Dimensi Historis Asas Retroaktif

Jika ada dua sarjana hukum, maka akan ada tiga pendapat. Itulah ungkapan yang kerap muncul untuk menggambarkan betapa hukum itu multiperspektif. Dengan demikian, setiap orang selalu punya seleranya sendiri untuk lebih menonjolkan satu aspek sambil mengabaikan aspek lain. Tak terkecuali dalam melihat keberadaan asas retroaktif.

Wacana keberadaan asas retroaktif yang selalu kontroversial kembali menghangat seiring pengajuan permohonan tersangka kasus korupsi Bram HD Manoppo kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguji Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menurutnya berlaku retroaktif.

Ini kedua kalinya MK mengadili kasus yang memperdebatkan asas retroaktif, setelah sebelumnya mengadili kasus terdakwa bom Bali Masykur Abdul Kadir yang mengajukan permohonan pengujian atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003. Bedanya, kali ini MK menolak permohonan pengujian karena Pasal 68 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tidak mengandung asas retroaktif.

Asas retroaktif yang memberlakukan surut peraturan merupakan penyimpangan dari asas legalitas yang mengandaikan tiada perbuatan boleh dihukum kecuali ada peraturan terlebih dulu. Tulisan ini akan mengulas pasang surut sejarah kedua asas itu dalam perspektif perkembangan gagasan-gagasan ketatanegaraan di negara-negara yang dianggap sebagai asal kedua asas itu.

Dinamika asas legalitas
Asas legalitas yang dikenal dalam hukum pidana modern muncul dari lingkup sosiologis Abad Pencerahan yang mengagungkan doktrin perlindungan rakyat dari perlakuan sewenang-wenang kekuasaan. Sebelum datang Abad Pencerahan, kekuasaan dapat menghukum orang meski tanpa ada peraturan terlebih dulu. Saat itu, selera kekuasaanlah yang paling berhak menentukan apakah perbuatan dapat dihukum atau tidak. Untuk menangkalnya, hadirlah asas legalitas yang merupakan instrumen penting perlindungan kemerdekaan individu saat berhadapan dengan negara. Dengan demikian, apa yang disebut dengan perbuatan yang dapat dihukum menjadi otoritas peraturan, bukan kekuasaan.

Menurut para ahli hukum, akar gagasan asas legalitas berasal dari ketentuan Pasal 39 Magna Charta (1215) di Inggris yang menjamin adanya perlindungan rakyat dari penangkapan, penahanan, penyitaan, pembuangan, dan dikeluarkannya seseorang dari perlindungan hukum/undang-undang, kecuali ada putusan peradilan yang sah. Ketentuan ini diikuti Habeas Corpus Act (1679) di Inggris yang mengharuskan seseorang yang ditangkap diperiksa dalam waktu singkat. Gagasan ini mengilhami munculnya salah satu ketentuan dalam Declaration of Independence (1776) di Amerika Serikat yang menyebutkan, tiada seorang pun boleh dituntut atau ditangkap selain dengan, dan karena tindakan-tindakan yang diatur dalam, peraturan perundang-undangan.

Pandangan inilah yang akhirnya dibawa ke Perancis oleh seorang sahabat dekat George Washington, Marquis de Lafayette. Ketentuan mengenai tiada orang yang dapat dipidana selain atas kekuatan undang-undang yang sudah ada sebelumnya tercantum dalam Declaration des Droits de l

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan