesia sudah melakukan revolusi kedua. Revolusi pertama adalah bebas dari penjajah. Revolusi kedua adalah bebas dari korupsi yang sudah menjadi kultur bangsa. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla dianggap the great leaders yang akan selalu dikenang sepanjang sejarah sebagai presiden dan wapres pertama Indonesia yang bukan saja dipilih secara langsung, tapi juga sebagai pemimpin pertama yang berhasil membasmi korupsi secara sistematis.

Bersama Susilo Bambang Yudhoyono, sejarah juga kemudian mencatat prestasi gemilang Komisi Pemberantasan Korupsi, Jaksa Agung, BPK dan Pihak kepolisian yang secara bahu membahu, dengan disipilin yang kuat, tahan godaan, bersama-sama sudah menangkap aneka koruptor besar dan meletakkan sistem yang membuat korupsi semakin sulit.

Akankah bayangan sembilan tahun ke depan di atas terwujud? Ataukah seperti biasa, bayangan itu hanya wacana, mimpi dan ilusi?

Kultur
Tanpa disadari, selama ini, praktek korupsi dalam politik Indonesia sudah berkembang menjadi ideologi nasional yang sesungguhnya, walau disembunyikan. Dalam retorika umum, dan pandangan untuk konsumsi publik, berbagai pemimpin menunjukkan komitmen yang tinggi kepada pemberantasan korupsi. Namun dalam praktek politik sehari-hari, pemimpin itu turut korupsi, atau bersikap pasif terhadap meluasnya jaringan korupsi.

Praktek korupsi telah menyatukan Indonesia, dari Aceh sampai Papua, dari Sabang sampai Merauke, dari Barat sampai Timur. Kian hari politik semakin kehilangan idealisme dan romantismenya. Politik semakin tereduksi maknanya hanya sebagai bargaining kekuasaan yang melindungi politik uang.

Selama ini, di semua lini, satu persatu isu korupsi itu terbongkar. Isu korupsi di kalangan legislatif baik di pusat ataupun daerah sudah menjadi berita rutin. Korupsi di kalangan eksekutif, bahkan di departemen agama, sudah tidak lagi mengherankan. Bahkan di kalangan penegak hukum, seperti di tingkat kejaksaan, kepolisian dan para hakim juga tak mengejutkan.

Kalangan pengusaha tak kalah cerdas dan cantiknya dalam bermain uang. Terbongkarnya pat gulipat dalam pengucuran dana bank pemerintah yang bernilai ratusan miliar sampai triliun juga sudah menjadi pengetahuan umum. Bahkan korupsi di kalangan aktivis LSM, akademisi dan institusi demokratisasi seperti KPU juga tak lagi aneh.

Bukan isu dan tuduhan korupsi itu benar yang menjadikan masalah korupsi di Indonesia berada pada stadium berbahaya. Namun sikap elite politik yang memprihatinkan. Para elite terlalu bersikap kompromis dan lunak atas praktek korupsi.

Mengapa selama ini elite kita begitu lunak dan lembek terhadap praktek korupsi?. Kemungkinan pertama, kompetisi di antara para elite itu sangat keras. Mereka butuh konsolidasi kekuasaan. Sementara di era sekarang, konsolidasi kekuasaan membutuhkan uang yang sangat banyak. Para elite itu sendiri sedang sibuk mengumpulkan uang, baik secara halal, ataupun tidak. Sebagian besar dari mereka terlibat secara langsung ataupun tidak langsung dengan praktik korupsi itu.

Dalam kondisi ini, wajar saja jika di antara para elite itu ada semacam kesepakatan tidak tertulis untuk tidak saling membongkar. Apalagi korupsi elite tertentu diketahui oleh elite lainnya. Yang satu kebongkar, yang lainnya terancam terbongkar pula. Ada kerja sama saling menutupi praktek korupsi. Ini yang membuat mereka terkesan lembek atas pembongkaran isu korupsi.

Kemungkinan kedua, ada pembagian kerja secara tidak tertulis dalam setiap partai besar. Dalam partai itu, ada pihak yang bertugas mencari uang, dan ada pihak yang terus mengembangkan idealisme politik. Sebenarnya hanya sekelompok kecil elite saja yang terlibat dalam money politics. Namun politik di partai adalah politik jaringan. Jika kartu mati tokoh itu terbuka, yang akan buruk bukan hanya tokoh itu, tapi juga keseluruhan partai.

Dalam kondisi seperti ini, tanpa disadari sang elite yang korup itu terpaksa dilindungi oleh jaringan politiknya. Jaringan politik itu tak perlu melakukan pembelaan atas sang tokoh yang dituduh. Mereka cukup bekerja dalam diam dan pasif, sehingga semua inisiatif pembongkaran korupsi akan melemah dan hilang ditelan waktu.

Kemungkinan ketiga, di era reformasi, korupsi dilakukan secara gotong royong dan bersama. Kebebasan politik di era reformasi, membuat praktek korupsi juga semakin canggih. Mereka yang korup tidak memakan uangnya sendirian. Itu mungkin membuat sang koruptor akan dibunuh bersama-sama. Namun uang korupsi itu didistribusikan ke banyak tangan. Semua mendapatkan jatah secara proporsional sesuai dengan posisi dan kevokalannya.

Karena semua (mayoritas) mendapatkan bagian, maka mayoritas elite pula berkepentingan agar praktek korupsi ini tidak dibongkar. Mereka bukan tidak peka dengan isu korupsi, tapi kebutuhan politik praktis akan uang, demi lobi politik, sampai kepada gaya hidup, membuat mereka larut. Mereka memang tidak membela korupsi. Namun sikap pasif mereka sudah cukup membuat isu korupsi itu sulit atau mustahil terbongkar dalam proses hukum.

Korupsi memang sudah mengepung kita. Karena mata rantai korupsi sudah sedemikian rumit, dan melibatkan banyak tangan, darimana pemberantasannya harus dimulai? Jawaban yang paling bisa diterima adalah leadership dari pimpinan politik tertinggi.

Kini Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla menunjukkan gejala awal yang sangat membangkitkan optimisme bahwa korupsi tengah sungguh-sungguh diberantas. Dua tokoh ini kita harap bersedia menjadi martir bagi Indonesia yang bersih di masa depan. Sebagai imbalannya, jika berhasil, mereka berdua kelak akan ditulis sejarah dengan tinta emas.(Denny J A, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia)

Tulisan ini diambil dari Suara Pembaruan, 9 Mei 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan