Digugat di Pengadilan Pajak

Untuk pengusaha, hati-hatilah bila melaporkan produknya ke Balai Pemeriksa Obat dan Makanan (BPOM). Bisa-bisa, laporan tersebut dipakai Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak sebagai acuan menentukan besaran pajak. Itulah yang dialami sebuah produsen pasta gigi di Surabaya.

Karena keliru menetapkan besaran pajak, perusahaan itu menggugat Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak melalui pengadilan pajak (PPj) di Jakarta. Hal tersebut terjadi karena Ditjen Pajak keliru menetapkan besaran pajak berdasarkan laporan BPOM, bukan faktur penjualan barang.

Menurut Dirjen Pajak Hadi Poernomo, perbedaan itu terjadi karena adanya perbedaan dalam pelaporan antara pelaporan perusahaan dalam SPT PPh Bd dan pelaporan produksi ke BPOM. Koreksi penjualan tersebut berasal dari laporan produksi yang dilaporkan ke BPOM secara berkala.

Seharusnya, pemeriksaan didasarkan pada data arus barang dan persediaan barang yang mendukung data penjualan sebenarnya di perusahaan. Sebab, perhitungan pajak penghasilan sesuai dengan SPT PPh Bd perusahaan pada 2000.

Tapi menurut sejumlah kalangan, Ditjen Pajak tak melakukan koreksi atas persediaan awal dan persediaan akhir yang dicantumkan kliennya dalam laporan keuangan. Karena itu, putusan majelis hakim pada 12 Desember 2003 berpendapat, nilai produksi yang dilaporkan telah benar.

PPj telah keliru mempertimbangkan dasar pengenaan pajak oleh Ditjen Pajak untuk tahun pajak 2000, yang didasarkan pada laporan produksi perusahaan sebagai wajib pajak (WP) di BPOM, dibandingkan dengan peredaran usaha yang dilaporkan SPT. Karena ditolak hakim, perusahaan mengajukan peninjauan kembali (PK).

Faktur Pajak
Sesuai pasal 13 UU No 18 Tahun 2000, Pengusaha kena pajak wajib membuat faktur pajak untuk setiap penyerahan barang kena pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 huruf a atau huruf f dan setiap penyerahan jasa kena pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 huruf c.

Berdasarkan pasal 31 ayat (1) UU No 14 Tahun 2002, PPj mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus perkara pajak. PPj merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutuskan sengketa pajak. Pasal 77 ayat (1), putusan PPj merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap.

Tapi, pada ayat (3), peluang pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan PK atas putusan PPj masih terbuka. Itu diperkuat Peraturan MA No 3 Tahun 2002 pada 23 Oktober 2002 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan PK Putusan PPj. Sesuai pasal 1 ayat (2) Peraturan MA tersebut, Permohonan PK adalah upaya hukum luar biasa kepada MA untuk memeriksa dan memutus kembali putusan pajak.

Meski PPj merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap, upaya hukum terakhir berupa PK tetap bisa dilakukan. Sesuai pasal 2 ayat (2) Peraturan MA No 3 itu, PK dapat juga diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tempat tinggal atau tempat kedudukan pemohon. Jika tak ada PTUN, sesuai ayat (3), PK dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri (PN).

Oleh Panitera PN, PK itu diteruskan kepada PPj dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak akta permohonan PK ditandatangani. Pengalaman perusahaan tersebut bisa menjadi contoh bila terjadi sengketa perpajakan.

Berdasarkan UU No 14/2002 tentang PPj, pengusaha diberi kesempatan untuk mengajukan gugatan dalam sengketa pajak. Bukan rahasia lagi, penetapan besaran pajak yang harus dibayar wajib pajak bisa diatur di bawah tangan oleh kedua belah pihak (petugas pajak dan pengusaha).

Ditakut-takuti
Ekonom Faisal Basri menyebutkan, biasanya, pengusaha ditakut-takuti harus membayar Rp 600 juta, lalu dinegosiasi dan hanya membayar Rp 60 juta. Di antara Rp 60 juta itu, mungkin cuma Rp 6 juta yang masuk ke kas negara. Sebagian lagi masuk ke kantong petugas pajak.

Dia memperkirakan, potensi penyelewengan pajak pada 2004-2005 di instansi itu mencapai Rp 40 triliun. Pada 26 Maret 2005, pengamat ekonomi Kwik Kian Gie menuding, penyelewengan pajak tersebut menembus angka Rp 180 triliun.

Mantan menteri perencanaan pembangunan nasional/kepala Bappenas itu juga pernah mengatakan, kebocoran pembayaran pajak yang terbanyak (Rp 240 triliun) di antara angka korupsi di Indonesia yang lebih dari Rp 444 triliun per tahun, lebih besar daripada APBN 2003 (Rp 370 triliun).

Menurut Kwik, tak ada WP yang atas dasar self assessment membayar pajak penuh sebagaimana mestinya. Tak salah pula jika beberapa waktu lalu Ditjen Pajak termasuk salah satu instansi terkorup. Kehadiran PPj itu diharapkan bisa mencegah kebocoran.

Yang terpenting, WP (pengusaha) tak perlu lagi takut menghadapi petugas pajak.

(Mochamad Toha, wartawan Majalah FORUM Keadilan)

Tulisan ini diambil dari Jawa Pos, 8 Juni 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan